TRIBUNNEWS.COM - Paus Fransiskus, pemimpin Gereja Katolik yang dikenal sebagai sosok pembawa damai, wafat pada Senin (21/4/2025).
Sebelum meninggal dunia, Paus Fransiskus meninggalkan pesan-pesan kuat yang menyerukan perdamaian di tengah konflik global yang terus berkecamuk.
Dalam wawancara terakhirnya dengan CBS News yang dirilis pada Minggu (20/4/2025), Paus Fransiskus menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap situasi di Gaza dan Ukraina.
Ia menegaskan, umat manusia tidak belajar dari sejarah.
“Kita tidak belajar,” ujarnya.
“Semoga Tuhan mengasihani kita semua.”
Paus mengecam keras serangan udara Israel ke Gaza yang telah menewaskan ribuan warga sipil, termasuk perempuan dan anak-anak.
Ia menyebut tragedi tersebut sebagai sesuatu yang “sangat menyakitkan.”
“Anak-anak yang tak bersalah mati, dan itu tidak masuk akal,” ucapnya dengan nada prihatin.
Ia juga menyoroti invasi Rusia ke Ukraina yang berlangsung sejak Februari 2022.
Menurut Paus, konflik tersebut mencerminkan kegagalan dunia dalam menghentikan kekerasan dan memilih jalan damai.
“Perang hanya menciptakan kehancuran,” katanya.
“Kita tidak boleh melupakannya.”
Paus Fransiskus menyerukan kepada para pemimpin dunia untuk mengutamakan dialog, bukan senjata.
“Kita harus bicara. Kita harus mencari jalan damai. Perang bukanlah jalan,” tegasnya.
Pesan itu menjadi warisan terakhirnya sebagai seorang pemimpin yang selalu menempatkan kemanusiaan dan perdamaian di atas segalanya.
Vatikan di bawah kepemimpinannya juga secara konsisten menyerukan gencatan senjata dan akses kemanusiaan penuh ke Gaza.
Wafatnya Paus Fransiskus menjadi kehilangan besar bagi dunia, khususnya mereka yang percaya perdamaian masih mungkin diwujudkan.
Namun, pesan-pesan damainya akan terus hidup, menjadi pengingat bagi dunia, tanpa kasih dan dialog, umat manusia hanya akan mengulang penderitaan yang sama.
Dikutip dari Catholic News Agency, Paus Fransiskus mulai dirawat di Rumah Sakit Gemelli, Roma, pada 14 Februari 2025 karena mengalami bronkitis.
Kondisinya kemudian berkembang menjadi pneumonia di kedua paru-paru, Philstar melaporkan.
Selama perawatan, Paus mengalami beberapa krisis pernapasan serius.
Pada 28 Februari, ia mengalami bronkospasme yang menyebabkan muntah dan aspirasi, sehingga memerlukan ventilasi mekanis non-invasif.
Kemudian, pada 3 Maret, terjadi dua episode gagal napas akut akibat akumulasi lendir di saluran pernapasan, Malay Mail melaporkan.
Selain masalah pernapasan, Vatican News melaporkan Paus juga didiagnosis menderita trombositopenia dan anemia, yang memerlukan transfusi darah.
Pada 23 Februari, diumumkan, beliau mengalami gagal ginjal tahap awal, meskipun kondisinya tetap "terkendali".
Meskipun menghadapi tantangan kesehatan yang berat, Paus Fransiskus tetap menunjukkan semangat yang kuat dan terus menjalankan tugas-tugasnya sebisa mungkin.
Pada 11 Maret, kondisi beliau dilaporkan membaik, dan dokter menyatakan, nyawanya tidak lagi dalam bahaya.
Paus Fransiskus wafat pada 21 April 2025 dalam usia 88 tahun.
Dikutip dari AP News, selama masa kepemimpinannya, beliau dikenal karena pendekatan yang rendah hati dan fokus pada inklusivitas, serta telah membawa perubahan signifikan dalam Gereja Katolik selama 12 tahun masa kepausannya.
Setelah kabar duka ini, ucapan belasungkawa datang dari seluruh dunia.
Presiden Iran, yang merupakan negara dengan mayoritas Muslim, menyampaikan belasungkawa kepada umat Kristen global.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Esmail Baqaei, menyampaikan, "Saya menyampaikan belasungkawa kepada semua umat Kristen di seluruh dunia."
Presiden Prancis Emmanuel Macron mengenang Paus Fransiskus sebagai pemimpin yang selalu berpihak pada mereka yang paling rentan.
"Paus Fransiskus selalu menunjukkan kepedulian terhadap yang paling rapuh dan melakukannya dengan rendah hati," kata Macron.
Di Israel, Presiden Isaac Herzog memuji Paus Fransiskus sebagai pria yang beriman dan memiliki belas kasih tak terbatas.
"Ia mendedikasikan hidupnya untuk mengangkat derajat kaum miskin dan menyerukan perdamaian di dunia yang sedang dilanda masalah," ujarnya.
Dari Belanda, Perdana Menteri Dick Schoof mengatakan Paus Fransiskus akan dikenang sebagai seorang pemimpin yang selalu mengangkat isu-isu penting dengan tindakan belas kasih.
"Kami mengenangnya dengan penuh rasa hormat," kata Schoof.
Pemimpin Jerman, Friedrich Merz, menambahkan bahwa Paus Fransiskus akan dikenang karena komitmennya yang tak kenal lelah terhadap anggota masyarakat yang paling lemah.
Perdana Menteri Italia, Giorgia Meloni, menyampaikan perasaan kesedihan yang mendalam atas kepergian Paus.
Ia mengenang persahabatan dan ajaran Paus yang tak pernah berhenti, bahkan di saat-saat sulit dan penuh penderitaan.
"Kami mengucapkan selamat tinggal kepada Bapa Suci dengan hati yang penuh kesedihan," kata Meloni, seperti yang dilansir Reuters.
Di Eropa, Presiden Parlemen Eropa Roberta Metsola dan Presiden Komisi Uni Eropa Ursula von der Leyen juga mengungkapkan rasa duka cita yang mendalam.
Metsola menyebut Paus Fransiskus sebagai "Paus Rakyat" yang dikenang karena cintanya pada kehidupan, perdamaian, dan keadilan sosial.
"Dia menginspirasi jutaan orang, jauh melampaui Gereja Katolik, dengan kerendahan hati dan cintanya yang begitu murni bagi mereka yang kurang beruntung," tulis Von der Leyen.
Bagi warga Palestina, terutama di Gaza, kepergian Paus Fransiskus dirasakan sangat mendalam.
Paus dikenal sebagai salah satu pemimpin paling vokal yang selalu mengecam perang di Gaza dan menyerukan gencatan senjata.
Komunitas Kristen di Gaza mengenang Paus sebagai pemimpin yang selalu mendengarkan mereka dan mendukung mereka dalam situasi yang sulit.
Paus Fransiskus juga meninggalkan kesan mendalam di kalangan pejabat Katolik dan non-Katolik.
Wakil Presiden AS JD Vance mengenang pertemuannya dengan Paus pada Minggu Paskah dan menyebut pengalaman tersebut sebagai suatu kehormatan.
(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)