Kementerian Pertanian (Kementan) menyambut hangat kunjungan delegasi forum kerja sama SelatanSelatan dan Triangular (SouthSouth and Triangular Cooperation/SSTC) untuk berdialog mengenai pelaksanaan Program Youth Entrepreneurship and Employment Support Services (YESS).
Sebanyak 12 peserta dari lima negara meninjau langsung lokasi pelatihan dan implementasi Program YESS.
Tinjauan ini merupakan bagian dari agenda pembelajaran lintas negara terkait praktikpraktik baik dalam pemberdayaan generasi muda di sektor pertanian.
Setelah peninjauan, para peserta SSTC melakukan dialog bersama para penentu kebijakan Program YESS.
Mereka mengajukan berbagai pertanyaan, termasuk kebijakan strategis yang diambil pemerintah Indonesia untuk mendorong tumbuhnya petani milenial.
Komitmen untuk menjadikan generasi muda sebagai pilar pertanian masa depan terus digencarkan oleh Menteri Pertanian (Mentan), Andi Amran Sulaiman.
Dia menyatakan bahwa keterlibatan generasi muda akan mempercepat pencapaian visi Indonesia Emas 2045.
Amran menjelaskan transformasi pertanian tradisional menuju pertanian modern dapat menekan biaya, meningkatkan produksi secara signifikan, serta menyerap lebih banyak tenaga kerja muda.
"Jika tiga instrumen—lahan, milenial, dan teknologi—kita optimalkan, maka pertanian Indonesia akan menjadi kunci menuju Indonesia Emas," katanya dalam keterangannya, Minfgu (27/4/2025).
Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian (BPPSDMP), Idha Widi Arsanti, menyambut langsung para delegasi dan menyampaikan rasa bangganya atas kepercayaan yang diberikan untuk menjadikan Program YESS sebagai lokasi studi banding antarnegara.
Idha menjelaskan bahwa Program YESS yang telah berjalan selama lima tahun, secara aktif mendorong keterlibatan generasi muda dalam sektor pertanian.
Melalui pelatihan, peningkatan kapasitas, pendampingan usaha, serta fasilitasi akses ke pasar dan pembiayaan, YESS menjadi wadah strategis dalam menyiapkan petani milenial yang mandiri dan inovatif.
“Banyak kegiatan yang sudah dilakukan YESS untuk menarik minat generasi muda agar tidak hanya menjadi petani, tapi juga pelaku agribisnis yang adaptif terhadap perubahan zaman,” ujar Idha.
Dia juga menekankan pentingnya pertukaran pengalaman teknis antarnegara dalam forum SSTC ini.
"Saya memahami bahwa para delegasi SSTC adalah pengelola proyek di negaranya masingmasing. Meski konteksnya berbeda, prinsipprinsipnya bisa diadaptasi,” jelasnya.
Menurutnya, keberhasilan YESS tak lepas dari pendekatan desain proyek yang berbasis pada kebutuhan lapangan.
Timnya melakukan pemetaan menyeluruh, belajar dari proyek serupa sebelumnya, serta mendengar langsung masukan dari petani dan anak muda.
"Pendekatan kami tidak hanya topdown, tetapi juga bottomup. Ini penting agar program menjawab tantangan nyata regenerasi petani,” tegasnya.
Idha mengingatkan bahwa jika negara tidak menyiapkan generasi muda untuk masuk ke sektor pertanian, maka akan terjadi kekosongan pelaku usaha tani ke depan.
"Petani tua akan berkurang secara alamiah, dan tanpa regenerasi yang dirancang dengan baik, kita bisa kehilangan keberlanjutan,” tambahnya.
Ia juga menyampaikan apresiasi atas penunjukan Program YESS oleh Sekretariat Negara sebagai salah satu program unggulan yang layak dikunjungi oleh delegasi internasional.
"Kami telah mendokumentasikan banyak success story dan praktik baik dari Program YESS. Tapi melihat langsung dampaknya di lapangan memberi pemahaman yang lebih kuat dan menyentuh,” katanya.
Kepala Biro Kerja Sama Teknik Luar Negeri Kementerian Sekretariat Negara, Noviyanti, turut mengakui keberhasilan YESS dalam mencetak petani muda.
"Program YESS ini terbukti menjadi salah satu success story Kementerian Pertanian. Lebih dari 100 ribu petani milenial di wilayah pedesaan telah merasakan dampaknya,” ujar Noviyanti
Ia menilai, Program YESS dapat direplikasi di negaranegara peserta delegasi SSTC. Sejak diluncurkan pada 2019, YESS yang merupakan kolaborasi antara Pemerintah Indonesia dan IFAD telah menunjukkan hasil nyata dalam pengembangan ekonomi pedesaan.
"Ini adalah cerita sukses yang layak dibagikan ke negaranegara lain. Terutama antarnegara berkembang, karena kita punya pengalaman dan tantangan yang serupa,” jelasnya.
Menurut Noviyanti, pertukaran pengetahuan antarnegara berkembang memiliki nilai praktis yang tinggi karena latar belakang ekonomi, iklim, dan sistem pertaniannya relatif mirip.
"Kalau dari sisi ekonomi dan musim tanam kurang lebih sama. Halhal semacam itu membuat pembelajaran lebih mudah diaplikasikan," pungkasnya.