Sengkarut Ijazah dan Cerminan Peradaban Kita
GH News April 26, 2025 01:04 AM

TIMESINDONESIA, PONTIANAK – Ijazah, tiba-tiba menjadi “barang sakral”, bisa dilihat tetapi tidak bisa difoto. Setidaknya, itulah berita atas periistiwa kunjungan para jurnalis yang diterima oleh mantan presiden Joko Widodo di kediamannya di Solo pada Rabu (16/4/2025). 

Polemik tentang keaslian dan kepalsuannya terus menyedot perhatian nasional berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun dan berlalu lalang di banyak platform media sosial hingga telah memakan korban dipenjarakannya dua orang yang menuduh kepalsuan atas ijazah presiden ke-7, Joko Widodo yaitu Sugi Nur Rahardja alias Gus Nur  dan Bamabang Tri Mulyono yang dipenjara gara-gara menuding Presiden Jokowi pakai ijazah palsu. 

Keduanya dijerat atas ujaran kebencian, penistaan agama dan ITE. Keduanya divonis dengan hukuman 6 tahun penjara. Persidangan digelar di Pengadilan Negeri (PN) Kota Solo, Jawa Tengah, pada Selasa (18/4/2023), dipimpin oleh Majelis Hakim Moch Yuli Hadi, Hadi Sunoto, dan Bambang Aryanto. 

Kehebohan atas polemik ijazah ini terus bergulir pasca purna tugas Jokowi sebagai presiden hingga akhirnya menempuh jalur hukum untuk membuktikan berbagai berita yang simpang siur di masyarakat.

Perguruan Tinggi dan Budaya Ilmiah

Sengkarut Ijazah milik Jokowi bukan saja berada pada pusaran hukum dan politik. Ia lebih jauh merambah pada masalah kejujuran ilmiah yang menjadi nilai utama dari eksistensi perguruan tinggi. Perdebatan tentang validitas bukti pada sengekta hukum secara kelembagaan dapat diputuskan di meja pengadilan. 

Berbeda di perguruan tinggi, budaya ilmiah yang mengedepankan rasio dan bukti empirik telah menjadi pakem yang selama ini dijunjung tinggi dengan mengajukan pendekatan keilmuan (scientific approach). Untuk membuktikan kepemilikan dan keaslian ijazah sejatinya urusan mudah dengan menelusuri melalui lembaga yang mengeluarkan ijazah dan pendekatan forensik. 

Pada kasus ijazah Jokowi, masalahnya justru makin rumit dan kompleks bukan karena semata sebagai benda material. Melainkan karena bobot issu politik personal Jokowi sebagai simbol negara (baca: presiden) dimana fariabel politiknya menjadi issu negara. 

Pada saat yang sama, sengkarut ijazah ini menarik nama pergurauan tinggi ternama Universitas Gajag Mada (UGM) yang tengah mempertaruhkan reputasinya. Jika dikemudian hari terbukti bahwa ijazah itu palsu, maka nama besarnya akan tercoreng dan diduga terlibat dalam “persekongkolan jahat”. 

Dengan demikian, perguruan tinggi tidak hanya terlibat dalam urusan politik, melainkan, yang jauh lebih ironis telah mengabaikan prinsip yang menjadi ruh perguruan tinggi: moral akademik yang menjunjung tinggi kebenaran objektif. Hingga keasliannya terbukti atau tidak terbukti di pengadilan di kemudian hari, nama UGM secara politik sudah menjadi bagian dari “sengkarut Ijazah”. 

Maka, sebaiknya UGM berdiri di atas moral akademik yang teguh untuk mempertahankan jati dirinya sebagai pemangku kebenaran objektif. Memang, sebagai universitas negeri milik pemerintah bisa dipahami akan dilema yang diembannya. Satu sisi ia berkiblat pada kebijakan pemerintah. Tetapi pada saat yang sama, ia harus berdiri tegak di atas kebenaran objektif sebagai simbol satu-satunya dari masyarakat sipil.

Cerminan Apa?

Di luar polemok ijazah, narasi besar tentang visi Indonesia emas 2045 menjadi suram karena narsi polemik politik yang tidak pernah usai. Ada diskoneksitas antara mimpi besar pemerintah dengan kenyataan di masyarakat. Pemerintah menghendaki persatuan nasional. 

Sementara polarisasi politik, terutama mereka yang anti-Jokowi dan keluarganya terus menggema. Belakangan Forum Purnawirawan TNI-Polri telah mengusulkan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI untuk mencopot Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. 

Selain itu, forum ini juga meminta reshuffle kabinet terhadap menteri-menteri yang diduga terlibat dalam kasus korupsi. Tuntutan ini, yang turut mencakup perlunya tindakan tegas terhadap aparat negara yang dianggap masih loyal kepada Presiden ke-7, Joko Widodo. 

Seluruh kekisruhan itu, jika ditarik ke belakang, ada semacam perilaku yang menyimpang dari kepatutan moral secara kolektif dan akumulatif sebagai pondasi dalam berkehidupan berbngasa dan bernegara. Atas nama perebutan kekuasaan dan pelanggengannya, banyak “jalan haram” yang ditempuh. 

Hukum tidak lagi ditempatkan sebagai alat untuk membantu penegakan keadilan. Ia dalam banyak kasus justru digunakan sebagai alat untuk membunuh yang lemah dan melindungi yang kuat (berkuasa). Kasus-kasus mega korupsi yang sempat terangkat ke permukaan, kini makin menguap menjadi angin. 

Rencana pengejaran para koruptor samapai ke antariksa agaknya masih harus “tebang pilih” karena relasinya dengan seseorang/kelompok orang yang terkait dengan jasa-jasanya dalam ruang politik kekuasaan masa lalu. Apalagi, sejarah Indonesia yang tidak pernah menempatkan para mantan pemimpinnya ke terali besi. 

Pernyataan presiden Prabowo yang selalu mengajak untuk mengharagai jasa-jasa para pemimpinnya dengan sluruh kelebihan dan kekuarangannya adalah sinyal kuat untuk tidak dimungkinkannya pengadilan atas—katakanlah—kekeliruan  mantan presiden seperti yang banyak disuarakan sebagian masyarakat sipil.

Maka, diakui atau tidak, sengkaurt ijazah itu harus ditempatkan sebagai bagian kecil dari wajah peradaban kita sendiri yang tengah mencerminkan kualitas moral sebagai bangsa dan negara. Polemik ini, terlepas sebagai bagian dari kompetisi politik atau bukan, ia telah menjadi diskursus keadaban politik kita dalam semua tingkatan. 

Siapa yang berbohong dan siapa yang jujur, tidak bisa lagi dirujuk pada penetapan lembaga pengadilan dan aparat penegak hukum lainnya. Argumen bahwa sebagai negara hukum harus tunduk pada keputusan lembaga hukum sepertinya sudah bergesr pada tergantung siapa yang berkasus. 

Kenapa demikian? Karena sebagian para aktor penegak hukum tidak lagi tunduk pada “kebenaran apa adanya”. Sebagian justru tunduk pada “kebenaran ada apanya”. (*)

***

*) Oleh : Dosen Filsafat dan Pemikiran Islam Prodi Magister PAI UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.