Saya ikut menonton film Jumbo. Bukan karena review para pemerhati film yang melabeli film ini wajib tonton. Bukan pula karena terbujuk para buzzer yang testimoninya mampu membujuk banyak orang datang ke bioskop. Saya nonton karena penasaran ingin melihat film animasi karya anak negeri. Saya ingin membuktikan apa benar film Jumbo bisa menjadi ajang pembuktian para animator Indonesia bahwa mereka mampu membuat karya berkualitas.
Rasa penasaran saya terjawab dan berkesimpulan bahwa Jumbo adalah film yang superkeren. Dari segi penggarapan animasinya, film ini tak kalah dengan produk Walt Disney, Pixar, Studio Ghibli, Dreamwork, Warner Bros, Illumination, dan studio animasi lainnya. Melalui Jumbo, film animasi Indonesia naik kelas, menjadi tayangan yang memukau dan sangat diperhitungkan di kancah film animasi Asia.
Seperti diberitakan banyak media, film Jumbo dibuat dengan melibatkan 420 animator dan kreator lokal dari sejumlah daerah di Indonesian. Total waktu penggarapan film ini membutuhkan waktu 5 tahun. Pendapatan kotor film ini diperkirakan Rp 163,7 miliar dengan 3,275,697 penonton pada pekan awal pemutaran. Saat tulisan ini dibuat, jumlah penonton film ini sudah melampaui 6 juta penonton pada hari ke-22 penayangan dan akan terus bertambah karena film ini masih tayang di banyak bioskop.
Film Jumbo telah menempati posisi sebagai film terlaris di Asia Tenggara yang tayang di 17 negara dan direncanakan akan bertambah negara yang dapat memutar film ini. Sukses film Jumbo ini bisa jadi tonggak geliat film animasi dan potensi besar produksi film Tanah Air. Fenomena film Jumbo juga membuktikan kepercayaan dan kebanggaan masyarakat Indonesia terhadap industri film animasi Tanah Air.
Krisis Film Anak
Tak banyak produksi film untuk konsumsi anak-anak di Indonesia. Kondisi ini serupa dengan krisis lagu dan musik anak. Tak sedikit anak-anak yang akhirnya menyanyikan lagu-lagu orang dewasa, termasuk anak-anak yang menyaksikan tayangan di luar batasan umurnya. Secara kuantitas saja sudah kurang, apalagi secara kualitas. Tak banyak film dan musik anak yang berkualitas.
Banyak rumah produksi film, produser, sutradara, dan para kreator film yang lebih memilih memproduksi film untuk remaja dan dewasa karena dianggap lebih menguntungkan. Tak jarang film dengan tema horor, komedi, superhero, aksi, atau drama remaja mendominasi layar bioskop. Banyak pembuat film tak mau ambil risiko memproduksi film anak karena takut tak balik modal.
Kondisi ini diperburuk karena belum ada kebijakan khusus untuk mendorong produksi dan distribusi film anak yang berkualitas. Tidak ada insentif khusus bagi produser dan kuota tayang yang melindungi film anak-anak lokal, serta sensor pun sering kali tak sensitif pada kepentingan anak. Akibatnya, anak-anak lebih sering mengonsumsi tontonan dari luar yang belum tentu sesuai dengan nilai budaya dan pendidikan lokal.
Banyak film anak produksi asing yang dikembangkan sebagai bagian dari franchise besar. Walt Disney, Pixar, Studio Ghibli, Dreamwork, Warner Bros, Illumination, dan studio animasi lainnya saat membuat film anak lebih untuk penjualan merchandise, alih-alih menghadirkan cerita yang mendidik. Cara pikir industri yang memproduksi film anak model ini bisa menyebabkan penurunan kualitas narasi dan nilai-nilai yang mendidik.
Terjadinya krisis film anak bukan hanya soal jumlah, tapi juga soal kualitas dan relevansi. Dibutuhkan kolaborasi antara pemerintah, industri film, pendidik, dan komunitas kreatif untuk menghidupkan kembali perfilman anak sebagai bagian penting dari strategi kebudayaan dan pendidikan. Menghidupkan film anak perlu upaya serius guna membuat generasi yang kritis, berempati, dan mencintai budayanya.
Pembuktian Kreator Film
Sukses film Jumbo sebagai film animasi dengan jumlah penonton terbanyak se-Asia Tenggara merupakan tonggak penting dalam sejarah perfilman anak dan animasi Indonesia. Sukses Jumbo menunjukkan bahwa anak-anak adalah segmen penonton yang kuat dan mereka merindukan tontonan yang sesuai usianya. Hal ini juga mematahkan anggapan bahwa film anak tak laku dan tak menguntungkan.
Keberhasilan film Jumbo membuktikan bahwa talenta animator Indonesia tak kalah dengan animator asing. Momentum film Jumbo ini dapat dijadikan ajakan untuk terus membangun industri animasi lokal dengan dukungan pelatihan, infrastruktur, insentif produksi, dan iklim pengembangan industri kreatif yang mendukung. Film Jumbo bisa jadi pemantik lahirnya ekosistem film anak Tanah Air yang lebih berkualitas.
Masuknya film Jumbo jadi film animasi dengan jumlah penonton terbanyak di tingkat Asia Tenggara bisa membuka jalan untuk film-film anak Indonesia menembus pasar internasional, sekaligus jadi alat soft power bagi Indonesia di kancah global. Melalui Jumbo bisa jadi upaya menaikkan derajat profesi kreator animasi di Indonesia, dari sekadar pelaksana teknis menjadi penggerak budaya dan ekonomi kreatif.
Sukses film Jumbo menjadi validasi strategis bahwa karya animasi anak dari para animator Tanah Air mampu bersaing, dicintai, dan diterima luas di pasar domestik maupun regional. Selama ini banyak animator Indonesia hanya dipercaya sebagai pekerja outsourcing produksi film animasi luar negeri. Film Jumbo membuktikan bahwa para animator Tanah Air tak hanya bisa bekerja untuk asing, namun juga mampu berkreasi demi bangsa sendiri.
Sugeng Winarno dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang