Grid.ID- Di era digital yang serba terkoneksi, media sosial tak hanya menjadi sarana komunikasi, tetapi juga membuka celah baru dalam hubungan asmara. Menurut sebuah studi, media sosial dapat memicu kecenderungan selingkuh, terutama di kalangan anak muda yang aktif menggunakan platform ini.
Di dunia maya, komunikasi terasa ringan, cepat, dan penuh peluang interaksi. Inilah yang justru bisa menjadi awal dari sebuah pengkhianatan emosional maupun fisik dalam hubungan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Irum Saeed Abbasi dari San Jose State University, California, ada keterkaitan yang kuat antara ketergantungan terhadap media sosial dengan perilaku perselingkuhan. Dalam studi tersebut, sebanyak 365 partisipan berusia 18 hingga 73 tahun diminta untuk mengisi Social Media Infidelity-Related Behaviour Scale, sebuah alat ukur untuk menilai perilaku selingkuh berbasis media sosial. Salah satu contoh pernyataan yang harus dinilai adalah, “Saya kadang suka mengobrol atau berkirim pesan dengan mantan pasangan romantis melalui media sosial.”
Selain itu, partisipan juga mengisi Modified Facebook Intrusion Questionnaire untuk mengukur sejauh mana mereka mengalami kecanduan media sosial. Contoh pernyataannya adalah, “Saya merasa terhubung dengan orang lain saat menggunakan media sosial.” Dari kedua skala tersebut, terungkap bahwa mereka yang lebih kecanduan media sosial juga memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk terlibat dalam perilaku perselingkuhan di dunia maya.
Mengutip Psychology Today, Sabtu (26/4/2025), temuan menarik dari studi ini adalah bahwa usia memegang peran penting dalam pola hubungan tersebut. Kaum muda, terutama generasi Z dan milenial muda, menunjukkan skor yang lebih tinggi dalam kecanduan media sosial dan kecenderungan selingkuh.
Sebaliknya, makin bertambah usia seseorang, makin lemah pula kaitan antara penggunaan media sosial dan perilaku perselingkuhan. Hal ini dijelaskan oleh Abbasi karena individu muda cenderung lebih berani mengambil risiko, termasuk dalam interaksi online yang berpotensi menggoyahkan komitmen dalam hubungan mereka.
Lebih lanjut, tingginya penggunaan media sosial di kalangan anak muda juga dipengaruhi oleh keinginan untuk terus terhubung dan membandingkan diri dengan orang lain. Kebutuhan akan pengakuan sosial dan keinginan untuk tidak ketinggalan tren menjadikan media sosial sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Sementara itu, orang yang lebih tua cenderung memiliki kebutuhan lebih rendah untuk membandingkan diri, sehingga penggunaan media sosial mereka juga lebih rendah.
Dari sisi gender, secara umum tidak ditemukan perbedaan signifikan antara pria dan wanita dalam hal kecanduan media sosial. Namun, pria cenderung mencatat skor yang lebih tinggi dalam perilaku perselingkuhan berbasis media sosial. Artinya, pria sedikit lebih rentan memanfaatkan media sosial sebagai jalan untuk berselingkuh.
Salah satu aspek yang mengkhawatirkan dari hubungan antara media sosial dan selingkuh adalah munculnya perilaku pengintaian atau surveillance. Studi sebelumnya menunjukkan bahwa penggunaan media sosial, terutama Facebook, dapat memicu rasa cemburu yang tinggi dalam hubungan. Rasa cemburu ini mendorong pasangan untuk memata-matai aktivitas satu sama lain di media sosial, yang pada akhirnya bisa menurunkan tingkat kepercayaan dan stabilitas dalam hubungan.
Media sosial menciptakan ruang interaksi yang terbuka dan kadang tanpa batas. Kita bisa dengan mudah terhubung kembali dengan mantan kekasih, teman lama, atau bahkan orang asing hanya dengan satu klik.
Dalam suasana yang lebih santai dan tanpa tatap muka langsung, batasan perilaku bisa kabur. Orang merasa lebih berani, lebih jujur, dan terkadang lebih flirty saat berada di dunia maya dibandingkan saat berinteraksi secara langsung.
Tanpa disadari, interaksi ringan seperti saling menyukai foto, mengirim pesan pribadi, atau membalas komentar bisa berkembang menjadi hubungan emosional yang mendalam. Di sinilah celah perselingkuhan terbuka lebar. Meski belum sampai pada kontak fisik, hubungan emosional yang terbangun melalui media sosial bisa sama menyakitkannya bagi pasangan.
Penting untuk dicatat bahwa perselingkuhan tidak selalu berbentuk hubungan fisik. Banyak pasangan menganggap komunikasi intens dan intim dengan orang lain di luar hubungan sebagai bentuk perselingkuhan emosional.
Di sinilah muncul pertanyaan sejauh mana interaksi kita di media sosial masih bisa dianggap wajar? Lalu kapan itu berubah menjadi bentuk perselingkuhan?
Di zaman serba digital, media sosial telah menjadi pedang bermata dua dalam kehidupan asmara. Oleh karena itu, kesadaran, komunikasi terbuka, dan batasan yang jelas dalam hubungan menjadi kunci agar media sosial tidak menjadi pemicu retaknya kepercayaan.