TRIBUNNEWS.COM - Nasib pilu yang menimpa Tupon atau akrab disapa Mbah Tupon (68) seorang warga Ngentak, Bangunjiwo, Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mendapat atensi dari DPD Gerindra DIY.
Perhatian yang diberikan kepada Mbah Tupon itu dibagikan melalui instagram resmi DPC Gerindra Sleman, Sabtu (26/4/2025).
"Kami bersama mbah Tupon, @gerindradiy siap mengawal dan mendampingi kasus hukum yang dialami Mbah tupon," tulis Gerindra DIY.
Dalam video yang dibagikan, Anggota DPRD DIY Fraksi Gerindra sekaligus Wakil Ketua DPD Gerindra DIY, Danang Wahyu Broto datang menemui langsung Mbah Tupon.
Danang mengatakan, pihaknya bakal memberi pendampingan hukum untuk memperjuangkan keadilan bagi Mbah Tupon.
"Kami sowan ke rumah Mbah Tupon dalam rangka pendampingan hukum dari Partai Gerindra DIY."
"Kami sangat prihatin dengan kondisi Mbah Tupon, sehingga kami berharap bisa berbuat lebih banyak untuk mencari keadilan untuk Mbah Tupon yang menjadi korban atas permasalahan ini," kata Danang.
Kisah Mbah Tupon, Diduga Korban Mafia Tanah
Pada usia senjanya, Mbah Tupon terpaksa harus berhadapan dengan mafia tanah.
Tanah seluas 1.655 meter persegi miliknya, beserta rumahnya dan rumah sang anak terancam disita bank.
Mbah Tupon yang kesehariannya bekerja sebagai petani itu diduga menjadi korban mafia tanah yang mengubah sertifikat miliknya.
Kisah ini bermula pada tahun 2020 saat Tupon ingin menjual sebagian tanah miliknya, yaitu 298 meter persegi dari total 2.100 meter persegi.
Tanah itu dijual pada sosok berinisial BR dengan harga Rp 1 juta per meter.
Kala itu, Mbah Tupon juga menghibahkan sebagian tanahnya untuk jalan seluas 90 meter persegi, dan tanah seluas 54 meter persegi untuk gudang RT.
"Terus dipecah sertifikatnya, untuk jalan itu sudah jadi sertifikatnya," kata anak pertama Mbah Tupon, Heri Setiawan (31), Sabtu (26/4/2025) dikutip dari TribunJogja.
Uang hasil penjualan tanah itu, digunakan untuk membangun rumah Heri yang berada di barat rumah Tupon.
Singkat cerita, proses jual beli tanah tersebut sudah selesai.
BR diketahui masih memiliki utang pembayaran dari proses tersebut, sebesar Rp 35 juta ke Tupon.
Pada 2021, BR lalu menawarkan membayar utang dengan membiayai pecah sertifikat.
Niat Tupon, sertifikat itu akan dipecah menjadi 4 dengan total sisa tanah 1.655 meter persegi.
Empat sertifikat tanah itu, rencananya akan diatasnamakan untuk Mbah Tupon dan anak-anaknya sebanyak tiga orang.
"Bapak sering nanyain ke BR, sudah jadi atau belum (sertifikat)," katanya.
Alih-alih dibayar utangnya, Tupon justru mendapati sertifikat miliknya dibalik nama dengan inisial IF dan diagunkan ke bank senilai Rp 1,5 miliar.
Heri maupun Tupon tak mengenal siapa itu sosok IF.
Ia baru mengetahui sertifikat diatasnamakan orang lain dan diagunkan ke bank pada Maret tahun 2024 lalu.
"Bank ngabarin ke sini, atas nama IF dari awal pinjam belum sempat mengangsur sama sekali. Sekitar 4 bulan setelah pencairan bank ke sini," katanya.
Heri mengatakan, pihak bank menunjukkan fotokopi sertifikat.
Luasnya masih utuh 1.655 meter persegi, tapi sudah atas nama IF.
"Di bank itu sertifikatnya masih utuh, tapi sudah dibalik nama. Bank bawa fotokopian sertifikat," ujarnya.
Lanjut Heri, pihak bank memberitahukan bahwa tanah yang diagunkan atas nama IF itu sudah masuk lelang tahap pertama.
"Bank ke sini itu sudah lelangan pertama. Kemarin itu Jumat (25/4/2025), bank ke sini kasih tahu seminggu lagi ada seperti ukur ulang," katanya.
Mengetahui hal itu, pihak keluarga lalu mendatangi BR untuk menanyakan duduk perkara.
"Dia bilang 'ini yang nakal notarisnya, besok saya urus'. Lalu BR menyuruh tangan kanannya (inisial TR) mengajak lapor ke Polda (DIY)," katanya.
Heri menjelaskan, pihak bank tak pernah melakukan survei ketika sertifikatnya diagunkan ke bank.
Selama proses jual beli, Mbah Tupon diminta tanda tangan dua kali oleh calo penghubung BR.
Saat memberi tanda tangan, Tupon hanya didampingi istrinya dan tidak ada anak-anaknya.
"Disuruh tanda tangan pertama di daerah Janti, terus yang kedua di Krapyak. Bapak kurang tahu tanda tangan dokumen apa, soalnya bapak enggak bisa baca dan tidak dibacakan," katanya.
Kemudian, tiba lah pada tanda tangan ketiga, Tupon lagi-lagi tak didampingi oleh anak-anaknya.
Saat itu, tanda tangan ketiga dibubuhkan dengan alasan untuk urusan memecah sertifikat.
Setelah tanda tangan, Mbah Tupon kembali dimintai uang sebesar Rp 5 juta oleh TR, perantara BR.
"Sudah menanyakan ke BR, waktu itu BR ngomong 'wah nek saiki rung duwe duit, nek kowe ono cukupono sikik' (kalau sekarang belum ada uang, kalau kamu ada cukupi dulu)," kata Heri menirukan BR.
Kasus ini kemudian dilaporkan ke Polda DIY pada April 2025.
Heri diminta penyidik untuk melaporkan semua orang yang terlibat.
"Kata penyidik itu sudah mafia, laporkan TR, BR, TRY, AR, dan IF," katanya.
(Milani) (TribunJogja/Yoseph Hary Y)