SURYA.CO.ID – Kelakuan Aura Cinta protes larangan wisuda ke Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi membuat heran mantan kepala sekolahnya di SMAN 1 Cikarang Utara, Didi Rosidi.
Pasalnya, Aura Cinta ternyata sudah satu tahun lulus dari SMAN 1 Cikarang Utara.
Kepala SMAN 1 Cikarang Utara, Didi Rosidi menduga protes larangan wisuda yang dibuat Aura Cinta itu bukan untuk dia, tetapi adiknya.
"Mungkin yang dimaksud wisuda itu bukan untuk dia, tapi adiknya yang akan lulus SMP pak," kata Didi Rosidi kepada Gubernur Jabar, Dedi Mulyadi dikutip dari tayangan youtube KDM Channel.
Didi lalu mengungkap identitas asli Aura.
Menurutnya, perempuan berwajah imut itu memiliki nama lengkap Egalita Aurelia Devi Artamevia.
Aurelia atau Aura masuk ke SMAN 1 CIkarang Utara pada tahun 2001 melalui jalur afirmasi bagi keluarga ekonomi menengah ke bawah.
Didi memastikan Aura bukan lagi anak-anak, karena usianya saat ini hampir 20 tahun.
"Dia lahir tahun 2005. Berarti sudah dewasa," katanya.
Didi juga mengakui gadis ini memiliki bakat di bidang seni.
Selain membintangi iklan, Aura ternyata pernah bermain sebagai figuran di sinetron.
Kegiatan seni atau syuting itu sudah berjalan saat dia masih bersekolah.
"Ada bakatnya, waktu sekolah sudah jalan. Beberapa izin untuk mengikuti syuting," ungkapnya.
Terkait kondisi ekonomi keluarga Aura, Didi mengaku gadis ini tinggal bersama orangtuanya di bantara sungai.
"Kalau kategori keluarganya? Kalau kemarin bilangnya keluarga miskin," singgung Dedi.
Pernyataan Didi ini akhirnya mengklarifikasi tudingan sejumlah pihak bahwa Aura masih berusia anak.
Sebelumnya, mantan komisioner KPAI Retno Listyarti menyinggung tentang sosok Aura Cinta yang menurutnya masih usai anak karena belum 18 tahun.
Retno juga menyinggung masalah hak anak berpendapat yang dilindungi oleh konstitusi RI dan undang-undang perlindungan anak.
Retno tidak melihat ada dialog yang setara antara Dedi Mulyadi dan Aura Cinta yang terekam dalam video youtube Kang Dedi Mulyadi Channel.
"Saya apresiasi ada dialog yang dibuka oleh gubernur. Pak gubernur punya relasi kuasa yang tidak seimbang dengan si anak," katanya dikutip dari tayangan Nusantara TV pada Senin (28/4/2025).
Retno sebagai pemerhati anak justru salut dengan keberanian Aura yang memiliki keberanian luar biasa untuk berbicara dengan gubernur.
"Dia bicaranya runut, hanya dipotong-potong oleh gubernur. Sedang bicara apa belum utuh, sudah dipotong.
"Kita tidak menangkap makna keseluruhan dari yang mau disampaikan si anak,' ujar Retno.
Retno juga menyayangkan cara Dedi Mulyadi memvideo dan memviralkan perdebatan itu.
Apalagi dia beberapa kali menyebut si anak dengan mengatakan tidak punya rumah tapi mengutamakan ini (wisuda).
Hal itu, menurut Retno, sudah merupakan penghakiman terhadap anak.
"Menurut saya, dialog yang baik, tidak seperti itu. Mau dialog, dipanggil berdua, bicara bebas," katanya.
Menurut Retno, ketika sebuah kebijakan dikritisi, hal itu dilindungi oleh konstitusi.
"Ini anak, cara berpikirnya beda dengan orang dewasa. Medengarkan anak, menjadi hal penting, apalagi terkait kebijakan.
"Kebijakan publik harus menyentuh, menanyakan pendapat terhadap yang terkena langsung termasuk anak, guru dan orangtua," tegasnya.
Diakui Retno, Dedi Mulyadi memiliki karakter tersendiri dalam berkomunikasi.
Menurutnya hal itu tidak masalah, tetapi ketuika berdialog dengan anak, hal itu harus dibedakan.
Retno menyayangkan setelah video viral, justru banyak netizen yang menyerang si anak dengan kata-kata yang menyakitkan, seperti: udah miskin, belagu, sok kaya.
"Padahal ini bukan itu lho. Ini soal dia berpendapat. Dia gak kuasa kok ketika kebijakan itu dilakukan sekolah, dinas pendidikan atau gubernur. Tapi dia ingin berpendapat dan pendapatnya didengar," tukasnya.
Isi Perdebatan Selengkapnya
Dalam pertemuan yang diunggah di YouTube Kang Dedi Mulyadi Channel pada Sabtu (26/4/2025), siswi itu, yang baru saja lulus SMA, menyampaikan keinginannya agar tetap ada acara perpisahan.
"Kalau misalnya bisa, wisuda pengeluarannya lebih sedikit. Biar adil, Pak, semua murid bisa ngerasain perpisahan," ujar si gadis.
Namun Dedi mengingatkan, selama ini pelaksanaan perpisahan di sekolah seringkali membebani orang tua murid, bahkan ada yang sampai harus berutang untuk menutupi biaya acara maupun study tour.
Siswi tersebut pun mengakui bahwa biaya perpisahan cukup memberatkan keluarganya, tapi tetap berpendapat acara itu penting agar semua siswa bisa merasakan momen kelulusan.
"Ngerasain perpisahan, duit dari siapa?" tanya Dedi.
"Orang tua," jawab Aura.
"Membebani nggak?" lanjut Dedi.
"Iya membebani, Pak. (Tapi) kan ada juga yang cuma lulusan SD, SMP, atau SMA," jawabnya.
Saat Dedi meminta rincian biaya perpisahan saat SMP, si gadis menyebut nominal sekitar Rp1 juta.
Padahal, dari pengakuan sang ibu yang duduk di sampingnya, kondisi ekonomi keluarga jauh dari kata mapan.
Ibunya hanya seorang ibu rumah tangga, sementara ayahnya berjualan botol kaca untuk bensin eceran.
"Waktu (SMP) itu (bayar sekitar) Rp1 juta doang, Rp1,2 juta," kata si gadis.
"Ibuknya kerja apa? Ayahnya kerja apa?" tanya Dedi.
"(Saya) ibu rumah tangga. (Ayahnya) wiraswasta, dagang. Dagang botol-botol (untuk) bensin (eceran)," jelas ibunya.
Meski penghasilan pas-pasan, sang ibu tetap rela mengeluarkan uang demi perpisahan agar anaknya punya kenangan bersama teman-temannya.
Ia mengaku lebih memilih menghabiskan uang untuk acara itu daripada menabung untuk membeli rumah.
"Ibu lebih setuju mana? Perpisahan tapi bayar, atau perpisahan dilarang, nggak ngeluarin duit?" tanya Dedi.
"Kalau buat mental anak, setuju yang bayar. Kalau nggak ada kenangan, kan ini," sahut sang ibu.
Dedi yang mendengar jawaban itu langsung menyinggung pilihan hidup keluarga tersebut.
"Ibu rumah aja ga punya?" sindir Dedi.
"Iya, tapi kalau demi anak saya sih nggak apa-apa, Pak," jawab si ibu.
Dedi kemudian mengingatkan, sebagai orang tua, mestinya mereka lebih memprioritaskan kebutuhan dasar seperti tempat tinggal yang layak, ketimbang membiayai gaya hidup.
"Demi anak jangan tinggal di bantaran sungai. Ibu tinggal aja masih di bantaran sungai, kenapa gaya hidup begini (selangit)?" kata Dedi sambil mengangkat tangan ke atas.
"Ini kan harus diubah," tegasnya.
Saat Dedi Mulyadi mengancam tidak akan memberikan bantuan Rp 10 juta untuk keluarga ini, sang ibu lalu mengaku biskin.
"Sekarang teriak-teriak minta penggantian, saya kalau tega-tegaan saya layak ganti gak ? tanah tanah negara, kebutuhan untuk rakyat, proyek kabupaten (Bekasi), terus kemudian saya ngapain ngeluarin uang Rp 10 juta buat ibu, udah kasihin orang miskin aja yang lain," kata Dedi Mulyadi.
"Saya juga miskin," timpal ibu Aura yang merupakan asli Solo, Jawa Tengah.
"Kenapa miskin gayanya kayak orang kaya," kata Dedi Mulyadi.
Dedi mengatakan dengan gaya Aura yang sinis mengkritik kebijakan larangan perpisahan sekolah, seharusnya disesuaikan dengan kemampuan ekonomi.
"Anak ibu kalau modelnya begini gak bisa. Kan harus dibenerin, rumah gak punya, sekarang ngontrak udah punya ?" tanya KDM.
"Udah nyicil berapa bulan," katanya.
Dedi Mulyadi menganggap keluarga Aura masuk dalam kategori mampu.
"Udah saya gak usah bantu ibu deh. Karena ibu mapan, orang sekolah aja pengen ada wisuda, berarti kan punya kemampuan. Saya gak usah bantu yah," kata Dedi Mulyadi.
Mendengar tak akan dapat uang kerohiman dari Dedi Mulyadi, Aura Cinta langsung bersuara.
"Gak gitu pak, waktu bikin video TikTok bukan untuk minta kerohiman. Saya cuma minta keadilan aja. Waktu digusur itu gak ada musyawarah cuma ada stapol pp datang," kata Aura.
Dedi Mulyadi pun mengatakan bagaimana jika kondisinya diballik.
"Saya balik pertanyaannya, tinggal di tanah orang harus bayar gak ? kalau saya balik nuntut pemdanya suruh minta tagihan dihitung berapa tahun ke belakang bayar tipa tahun," kata KDM.
Aura justru memintta Dedi melihat latar belakang ekonomi keluarganya.
"Ya bapak kan bisa lihat latar belakang saya miskin atau gak terus mampu bayar apa gak," kata Aura.
"Kamu miskin gak ?" tanya Dedi Mulyadi.
"iya, saya mengakui," kata Aura.
"Kenapa miskin hidup bergaya sekolah harus perpisahan. Kamu kan miskin kenapa orang miskin gak prihatin," kata Dedi.
Aura menjelaskan ia hanya meminta kebijakan agar perpisahan sekolah tetap diizinkan karena tidak semua setuju.
"Gini pak mohon maaf ya pak saya bukan menolak kebijakan bapak apapun itu saya mendukung cuma jangan dihapus pak gak semua orang bisa menerima terus kalau misal wisuda dihapus terus bapaknya juga minta pajak ke saya padahal saya miskin," kata Aura.
Mendengar itu, Dedi Mulyadi pun memberi jawaban pedas.
"Bukan minta pajak. Saya balik, anda miskin tapi jangan sok kaya. Orang miskin tuh prihatin membangun masa depan seluruh pengeluaran ditekan, digunakan untuk yang positif, bisnis, pengembangan diri. Lah ini rumah gak punya, tinggal di bantaran sungai. Orang tua yang lain itu menyambut gembira ketika wisuda dihapus, keluarga ini menolak wisuda dihapus, ya kalau gitu saya gak usah kasih kerohiman," kata KDM.
Ibu Aura Cinta juga mengaku membutuhkan uang kerohiman itu untuk membayar kontrakan.
"Perlu uang gak ? kalau ibu buat ngontrak aja gak punya, ngapain protes wisuda harus ada. Kan logika harus ada, hidup tuh jangan sombong. Ibu buat ngontrak aja gak punya, tapi ibu merasa wisuda lebih penting. Lebih penting mana kontrakan untuk tempat tinggal apa wisuda ? Anda teriak-teriak gak punya untuk ngontrak tapi satu sisi anaknya protes harus ada wisuda, saya kan pusing dengerinnya," kata Dedi Mulyadi. (kompas.com/tribun bogor)