KATEGORI baru masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) untuk wilayah Kalimantan, ditetapkan Rp 9 juta untuk yang tidak kawin dan Rp 11 juta untuk yang sudah kawin dan untuk peserta Tapera sebesar Rp 11 Juta.
Angka ini juga berlaku untuk wilayah Sulawesi, Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Maluku, Maluku Utara dan Bali.
Wilayah ini masuk zona dua yang telah ditetapkan pemerintah terkait batas penghasilan masyarakat yang bisa mengakses kredit pemilihan rumah (KPR) subsidi. Total ada empat zona yang ditetapkan pemerintah.
Ya, per 22 April 2025, pemerintah resmi memberlakukan Peraturan Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Nomor 5 Tahun 2025 tentang Besaran Penghasilan dan Kriteria Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Kriteria MBR dalam ketentuan ini didasarkan pada besaran penghasilan. Sedangkan batas maksimal penghasilan MBR dibedakan berdasarkan status perkawinan dan zona.
Tujuan ‘baiknya’, pemerintah ingin memperluas akses masyarakat untuk memiliki hunian. Seperti disampaikan Komisioner BP Tapera, Heru Pudyo Nugroho, bahwa pada peraturan sebelumnya, masih banyak masyarakat yang tidak bisa mengakses rumah subsidi.
Nah, dengan menaikkan batas besaran penghasilan MBR, serta penghitungan berdasarkan kemampuan membayar biaya pembangunan atau perolehan rumah layak huni dan batasan luasan lantai 36 m2 untuk rumah umum dan 48 m2 untuk rumah swadaya, diharapkan memberikan peluang lebih besar bagi lebih banyak orang.
Kebijakan ini pun disambut baik para pengembang perumahan. Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) REI Kalsel H Ahyat Sarbini, misalnya, mengatakan kebijakan ini diharapkan meningkatkan serapan rumah bersubsidi di Kalsel yang tahun ini kuotanya 10 ribu unit.
Meskipun disambut baik, namun kebijakan ini pun masih menuai dilema di kalangan masyarakat, khususnya yang penghasilan minim atau malah tidak menentu. Sebab persoalan penyerapan rumah bersubsidi, sebenarnya juga terkait harga rumah yang terus naik.
Sementara itu masyarakat yang betul-betul membutuhkan rumah adalah yang penghasilannya sangat minim karena pekerjaan serabutan, atau di bawah UMR. Alhasil, mereka terpaksa memilih menyewa rumah atau bedakan, sekadar untuk tempat tinggal bersama keluarganya.
Kalangan inilah yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah agar lebih mudah mendapatkan rumah bersubsidi. Namun, skema yang tepat memang diperlukan agar tidak merugikan pengembang atau malah menambah kredit macet di perbankan.
Selain itu perlu sinergisitas antarinstansi untuk menjaga agar KPR subsidi benar-benar tepat sasaran. Bukan malah menjadi peluang orang-orang berduit untuk menambah koleksi asetnya. (*)