TRIBUNBATAM.id - Kasus sertifikat tanah Mbah Tupon tiba-tiba berganti nama menyita perhatian publik.
Kepala Kantor ATR/BPN Bantul, Jawa Tengah Tri Harnanto menelusuri ulang keabsahan akta jual beli.
Meski demikian, dari sisi administrasi pendaftaran, prosedur dinilai sah.
"Karena kasus ini sudah dilaporkan ke Polda DIY, nanti Polda yang akan menguji akta-akta tersebut," kata Tri.
Untuk menelusuri dugaan pelanggaran ini, ATR/BPN Bantul bakal memanggil Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) terkait guna dimintai keterangan dalam forum majelis pembinaan dan pengawasan.
Tri Harnanto mengatakan, pemanggilan ini dalam konteks majelis pembinaan dan pengawasan PPAT.
"Untuk diminta keterangan terkait peristiwa ini, sehingga nanti dari keterangan itu pelanggaran apa yang dilakukan," kata Tri, Selasa (29/4/2025).
Sanksi jika PPAT melanggar Tri mengatakan apabila dalam proses hukum di Polda dan pihak PPAT ditemukan pelanggaran pihaknya akan mencermati pelanggaran apa yang dilakukan. Lanjut dia, ada beberapa tingkatan sanksi yang bisa diberikan apabila PPAT terbukti bersalah. "Di kementerian sanksi itu beberapa ada teguran, tertulis, pelanggaran ringan itu ada hukuman antara 3 bulan sampai 2 tahun tidak boleh melakukan aktivitas," ucap Tri.
"Kemudian pelanggaran berat, apabila PPAT melakukan pelanggaran berat, maka yang bersangkutan akan dikenakan sanksi penghentian tidak dengan hormat," imbuhnya.
Tri menyampaikan aturan soal sanksi itu tertuang pada Peraturan Menteri nomor 2 tahun 2018 tentang pembinaan dan pengawasan PPAT.
Untuk mencegah pelelangan, pihak ATR/BPN juga mengupayakan blokir internal.
Proses pencabutan sertifikat atas nama IF dimungkinkan, namun harus melalui prosedur panjang.
"Ini jadi pelajaran penting. Mafia tanah sudah mulai merebak di Jogja, khususnya di Bangunjiwo, Bantul," imbuh Tri.
Ia mengimbau warga lebih berhati-hati, dan mewajibkan koordinasi dengan pemerintah setempat dalam setiap pengurusan tanah.
Sementara itu, trauma mendalam masih membekas di hati Mbah Tupon. Setiap permintaan tanda tangan kini membuatnya cemas.
"Sedih, susah to, bingung pikirannya. Yang penting sertifikat kembali ke saya," kata Mbah Tupon lirih, seakan berdoa dalam diam.
Tanah warisan
Hidup Mbah Tpon, 68 tahun, warga Padukuhan Ngentak, Bangunjiwo, Kasihan, Bantul, berubah drastis dalam hitungan waktu.
Tanah warisan seluas 1.655 meter persegi beserta dua rumahnya, yang ia rawat sejak muda, kini terancam hilang.
Sertifikat tanah itu tiba-tiba berpindah nama tanpa sepengetahuannya, diagunkan ke bank untuk pinjaman miliaran rupiah, dan kini berada di ambang pelelangan.
"Saya dijak tanda tangan, mlebet, terus medal. Mboten dimaoske nopo-nopo, saya manut saja, (Saya diajak tanda tangan, masuk terus keluar. Tidak dibacakan apa-apa )," ujar Mbah Tupon, suaranya parau mengingat bagaimana ia, yang tak lancar membaca, menandatangani dokumen-dokumen berisi jebakan.
Kisah pilu ini bermula pada 2020. Saat itu, Mbah Tupon berniat menjual sebagian tanahnya 298 meter persegi kepada seorang pembeli berinisial BR.
Ia juga menghibahkan sebagian tanah untuk pembangunan jalan dan gudang RT.
Namun, dalam proses pecah sertifikat, terjadi penyimpangan.
Sisa tanah yang seharusnya tetap atas nama Mbah Tupon justru berbalik nama menjadi milik Indah Fatmawati (IF).
Tanpa diketahui Mbah Tupon, sertifikat baru itu diagunkan ke bank untuk pinjaman Rp1,5 miliar.
Pihak keluarga baru sadar ketika bank mengabarkan bahwa tanah tersebut akan dilelang, karena sejak pinjaman disetujui, tak satu pun cicilan dibayar.
"Bank ngabari ke sini, katanya sertifikat atas nama IF. Dari awal pinjam belum sempat mengangsur," jelas Heri Setiawan, anak sulung Mbah Tupon.
Ketua RT 4 Ngentak, Agil Dwi Raharjo, turut membenarkan kisah ini.
Ia menuturkan bagaimana masyarakat mengadakan doa bersama dan aksi damai, menuntut keadilan untuk Mbah Tupon.
"Kami ingin memberikan dukungan moral. Ini soal hak warga kecil yang diinjak-injak," katanya.
Hingga kini, sudah dua kali tanah Mbah Tupon dilelang, namun tidak laku.
Proses pelelangan kemudian dihentikan sementara, setelah pihak bank berkomitmen mengembalikan sertifikat tersebut.
Kasus ini menarik perhatian luas. Sekretaris Daerah (Sekda) DIY, Beny Suharsono, menegaskan bahwa Pemda DIY akan hadir mendampingi Mbah Tupon.
"Saya kira tidak perlu ada instruksi khusus. Ini sudah menjadi kewajiban pemerintah daerah untuk melindungi warganya," ujarnya di Kompleks Kepatihan, Yogyakarta.
Anak Mbah Tupon telah melaporkan kasus ini ke Polda DIY.
Penyidikan masih berlangsung. Polda DIY, melalui Kabid Humas Kombes Pol Ihsan, menyatakan kasus ini masih dalam tahap penyelidikan.
"Mohon waktu, kami terus menindaklanjuti," ucap Ihsan.
Bantuan hukum pun mengalir. Agil mengatakan, ada tiga pihak yang menawarkan dukungan: Pemerintah Kabupaten Bantul, Partai Gerindra, dan anggota DPR RI, Rieke Diah Pitaloka alias Oneng.
Meski sudah memiliki tim hukum, keluarga Mbah Tupon membuka opsi kolaborasi.
"Sementara ini, langkah kami kolaborasi tim kuasa hukum. Intinya, sertifikat kembali atas nama Mbah Tupon," terang Agil.
Plt Panewu Kasihan, Anton Yulianto, menegaskan komitmen pihak kecamatan.
"Apa yang menjadi hak warga negara harus kami perjuangkan. Kami satu komando dengan Bupati Bantul untuk memberi bantuan hukum," katanya.
Pemerintah Kalurahan Bangunjiwo, bersama ATR/BPN Bantul, juga bergerak cepat.
Lurah Bangunjiwo, Parja, mengakui, awalnya pihak kalurahan tidak mengetahui proses balik nama. Hanya setelah kasus ini mencuat, laporan resmi masuk.
"Permintaan Mbah Tupon simpel, tanahnya kembali atas nama beliau," jelas Parja.
Mediasi sempat digelar, namun menemui jalan buntu. Kasus ini kemudian viral, dan perhatian semakin luas. Pemerintah Kabupaten Bantul mengutus bagian hukum, dan Kementerian Agraria mengutus ATR/BPN untuk turut menuntaskan persoalan.(*/han/nei)