Menggali Biang Kerok Sepinya Bisnis di Pasar Burung Pramuka
kumparanBISNIS April 21, 2025 03:00 AM
Aktivitas perdagangan di Pasar Burung Pramuka, Jakarta Timur, terpantau lengang. Turunnya daya beli sampai tren hobi disebut menjadi salah satu penyebab sepinya bisnis perdagangan burung di pasar tersebut.
Berdasarkan pantauan kumparan, Rabu (16/4), Pasar Burung Pramuka terdiri dari 3 lantai. Di lantai 3 terdapat beberapa kios yang tutup. Pada kios yang tutup itu terdapat stiker dari Pasar Jaya bertuliskan ‘Ditutup sementara sampai ada penyelesaian administrasi’.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Paguyuban Pedagang Pasar Burung Pramuka (P3BP) Heru Sukamto mengungkapkan salah satu penyebab sepinya pasar burung saat ini adalah penurunan daya beli masyarakat.
“Ini kan hobi. Bukan dasar kebutuhan. Jadi orang pasti mementingkan kebutuhan dasar dulu. Tren juga pengaruh, daya beli pengaruh ya,” kata Heru kepada kumparan saat ditemui di kios milik di Pasar Pramuka, Rabu (16/4).
Heru mengungkapkan tren penurunan jumlah pedagang dan pembeli di pasar tersebut sudah terjadi dalam 5 tahun belakangan, khususnya sejak pandemi COVID-19.
“Anggap saja di 280 pedagang kira-kira pengurangan 20 persen. Kita perhatikan tapi di 2020-2025 itu paling banyak yang bangkrut ya,” ujar Heru.
Meski begitu, Heru menjelaskan masih ada pedagang baru yang masuk. Rata-rata pedagang baru tersebut merupakan anak pedagang yang sebelumnya sudah sempat membuka usaha di Pasar Burung Pramuka.
“Kalau untuk makanan (pakan burung) ya survive-lah,” ungkap Heru.
Suasana di Pasar Burung Pramuka, Jakarta, Rabu (16/4/2025). Foto: Argya Maheswara/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Suasana di Pasar Burung Pramuka, Jakarta, Rabu (16/4/2025). Foto: Argya Maheswara/kumparan
Untuk tren hobi yang juga disebut sebagai penyebab sepinya Pasar Burung Pramuka, Heru melihat saat ini terdapat kelebihan produksi dari burung-burung yang digemari para penghobi. Dengan begitu, jumlah burung yang tadinya sedikit dan memiliki harga tinggi menjadi lebih murah karena populasinya semakin banyak.
Heru mencontohkan burung Love Bird yang sempat menjadi tren di 2010, tetapi mulai turun pada 2015 karena lebih mudah diternak. Hal itu membuat harganya menjadi turun.
“Mulai 2015 ke atas mulai turun sampai sekarang, harga jualnya turun. Apa-apa sebabnya? otomatis karena burung Love Bird itu kan gampang di-greding ya,” ujar Heru.
Dengan kelebihan produksi yang terjadi, Heru melihat hal itu tidak diiringi dengan kebijakan ekspor burung yang dipermudah.
Ia juga mencontohkan seperti burung Jalak Bali yang tadinya dianggap burung endemik, tetapi sudah boleh diternak dan jumlahnya semakin banyak. Dengan tidak adanya kemudahan ekspor, harga burung Jalak Bali di pasaran menjadi turun.
“Sebenarnya kalau udah kebijakan izin ekspor gampang sebetulnya menjadi jalan keluar yang bagus, Izinnya masih susah karena dianggap burung-burung endemik yang memang dianggap langka. Sekarang bukan langka,” terang Heru.
Sepinya pembeli di Pasar Burung Pramuka membuat para pedagang juga banyak yang melakukan penjualan burung secara online. Heru mengakui penjualan lewat marketplace memiliki risiko pada turunnya kepuasan pembeli, jika burung yang datang tak sesuai ekspektasi.
“Kalau kita ke pasar langsung kan fisiknya dengar, kalau pakai aplikasi di situ risiko perdebatan. Begitu dibalikin (ke pedagang) berangkat dan balik, (burungnya) mati enggak kira-kira?” tutur Heru.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.