TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Musim haji kembali datang. Pada tahun 1446H/2025M ini, Pemerintah Arab Saudi kembali menerapkan aturan ketat terkait izin resmi(tasreh) ibadah haji.
Kerajaan Arab Saudi sebagai otoritas penyelenggara ibadah haji menegaskan kepada calon jemaah bahwa hanya visa haji resmi yang bisa digunakan dalam penyelenggaraan ibadah haji.
Aturan ini sudah jauh-jauh hari disampaikan ke sejumlah negara yang mengirimkan jemaah hajinya ke dua kota suci umat Islam di Arab Saudi yakni Makkah dan Madinah termasuk Indonesia.
Menteri Agama Nasaruddin Umar pun mengakui jika Indonesia sudah mendapatkan pemberitahuan ini dan mengimbau warga Indonesia tidak mudah tergiur berangkat ke Tanah Suci tanpa visa haji.
"Regulasi haji di Arab Saudi sangat ketat bagi para pelanggar aturan haji. Berhaji harus papaki visa resmi. Visa haji," tegas Menag dalam rilisnya kepada Tribunnews.com.
Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrh (PHU) Kemenag, Hilman Latief mengatakan Kementerian Haji dan Umroh Kerajaan Saudi Arabia mengirimkan pesan khusus kepadanya terkait larangan penggunaan visa selain visa haji.
"Dua hari lalu saya dikontak oleh , melalui pesan yang langsung saya terima secara pribadi, bahwa pemerintah Indonesia diminta ikut berpartisipasi, menyampaikan awareness atau kesadaran terkait dengan larangan penggunaan visa selain visa haji," kata Hilman pekan lalu di Jakarta.
Aturan visa resmi berhaji ini bahkan dikuatkan fatwa Haiah Kibaril Ulama Saudi yang mewajibkan adanya izin haji bagi siapa pun yang ingin menunaikan haji.
Fatwa ulama Saudi menegaskan, tidak boleh berangkat haji tanpa mendapat izin.
Jika tanpa izin resmi maka haram hukumnya.
Berdosa bagi yang melakukannya karena melanggar perintah pemerintah yang dikeluarkan hanya untuk mencapai kepentingan umum.
Konjen RI di Jeddah, Yusron B Ambary menegaskan jika Arab Saudi kembali tahun ini kembali menerapkan aturan tegas berhaji hanya dengan visa haji.
"Aturan La Haj bila tasreh atau tidak boleh berhaji bagi mereka yang tidak memiliki izin atau visa haji kembali diberlakukan tahun ini dengan ancaman hukuman yang lumayan berat," jelasnya dalam keterangannya kepada Tribunnews.com.
Menurut Yusron, Kemlu melalu Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Jeddah mengimbau seluruh Warga Negara Indonesia (WNI) yang akan melaksanakan ibadah haji pada tahun 1446 H/2025 M agar bijak dan mengikuti penyelenggara haji yang resmi, sah, serta sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Arab Saudi demi memastikan pelaksanaan ibadah haji dengan nyaman dan aman.
Pemerintah Saudi sendiri telah menetapkan sanksi berhaji tanpa visa dan tasreh resmi, yaitu denda hingga deportasi.
“Kalau ketangkap tidak gunakan visa haji, akan dipulangkan dan denda hingga 400 juta. Jemaah haji Indonesia juga agar selalu membawa identitas saat beraktivitas di Tanah Suci," ujar Nasaruddin melalui keterangan tertulis, Kamis (1/5/2025).
Secara terperinci, akan dikenakan denda sebesar 10.000 riyal bagi setiap warga negara atau ekspatriat yang tertangkap tidak memiliki izin haji.
Deportasi ekspatriat yang melanggar peraturan berhaji dan melarang mereka memasuki Kerajaan Arab Saudi sesuai jangka waktu yang diatur undang-undang.
Denda dua kali lipat (2 x 10.000 riyal) jika terjadi pelanggaran berulang.
Barangsiapa mengkoordinir jemaah yang melanggar peraturan berhaji tanpa izin, diancam pidana penjara paling lama 6 bulan dan denda paling banyak 50.000 riyal.
Lantas, apa alasan mengapa berhaji harus dengan izin (visa) resmi?
Bukankah haji adalah perjalanan ibadah bagi siapapun yang telah memenuhi ketentuan istithaah (mampu)?.
Mengutip situs Himpunan Penyelenggara Umrah dan Haji (HIMPUH), ada beberapa alasan mengapa ibadah haji harus melalui prosedur dan izin resmi dari Kerajaan Arab Saudi.
Pertama, kewajiban memperoleh izin haji didasarkan pada apa yang diatur dalam syariat Islam.
Tujuannya, mengatur jumlah jemaah sedemikian rupa sehingga orang bisa melakukan ibadah dengan damai dan aman.
Hal Ini adalah tujuan hukum yang sah yang ditentukan oleh dalil dan aturan syariah.
Selain itu, mengingat haji adalah ibadah tahunan yang mempertemukan jutaan umat muslim, Manajemen kerumunan massa di Arab Saudi didasarkan pada perhitungan infrastruktur jalan. Dengan cara yang tepat dan ilmiah untuk mengarahkan gelombang manusia dalam jumlah tertentu sepanjang jam.
Dan masuknya gelombang jamaah yang tidak diketahui dan tidak tercatat, sangat memungkinkan akan terjadi saling berdesak-desakan pada satu jalan dan mengakibatkan saling tindih yang mematikan dapat terjadi.
Kedua, wabah epidemi. Tidak diberlakukannya ijin haji berarti jemaah haji tidak harus menjalani vaksinasi dan persyaratan kesehatan apa pun, sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya epidemi mendadak yang mengancam dapat membunuh jamaah.
Ketiga, serangan teroris. Ini dianggap sebagai titik paling berbahaya karena tas-tas yang dibawa oleh jamaah haji yang datang dengan cara diselundupkan tidak terperiksa. Sehingga bom, bahan peledak, dan mungkin senjata otomatis dapat masuk ke area haji oleh teroris terlatih yang mengenakan kain ihram.
Keempat, respons kesehatan. Kerajaan Arab Saudi bekerja dengan hati-hati untuk menyediakan dokter, perawat, dan obat-obatan yang cukup untuk mencover setiap 100 jamaah dengan ambulans. Dan jika ada jamaah yang datang melalui cara yang ilegal, angka kematian atau cacat permanen mereka dapat meningkat.
Kelima, kehilangan dan penculikan. Banyak jamaah yang datang tanpa izin adalah keluarga dengan anak-anak. Inilah titik paling berbahaya, karena sidik jari atau data anak-anak tersebut tidak terdaftar di keamanan Saudi. Dan jika terjadi penculikan atau orang hilang, persentase penemuannya akan rendah di antara jutaan jemaah haji.
Keenam, haji tanpa izin tidak diperbolehkan. Sebab, kerugian yang diakibatkannya tidak terbatas pada jemaah, tetapi meluas pada jemaah lain.
Kerugian yang dilakukan oleh pelanggar adalah dosa yang lebih besar daripada kerugian yang dilakukan sendiri oleh pelakunya.
Tragedi besar melanda musim haji 2024 setelah 630 jamaah haji ilegal asal Mesir dilaporkan meninggal dunia di Arab Saudi.
Pemerintah Mesir langsung bergerak cepat dengan mencabut izin operasional 16 agen perjalanan yang terbukti memberangkatkan jamaah tanpa visa resmi haji.
Kementerian Pariwisata dan Barang Antik Mesir menyatakan, agen-agen tersebut telah melanggar regulasi haji dengan memfasilitasi keberangkatan jamaah menggunakan visa non-haji, yang menyebabkan para jamaah tidak mendapatkan akses layanan penting seperti transportasi resmi, akomodasi di tenda-tenda ber-AC di Arafah, serta dukungan medis.
Kebanyakan korban meninggal akibat kelelahan dan paparan suhu panas ekstrem yang melanda Mekah dan sekitarnya, dengan suhu yang mencapai lebih dari 45 derajat Celsius.
Para jamaah ilegal tersebut tidak tercatat dalam sistem resmi, sehingga tidak mendapatkan perlindungan dan fasilitas dasar selama puncak ibadah.
Pemerintah Mesir juga menegaskan bahwa pihaknya akan membawa agen-agen perjalanan tersebut ke ranah hukum untuk mempertanggungjawabkan kelalaian yang menyebabkan hilangnya ratusan nyawa. Selain itu, Mesir berkomitmen memperketat pengawasan keberangkatan haji ke depannya, memastikan hanya jamaah dengan izin sah yang berangkat.
Tragedi ini menjadi peringatan keras bagi calon jamaah haji dan semua pihak terkait untuk lebih berhati-hati terhadap tawaran perjalanan haji yang tidak resmi, serta pentingnya mematuhi prosedur keberangkatan haji yang telah ditetapkan.
Sebabagi penanda jemaah haji mendapat izin resmi berhaji ialah smart card atau kartu pintar Nusuk. Kartu ini menjadi identitas resmi selama di Tanah Suci.
Kartu pintar ini menjadi identitas digital resmi yang wajib dimiliki setiap jemaah selama menjalankan ibadah haji di Arab Saudi.
Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi mewajibkan setiap jemaah haji untuk memiliki dan mengaktifkan Kartu Nusuk sebagai syarat utama dalam menjalankan rangkaian ibadah haji.
Tanpa kartu ini, jamaah tidak diizinkan memasuki wilayah suci Makkah dan Madinah, serta tidak dapat mengikuti puncak ibadah di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna).
(Anita K Wardhani/Fahdi/berbagai sumber)