TRIBUNNEWS.COM – Amerika Serikat (AS) tampil membela Israel dalam sidang Mahkamah Internasional (ICJ) yang digelar pada Jumat (2/5/2025) kemarin.
Padahal, mayoritas negara peserta justru mengecam Tel Aviv atas blokade yang diberlakukan di Gaza.
Asisten profesor hukum di York University, Kanada, Heidi Matthews menyebut Washington berusaha melindungi Israel dari tanggung jawab hukum.
“Pendekatan formal tanpa menyentuh fakta-fakta di lapangan adalah ciri khas dari argumen hukum yang fasis,” ujarnya dikutip Al Jazeera.
Adel Haque, seorang ahli hukum dari Universitas Rutgers, menuduh Amerika Serikat mencoba menakut-nakuti Mahkamah Internasional (ICJ).
Menurut Haque, Washington mengklaim bahwa UNRWA telah disusupi oleh Hamas, meskipun mereka tidak memberikan bukti yang meyakinkan untuk mendukung tuduhan tersebut.
Padahal, sejak Oktober 2024, Israel sudah melarang badan PBB tersebut beroperasi di wilayahnya.
Haque menambahkan AS tengah berjudi agar ICJ tidak mengeluarkan pendapat hukum yang secara tegas menyalahkan Israel.
“Kalau pendapatnya terlalu umum, maka tidak akan berdampak apa-apa terhadap perilaku Israel,” kata Haque.
Sementara itu, Haque juga menyindir negara-negara Eropa yang dinilai hanya lantang di ruang sidang, tapi minim aksi nyata.
Ia menyebut Inggris memang telah menghentikan penjualan senjata ke Israel, tapi langkah itu belum cukup.
Prancis, meski mendesak agar bantuan segera masuk ke Gaza, dianggap hanya memberi pelipur lara atas kegagalan kolektif Eropa.
“Negara-negara ini tidak bisa hanya menunggu ICJ. Mereka harus bertindak sekarang,” tegas Haque.
Meski ICJ dijadwalkan akan mengeluarkan pendapat hukum, proses ini bisa memakan waktu berbulan-bulan.
Pendapat tersebut pun bersifat tidak mengikat, sehingga kecil kemungkinan bisa memaksa Israel mengubah kebijakan atau mendorong aksi global.
Sidang Mahkamah Internasional kemarin membahas kewajiban hukum Israel terkait izin masuknya bantuan kemanusiaan ke wilayah Palestina yang didudukinya, khususnya Jalur Gaza.
Sebanyak 40 negara hadir untuk menyampaikan argumen masing-masing, termasuk Tiongkok, Rusia, Prancis, Indonesia, Inggris, dan Pakistan.
Mayoritas negara menuding Israel sebagai pihak yang bertanggung jawab atas krisis kelaparan dan runtuhnya layanan medis di Gaza, yang makin memburuk sejak pecahnya perang pada 7 Oktober 2023.
Menurut laporan Al Jazeera, Israel telah menutup sepenuhnya akses bantuan makanan dan obat-obatan ke Gaza dalam dua bulan terakhir.
Akibatnya, lebih dari dua juta warga Palestina kini hidup dalam ancaman kelaparan massal.
Pakar hukum dari University of South Australia, Juliette McIntyre menyatakan bahwa hampir semua negara sepakat bahwa Israel sebagai kekuatan pendudukan memiliki kewajiban untuk mengizinkan bantuan kemanusiaan masuk.
“Akses bantuan adalah syarat dasar untuk kelangsungan hidup dan hak menentukan nasib sendiri,” ujarnya.
Meski begitu, hanya dua negara yang tidak menyebut Israel sebagai penjajah dalam argumennya di ICJ.
Israel sendiri menolak hadir langsung dan hanya mengirimkan pernyataan tertulis.
Dalam pernyataannya, Israel menyebut sidang ICJ sebagai “sirkus” dan menuduh pengadilan bersikap anti-Semit.
Israel juga mengklaim tidak memiliki kewajiban untuk bekerja sama dengan PBB atau lembaga kemanusiaan karena hak mempertahankan diri.
Menurut Al Jazeera, ini bukan pertama kalinya Israel menolak sidang ICJ yang berpotensi menghasilkan pendapat penasihat hukum.
Sebelumnya, ICJ telah memerintahkan tindakan sementara kepada Israel untuk menghentikan aksi genosida dan meningkatkan bantuan ke Gaza.
Israel tetap mengabaikan putusan itu.
McIntyre memperkirakan ICJ hanya akan mengeluarkan pendapat hukum terbatas yang menyatakan bahwa Israel wajib membuka akses bantuan dan bekerja sama dengan UNRWA.
Dia memperingatkan bahwa ketika pendapat itu akhirnya keluar, mungkin sudah puluhan ribu warga Palestina meninggal karena kelaparan atau terpaksa mengungsi.
“Pendapat hukum tidak akan menyelesaikan masalah,” kata McIntyre.
“Tindakan nyata dari negara-negara dunia sangat mendesak.”
(Andari Wulan Nugrahani)