TIMESINDONESIA, TANGERANG – Dalam One Piece, Pemerintah Dunia (World Government) digambarkan sebagai kekuatan absolut yang tidak segan membunuh atau menyembunyikan informasi demi mempertahankan kekuasaannya.
Contohnya, mereka membumihanguskan pulau Ohara karena para arkeolog di sana mencoba mengungkap kebenaran tentang Abad Kekosongan (Void Century), sebuah masa sejarah yang sengaja dihapus.
Di dunia nyata, tindakan seperti ini mencerminkan bagaimana rezim otoriter sering kali menekan kebebasan informasi, menyensor sejarah, dan menyingkirkan mereka yang dianggap ancaman terhadap stabilitas kekuasaan. Sejarah mencatat banyak negara yang melakukan propaganda dan penghapusan sejarah demi menjaga citra dan dominasi mereka.
Konflik antara manusia dengan Manusia Ikan dalam One Piece menjadi simbol kuat dari rasisme dan diskriminasi. Kaum Manusia Ikan mengalami penindasan, perbudakan, dan dianggap lebih rendah dibanding manusia. Arc ini secara langsung menggambarkan bagaimana stereotip, prasangka, dan ketidaksetaraan rasial berdampak pada generasi.
Hal ini paralel dengan sejarah perbudakan, apartheid, dan diskriminasi rasial di berbagai belahan dunia. Pesan moral dari arc ini sangat kuat: bahwa perdamaian hanya bisa tercapai melalui pengertian, pendidikan, dan penghapusan kebencian.
Tenryuubito, bangsawan langit dalam One Piece, hidup dalam kemewahan dan menganggap rakyat biasa sebagai budak. Mereka dilindungi hukum dan bebas melakukan kekejaman tanpa konsekuensi. Ini mencerminkan ketimpangan kekuasaan dan korupsi di dunia nyata, di mana elit politik atau ekonomi sering kali terbebas dari hukum yang menjerat rakyat biasa.
Konflik ini menunjukkan bagaimana hukum bisa tumpul ke atas dan tajam ke bawah, sebuah kritik sosial yang juga sering disuarakan dalam realitas.
Tentara Revolusioner dalam One Piece, yang dipimpin Monkey D. Dragon, berjuang menggulingkan Pemerintah Dunia demi menciptakan dunia yang adil. Ini mencerminkan gerakan-gerakan revolusi dalam sejarah dunia yang muncul karena ketidakpuasan rakyat terhadap sistem yang menindas, seperti Revolusi Prancis, Revolusi Amerika, atau bahkan gerakan pro-demokrasi modern.
Konflik ini memperlihatkan bahwa ketika ketidakadilan dibiarkan terlalu lama, perlawanan adalah keniscayaan. Dalam One Piece, seperti juga di dunia nyata, revolusi bukan hanya pertumpahan darah, tetapi juga harapan akan dunia yang lebih baik.
Luffy, tokoh utama One Piece, mewakili semangat kebebasan sejati. Ia menolak diatur, menolak tunduk pada sistem, dan hidup sesuai dengan prinsipnya sendiri. Perjalanannya mencari One Piece bukan hanya demi harta, tetapi demi menjadi "orang paling bebas di dunia".
Di dunia nyata, kebebasan individu sering berbenturan dengan sistem, norma, atau aturan yang membatasi. Kisah Luffy menyuarakan pentingnya hak untuk menentukan jalan hidup sendiri, selama tidak merugikan orang lain.
Konflik dalam One Piece bukan sekadar elemen cerita fiksi, tapi juga gambaran metaforis dari berbagai isu nyata di dunia kita. Eiichiro Oda berhasil memberikan cerita bajak laut yang penuh aksi dengan pesan sosial yang mendalam.
Dari penindasan hingga perjuangan revolusi, dari diskriminasi hingga harapan akan dunia yang adil, One Piece mengajak kita merenung: bahwa dunia bisa berubah, asal ada keberanian untuk melawan ketidakadilan, di dunia manapun itu baik dunia fiksi maupun dunia nyata keadilan harus tetap di benarkan.
***
*) Oleh : Anjaz Saputra, Mahasiswa Ekonomi Syariah Universitas Pamulang.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.