Batik Giri Wastra Pura, Warisan Budaya di Tanah Wingit Makam Raja dan Presiden
Nuryanti April 30, 2025 11:33 PM

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chrysnha Pradipha

TRIBUNNEWS.COM, KARANGANYAR - Di lereng Gunung Lawu yang berselimut kabut dan udara sejuk, terbentang sebuah desa yang menyimpan warisan tak ternilai bernama Desa Girilayu, Kecamatan Matesih, Kabupaten Karanganyar.

Untuk mencapainya, pengunjung harus menyusuri jalanan berkelok khas pegunungan selama sekitar satu jam dari pusat kota Solo, menempuh jarak 34 kilometer yang terasa seperti perjalanan melintasi ruang sejarah dan kebudayaan.

Di desa yang diapit dua kompleks makam bersejarah di Jawa Tengah, yakni Astana Mangadeg dan Astana Giribangun, hidup sebuah karya budaya yang tetap bernapas dari zaman raja hingga kini.

Astana Mangadeg adalah tempat peristirahatan terakhir Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara I, lebih dikenal dengan nama Pangeran Sambernyawa atau Raden Mas Said, pendiri Pura Mangkunegaran generasi Mataram Islam pelopor gerakan perlawanan terhadap penjajah.

Masih di area pemakaman, dimakamkan juga Mangkunegara II, Mangkunegara III dan kerabat dekat.

Sementara tak jauh dari sana, Astana Giribangun menjadi saksi sejarah Indonesia modern, terdapat kompleks makam keluarga Presiden kedua Republik Indonesia, Soeharto, beserta Tien Soeharto.

Di antara keheningan pusara agung itulah, kain batik tulis Giri Wastra Pura lahir dan tumbuh menjadi simbol warisan budaya yang tak lekang oleh zaman.

Partinah, seorang perempuan berusia 57 tahun, menjadi sosok penjaga warisan itu, sekaligus pelaku sejarah kecil yang membentangkan kebudayaan dengan canting dan malam.

Ia adalah generasi keempat dari keluarga pembatik di Girilayu, sebuah garis keturunan yang mengalir sejak era Mangkunegaran berdiri sekitar tahun 1775.

Usahanya yang bernama Giri Wastra Pura bukan hanya menjadi penghidupan, tapi juga simbol dari kelangsungan tradisi batik tulis yang kini makin langka.

Pada 2019, Giri Wastra Pura terpilih menjadi bagian dari program BRI Incubator, sebuah dukungan untuk pelaku UMKM agar mampu berkembang di era digital dan kompetitif.

Namun lebih dari itu, nilai istimewa Giri Wastra Pura terletak pada ciri khas motif, salah satunya adalah motif Tugu Tri Dharma, monumen kecil yang berdiri hening di antara dua tokoh besar yang bersemayam di Girilayu.

Tugu itu bukan sekadar bentuk, tetapi simbol yang memuat filosofi persatuan, pengabdian, dan semangat spiritual yang diwariskan dari Pangeran Sambernyawa hingga Presiden Soeharto.

"Muncul pula motif-motif batik lain seiring perkembangan batik kontemporer, tentu motif batik klasik seperti Wahyu Tumurun, Gringsing, Sido Luhur, Parang hingga Truntum juga masih dilestarikan," ujarnya mengawali perbincangan dengan Tribunnews pada Kamis (10/4/2025).

Motif-motif batik lainnya juga merefleksikan alam sekitar dan nilai luhur budaya Jawa.

Semuanya dikerjakan dengan teknik tulis manual yang memerlukan kesabaran dan ketelitian tinggi.

Dari galeri batik Giri Wastra Pura, Partinah menunjukkan sehelai kain batik yang mencapai 2,6 meter panjangnya, dengan lebar antara 1,2 hingga 1,5 meter.

Cukup luas untuk menjadi bahan pakaian maupun pajangan artistik.

Harga kain bervariasi tergantung kompleksitas motif dan proses pengerjaan, mulai dari Rp 500 ribu hingga Rp 1,5 juta untuk batik mentahan yang belum diwarnai.

Sedangkan batik yang sudah melalui proses pewarnaan lengkap, seringkali dengan teknik pewarnaan alamiah, dibanderol mulai dari Rp 1,5 juta hingga lebih.

Mewarnai selembar batik bukanlah pekerjaan sehari dua hari, prosesnya bisa memakan waktu empat bulan bahkan enam bulan jika musim hujan memperlambat pengeringan.

Dalam balutan waktu yang panjang itulah kualitas batik tulis Giri Wastra Pura tumbuh, setiap guratan canting adalah hasil dari konsentrasi, pengalaman, dan cinta terhadap budaya.

Meski berada di desa kecil, pemasaran batik ini tak sebatas pada area lokal.

Partinah memasarkan produknya langsung dari rumahnya di Dukuh Wetankali, tapi juga bekerja sama dengan beberapa lokasi strategis seperti Hotel Nava dan Rumah Atsiri di kawasan wisata Tawangmangu.

Dari titik-titik itu, batik Giri Wastra Pura mengalir ke berbagai kota besar seperti Jakarta, Semarang, Surabaya, hingga melintasi pulau ke Sumatra dan Kalimantan.

Adaptasi Dunia Digital

Kini, Giri Wastra Pura juga mulai beradaptasi dengan dunia digital.

Partinah mengelola akun Instagram dan sudah membuka opsi pembayaran non-tunai menggunakan QRIS, menyesuaikan dengan kebiasaan belanja masyarakat masa kini.

Tak sedikit para pembeli yang membawa pulang produk batik Giri Wastra Pura membayarnya dengan QRIS.

Selain praktis, QRIS bermanfaat untuk transaksi pembayaran dengan nominal besar seperti jutaan rupiah ke atas.

Pembeli atau pengunjung toko dan galeri Partinah tak perlu membawa uang tunai dalam jumlah banyak.

Melainkan cukup dengan memindai kode batang atau barcode dalam papan yang sudah disediakan.

Transaksi pembayaran selesai dengan QRIS.

"QRIS ini meminimalisir resiko-resiko ya, pembeli tak perlu bawa uang tunai, cukup pakai QRIS lunas selesai," beber Partinah. 

Sementara, Giri Wastra Pura juga menerima pesanan baju batik yang kerap dijadikan suvenir resmi oleh Pemerintah Kabupaten Karanganyar, selain menjual kain batik lembaran. 

Studio batik di Galeri Batik Tulis Giri Wastra Pura
STUDIO BATIK - Studio batik di Galeri Batik Tulis Giri Wastra Pura

Baju-baju batik tersebut dikemas dalam kotak eksklusif, mencerminkan nilai budaya yang dibalut estetika modern.

"Alhamdulillah, kalau ada tamu dari Pemkab Karanganyar, sering kali pesan suvenirnya dari sini," tutur Partinah dengan senyum bangga.

Selain batik tulis, Giri Wastra Pura juga terbuka untuk menerima pesanan batik printing, meski pengerjaannya dilakukan lewat kemitraan dengan pelaku usaha lain.

Usaha ini bukan semata produksi dan penjualan, melainkan juga ruang belajar dan pelestarian budaya.

Pengunjung yang datang tidak hanya bisa membeli batik, tapi juga merasakan pengalaman membatik secara langsung, sebuah bentuk eduwisata yang mulai menarik banyak wisatawan.

Bekerja sama dengan Hotel Nava dan Rumah Atsiri, Partinah membuka ruang praktik membatik bagi tamu-tamu yang ingin menyentuh langsung proses penciptaan karya batik.

Tak jarang pula, Partinah diundang sebagai narasumber pelatihan membatik, baik di dalam maupun luar Pulau Jawa.

Pada Agustus 2022, ia menghabiskan hampir sepuluh hari di Sulawesi Selatan, memberi pelatihan intensif di dua kota sekaligus yaitu Makassar dan Pare-pare.

"Selama sembilan hari penuh kami pelatihan, antusiasme peserta luar biasa," kenangnya.

Gandeng Warga

Partinah tak hanya membatik untuk dirinya sendiri, ia menggandeng tangan-tangan terampil di sekitarnya, membentuk sebuah komunitas pembatik yang ia beri nama Giri Wastra Pura atau GWP.

Bukan sekadar kelompok kerja, GWP adalah rumah bagi 24 perempuan, mayoritas ibu rumah tangga, yang bersama-sama menjaga nyala warisan batik tulis agar tak padam ditelan zaman.

Kelompok ini merupakan satu dari 12 komunitas pembatik yang kini tumbuh di Desa Girilayu, desa batik yang mekar di bawah bayang-bayang Gunung Lawu.

“Kami mulai membentuk kelompok sekitar tahun 2019, tujuannya supaya batik tulis tetap hidup di sini, dan ibu-ibu juga punya penghasilan sendiri,” ungkap Partinah.

Ia menuturkan bahwa dahulu para perempuan di desanya hanyalah buruh batik, bekerja dari balik dinding rumah mereka, lalu menyerahkan hasil kerjanya kepada pemilik usaha batik di Solo.

Saat itu, pekerjaan mereka terbatas pada proses awal, mencanting atau membuat pola di atas kain, sebelum kemudian dibawa ke kota untuk pewarnaan dan penyelesaian akhir.

Deretan piala penghargaan di Giri Wastra Pura
PIALA BATIK - Deretan piala penghargaan di Giri Wastra Pura

“Dulu hanya ngerjakan di rumah, nanti setengah jadinya dikirim ke Solo untuk diselesaikan. Warga sini cuma dapat bagian awal,” kisahnya, mengenang masa ketika nilai karya belum sepenuhnya milik tangan pembuatnya.

Namun keadaan itu perlahan berubah.

Melalui pelatihan, ketekunan, dan dorongan untuk mandiri, kini para perempuan di Girilayu mampu menyelesaikan sendiri seluruh proses pembuatan batik, dari menggambar pola, mencanting, mewarnai, hingga menjualnya secara langsung.

“Sekarang ibu-ibu sudah bisa semua prosesnya. Jadi batik dari awal sampai jadi ya diselesaikan di sini, dipasarkan juga sendiri,” ujarnya bangga.

Tak sedikit dari mereka yang tetap bekerja dari rumah, membatik di sela-sela waktu mengurus keluarga.

Pekerjaan tersebut juga turut menambah penghasilan keluarga, membantu para suami yang kebanyakan berprofesi sebagai petani sesuai dengan wilayah geografis Girilayu kaya akan sawah pegunungan.

Aktivitas membatik pun menjadi bagian dari rutinitas harian yang menyatu dengan kehidupan desa.

“Biasanya ngerjakan setelah pekerjaan rumah selesai. Nyanting sambil jaga anak, nanti kalau selembar kain selesai, bisa langsung dijual dan dapat uang,” tambah Partinah.

BRI Dorong UMKM Naik Kelas

GWP dalam radar program BRIncubator, sebuah inisiatif untuk mendorong usaha kecil naik kelas.

Bukan sekadar pelatihan, program itu membuka jalan baru bagi Partinah dan kelompoknya untuk mengenali kekuatan dari usaha mereka sendiri.

Melalui pendampingan intensif, mereka belajar memahami pasar, membaca tren, dan mengemas produk batik dengan nilai lebih tinggi.

Pendampingan itu juga mengajarkan bagaimana tradisi bisa tumbuh beriringan dengan teknologi.

“Banyak yang kami pelajari, terutama soal pemasaran dan pengembangan usaha,” ujar Partinah, mengenang masa-masa awal bergabung dengan BRIncubator.

Tiga tahun berselang, pada 2022, dukungan itu kembali datang dalam bentuk bantuan dana Corporate Social Responsibility (CSR) sebesar Rp15 juta.

Jumlah itu bukan sekadar angka, melainkan bahan bakar untuk melanjutkan mesin tradisi yang sempat terhenti karena pandemi.

Dana tersebut dimanfaatkan untuk membeli kain, malam, hingga peralatan produksi lainnya yang dibutuhkan para pembatik di Girilayu.

Termasuk untuk pelatihan 24 pengrajin batik yang tergabung dalam GWP.

Bagi Partinah, bantuan itu datang di saat yang tepat, ketika para pembatik tengah berjuang bangkit setelah terpukul oleh sepinya pesanan selama Covid-19.

“Alhamdulillah, sangat membantu saat kondisi belum pulih sepenuhnya,” ucapnya.

Bantuan modal tersebut sejalan dengan misi BRI dalam pemberdayaan UMKM di Indonesia.

Demikian dikatakan oleh Direktur Bisnis Mikro BRI Supari dalam keterangan tertulisnya.

“Secara umum, strategi Bisnis Mikro BRI ke depan akan fokus pada pemberdayaan berada di depan pembiayaan. BRI sebagai bank yang berkomitmen kepada UMKM, telah memiliki kerangka pemberdayaan yang dimulai dari fase dasar, integrasi hingga interkoneksi,” terang Supari.

Program Desa

Sebuah badan usaha milik desa tersebut terlibat menjadi motor penggerak bagi perempuan dan pemuda lokal untuk mandiri, melalui lembaran batik tulis yang sarat makna.

Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Girilayu lahir pada tahun 2017, dengan visi besar memberdayakan masyarakat dan mendorong ekonomi desa agar tak sekadar berjalan, tapi melesat.

“BUMDes ini kami bentuk bukan cuma untuk menjalankan usaha, tapi untuk membawa manfaat langsung bagi warga,” ujar Kepala Desa Girilayu, Slamet, dihubungi terpisah. 

Dari unit simpan pinjam hingga pengelolaan air dan jasa, BUMDes Girilayu terus bertumbuh, namun sektor batik tetap menjadi nadi utamanya, bukan hanya sebagai produk unggulan, melainkan juga sebagai warisan yang dirawat dan dibagikan.

Saat ini, sebanyak 12 perajin batik aktif bekerja sama di bawah naungan BUMDes, tergabung dalam paguyuban pembatik bernama Giri Arum.

Mereka bukan sekadar pengrajin, tapi pelaku sejarah yang meneruskan tradisi batik tulis yang telah hidup di Girilayu sejak zaman Mangkunegaran.

Pendataan para pengrajin dilakukan secara terbuka melalui sistem pendaftaran, lalu dilanjutkan dengan pembinaan.

Tak berhenti pada produksi, BUMDes juga mengembangkan eduwisata batik, membuka ruang belajar bagi wisatawan yang ingin mengenal proses batik tulis dari dekat.

“Produk turunan batik seperti pakaian jadi dan cendera mata sedang kami dorong, sekaligus edukasi membatik untuk pengunjung,” jelasnya.

Media sosial dan pameran menjadi jembatan penting dalam pemasaran.

Melalui akun digital, mereka membangun jejak daring untuk menjangkau pasar yang lebih luas.

Pendampingan dari berbagai pihak memperkuat gerak BUMDes ini.

Dari dinas koperasi, dinas pariwisata, hingga kampus-kampus besar seperti UNS, ISI, dan UMS, semua ikut hadir mendampingi melalui pelatihan dan penelitian.

“Dukungan itu sangat berarti. Kami diberi pelatihan pengelolaan, bahkan bantuan peralatan dari dinas,” kata Slamet.

Pemerintah desa sendiri sangat terlibat aktif, mulai dari administrasi, penyusunan regulasi, hingga koordinasi lapangan, agar operasional BUMDes berjalan lancar dan transparan.

Meskipun sistem keuangan masih dilakukan secara manual dan sederhana, laporan keuangan sudah diaudit oleh dinas terkait dan dinyatakan cukup baik, meski butuh pembenahan lebih lanjut.

“Pendanaan masih dari dana desa. Tapi yang penting, semua tercatat dan bisa dipertanggungjawabkan,” tegasnya.

BUMDes Girilayu memang masih menghadapi tantangan, terutama dalam hal ketersediaan sumber daya manusia unggul yang bisa mengelola usaha secara profesional.

Namun Slamet yakin, dengan menguatkan pemahaman kerja dan sistem organisasi, semua perlahan bisa ditangani.

“Harapan kami sederhana, tapi besar: semoga BUMDes bisa terus berkembang, bisa membuka unit usaha besar ke depan—termasuk sektor wisata yang lebih terintegrasi,” ucapnya penuh semangat.

(*)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.