TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Guru merupakan ujung tombak peningkatan sumber daya manusia yang dituntut memiliki profesionalitas untuk mewujudkan generasi yang kritis, cerdas, berkarakter, dan demokratis. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, tugas besar yang dimiliki oleh guru tersebut harus dilaksanakan melalui sinergi antara berbagai pihak baik pemerintah, masyarakat, dan guru.
Sejak pelaksanaan otonomi daerah berlangsung, wewenang pengelolaan guru dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Akan tetapi, beberapa tahun belakangan terdapat wacana pengelolaan pendidikan terutama guru agar diserahkan kembali ke pemerintah pusat atau resentralisasi.
Salah satu wacana ini dilatarbelakangi karena guru tidak dapat melakukan mobilitas horizontal atau perpindahan antar daerah serta mobilitas veritikal atau kesulitan untuk mendapatkan akses ke jenjang karier yang lebih tinggi.
Namun demikian, upaya resentralisasi tidak hanya dapat dilihat dari langkah administratif, akan tetapi rencana tersebut dapat dilihat sebagai pandangan sempit yang menempatkan urusan pendidikan hanya sekedar urusan birokratis saja. Hal tersebut dapat diartikan sebagai upaya pengabaian terhadap esensi pendidikan sebagai proses sosial yang memiliki akar dari komunitas.
Kemunculan otonomi daerah pasca reformasi 1998 tidak hanya sebatas desentralisasi administratif saja, tetapi otonomi daerah dipandang sebagai upaya untuk menghidupkan kembali demokrasi termasuk pengelolaan pendidikan.
Terkait dengan wacana resentralisasi guru, ketika pengelolaan dilakukan secara terpusat, guru memiliki jarak dengan konteks komunitas yang seharusnya dijadikan sumber inspirasi bagi guru.
Kritik terhadap wacana resentralisasi guru ini berakar pada prinsip dasar desentralisasi. Dalam Decentralizing Governance: Emerging Concepts and Practices oleh Cheema dan Rondinelli bahwa tingkat keberhasilan pemerintah daerah ditentukan pada kewenangan yang diberikan kepada aktor lokal.
Hal ini berbanding terbalik jika kebijakan resentralisasi diterapkan tanpa perencanaan matang yang justru menciptakan gap antara pengambil kebijakan dan realitas di lapangan.
Dalam konteks pendidikan, keputusan terkait rekrutmen, pembinaan, dan distribusi akan lebih banyak ditentukan oleh mekanisme birokrasi di pemerintah pusat, alih-alih aspirasi dari sekolah dan masyarakat tempat di mana guru mengabdi.
Wacana resentralisasi guru dikhawatirkan memperbesar risiko birokratisasi pendidikan. Pollitt dan Bouckaert dalam Public Management Reform menegaskan bahwa pemberian birokrasi yang terlalu besar berpotensi menghambat inovasi.
Dampak dari birokratisasi pendidikan ini menyebabkan guru terlalu fokus pada pemenuhan laporan, pengisian administrasi, dan terikat pada prosedur-prosedur baku, dibandingkan mengembangkan metode pengajaran yang kreatif dan inovatif. Pendidikan yang seharusnya semakin hidup dan adaptif, justru hanya menjadi mesin formalitas.
Freidson dalam Professionalism: The Third Logic mengingatkan bahwa esensi dari profesionalisme adalah otonomi dalam melaksanakan profesi berdasarkan keahlian dan etika. Kebijakan resentralisasi ini berpotensi merusak profesionalisme guru yang hanya direduksi menjadi operator kebijakan pusat, pelaksana kurikulum, dan kebijakan yang seragam tanpa kebebasan ruang untuk interpretatif kreatif atau pengembangan pembelajaran berbasis kebutuhan peserta didik. Hal tersebut tidak hanya bisa melemahkan motivasi guru, akan tetapi juga dapat mengabaikan potensi guru sebagai agen perubahan sosial.
Dari sudut pandang politik, kebijakan resentralisasi guru dapat membuka ruang bagi negara untuk memperkuat kontrol politik terhadap sektor pendidikan. Selain dipandang sebagai sektor layanan publik, pendidikan juga dipandang sebagai arena produksi ideologi negara.
Grugel dan Bishop dalam Democratization: A Critical Introduction memberikan catatan bahwa pemerintah pusat dalam banyak negara berkembang cenderung memiliki kontrol di sektor pendidikan untuk menanamkan narasi resmi nasionalisme atau loyalitas politik.
Pada masa Orde Baru pendidikan merupakan salah satu alat instrumen politik untuk mengkonsolidasikan dan melegitimasi kekuasaan negara. Wacana resentralisasi guru apabila tidak dilakukan mekanisme pengawasan yang sesuai, berisiko mengulang pola lama yang pernah terjadi yaitu menjadikan guru sebagai agen penyebar kebijakan politik negara, alih-alih sebagai pendidik yang memiliki kebebasan dan kemerdekaan berpikir. Hal ini berpotensi melemahkan demokratisasi pendidikan dan dapat mengurangi daya kritis generasi muda.
Bahkan salah satu tanda kemunduran demokrasi yang disampaikan oleh Levitsky dan Ziblatt dalam How Democracies Die adalah kondisi di mana pemerintah menggunakan institusi publik salah satunya pendidikan untuk mempersempit ruang kebebasan berpikir dan memperkuat cengkeraman kekuasaan.
Melalui kerangka ini, wacana resentralisasi guru tidak hanya bisa dilihat sekedar prosedur teknis administratif, akan tetapi dapat dilihat sebagai persoalan demokrasi yang memunculkan pertanyaan besar siapa yang berhak menuntutkan arah pendidikan nasional, pemerintah pusat atau komunitas warga negara?
Ironisnya, alasan penyeragaman kualitas sering diajukan sebagai pembenaran upaya resentralisasi. Padahal Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki keragaman, penyamarataan tidak berarti penyeragaman.
Persoalan kualitas pendidikan tidak hanya terhenti dari persoalan keseragaman prosedur, akan tetapi relevansi dengan kebutuhan dan karakter lokal. Hal tersebut dikarenakan kebutuhan sekolah di masing-masing wilayah yang berbeda tergantung karakteristik yang ada.
Pendidikan sudah seharusnya bukan hanya sekedar persoalan administrasi negara. pendidikan merupakan proses membangun manusia, membentuk karakter, serta proses untuk menumbuhkan akal budi.
Melalui wacana pengembalian kendali penuh ke pemerintah pusat tanpa kajian yang mendalam, negara justru mempertaruhkan cita-cita besar yaitu menjadikan pendidikan sebatas prosedur birokratis dan justru kehilangan nyawa dan relevansinya.
Pemerintah perlu mempertimbangkan kembali pendekatan resentralisasi ini dengan kajian yang mendalam. Alih-alih mempersempit ruang gerak pemerintah daerah, negara seharusnya memperkuat kapasitas daerah dan sekolah untuk mengelola guru dengan tetap menjaga standar nasional kualitas melalui supervisi kolaboratif dan bukan melakukan kontrol yang kaku.
Pendidikan Indonesia tidak membutuhkan lebih banyak birokrasi. Pendidikan Indonesia membutuhkan lebih banyak kepercayaan.
***
*) Oleh : Muhammad Rafi Fadilah, Mahasiswa S2 Fisipol UGM.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.