Lebih Tua dari UU TNI, Akankah Undang-Undang HAM Juga Direvisi Tahun Ini? Begini Kata DPR
Hasanudin Aco April 30, 2025 01:36 PM

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terdapat dua Undang-Undang (UU) menyangkut Hak Asasi Manusia (HAM) yang usianya lebih tua dari UU nomor 34 tahun 2004 tentang TNI yang belum lama ini direvisi dan diundangkan oleh pemerintah dan DPR menjadi UU nomor 3 tahun 2025.

Dua UU menyangkut HAM tersebut yakni UU nomor 39 tahun 1999 tentang HAM dan UU nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM.

Lantas akankah dua UU tersebut juga bernasib sama dengan UU TNI yang rampung direvisi dan diundangkan tahun ini?

Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI, Sugiat Santoso, mengatakan revisi UU HAM telah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2025.

Ia mengatakan revisi UU tersebut menjadi inisiatif Badan Legislasi (Baleg) DPR.

Hal itu disampaikannya usai menghadiri Peluncuran Laporan Tahunan HAM Amnesty International terkait situasi hak asasi manusia di 150 negara termasuk Indonesia, di kantor Amnesty International Indonesia, Menteng Jakarta pada Selasa (29/4/2025).

"UU HAM itu sudah masuk prolegnas kita di prioritas tahun 2025 itu menjadi inisiatif baleg. Nanti dikolaborasikan dengan Kementerian HAM, Komnas HAM," ungkapnya.

Namun demikian, ia mengakui belum ada pembahasan mengenai substansi yang akan direvisi dalam UU tersebut.

Sugiat mengatakan nantinya Baleg akan mengundang para pihak terkait untuk membahas soal tersebut.

"Saya pikir nanti dalam proses di Baleg kita akan mengundang kawan-kawan terkait dengan revisi UU HAM, bagaimana penguatan terhadap Komnas HAM dalam melaksanakan fungsi dan tanggung jawabnya," ungkap anggota Baleg DPR tersebut.

Ia mengaku optimistis UU tersebut dapat dibahas tahun ini.

Selain itu, ia mengaku Baleg juga tengah berupaya untuk menyelesaikan revisi Undang-Undang yang telah masuk daftar prolegnas prioritas.

"Ya makanya begini, kawan-kawan kemarin mengkritisi UU TNI cepat, sementara kita sendiri punya tanggung jawab bagaimana daftar prolegnas prioritas kita itu bisa kita tuntaskan. Ya tidak memgurangi substansinya, tetapi bisa bagaimana UU itu segera disahkan dan itu bisa bermanfaat bagi bangsa dan negara ini," kata dia.

"Kalau kami (Fraksi Partai Gerindra), setiap UU yang sudah masuk prolegnas prioritas kami berharap itu bisa dituntaskan secepatnya tanpa mengurangi substansi dari UU," pungkasnya.

Perlu Penguatan Lembaga

Diberitakan sebelumnhya, Ketua Komnas HAM RI  Atnike Nova Sigiro memandang Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) perlu direvisi.

Atnike mengatakan dalam sejarahnya pembentukan UU HAM dilatari situasi politik transisi di mana ada kedaruratan perlunya segera mekanisme HAM nasional menyangkut munculnya persoalan-persoalan HAM karena terbukanya ruang demokratisasi. 

Sebab itu, dia memandang masih adanya pertimbangan pragmatis yang digunakan dalam pembentukan UU itu.

Sehingga, menurutnya UU HAM saat ini perlu direvisi untuk mengakomodir perkembangan yang terjadi setelahnya.

Hal itu disampaikannya di sela-sela Peringatan Hari HAM Sedunia di kantor Komnas HAM RI Jakarta Pusat pada Selasa (10/12/2024).

"Di dalam UU 39 kalau kita lihat, ada persoalan-persoalan teknis dari Undang-Undang. Yang paling sederhana, jumlah anggota Komnas HAM di situ disebut 35 orang. Karena waktu itu provinsi Indonesia itu ada 33, lalu ada dua pimpinan. Jadi hitungannya pragmatis saja dulu ketika bikin aturan itu," ujarnya. 

"Sekarang tentu harus kita revisi dong, kita review. Masa' ada hukum tapi tidak ditaati 35, bahkan setiap periode tidak sama. Itu kan harus dibuat sesuai dengan analisis yang rasional terhadap fungsi dari Komnas HAM. Apakah Komnas HAM jumlah anggotanya 5 seperti komisi negara lain, atau 7," sambung dia.

Selain itu, kata dia, saat Komnas HAM dibentuk para pegawainya bukalah pegawai negeri.

Sementara saat ini, ungkap dia, para pegawai di Komnas HAM adalah ASN.

"Itu ada implikasi terhadap bagaimana status kepegawaian dari staf Komnas HAM. Kompetensi apa yang dimiliki, itu juga sekarang kami dorong. Bahwa Komnas HAM tidak hanya diberi tugas untuk mendorong penegakan HAM melalui pemantauan tetapi juga didukung dengan jabatan fungsional yang sesuai dengan tugas dan fungsi," sambung dia.

Terkait itu, Atnike pun mencontohkan soal tugas pemantauan atau penyelidikan HAM.

Menurutnya, bila Komnas HAM diberikan tugas pemantauan dan penyelidikan HAM oleh UU HAM, maka Komnas HAM juga membutuhkan jabatan fungsional pemantau HAM atau penyelidik HAM.

"Hal-hal seperti itu kelihatannya teknis, tapi penguatan kelembagaan kami sangat dibutuhkan. Penyelidik UU 26 (pelanggaran HAM berat), kami butuh jabatan fungsional penyelidik, kami butuh jabatan fungsional mediasi," ungkapnya.

Selain itu, menurut Atnike, fungsi mediasi yang dilakukan Komnas HAM selama ini juga terbukti mampu menyelesaikan persoalan sejumlah hak asasi.

Tentunya, lanjut dia, selama bukan dalam konteks kejahatan pidana apalagi kejahatan pidana yang serius.

"Dalam konteks Indonesia ke depan, ini banyak proyek-proyek pembangunan, banyak proyek investasi. Maka tidak bisa segala sesuatunya diselesaikan hanya melalui proses hukum," kata dia.

"Harus ada model-model (penyelesaian) pelanggaran HAM melalui proses-proses, apakah restoratif, atau juga melalui proses-proses non yudisial yang tetap memberikan keadilan bagi para pihak dan menjamin hak asas dari warga negara," pungkasnya.

 

 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.