Di tengah geliat pembangunan infrastruktur Kota Jakarta, masih ada warga yang bergantung pada cara lama untuk menyeberangi sungai. Rutinitas jasa penyeberangan dengan tenaga manusia rutin terjadi, berdampingan dengan jalan-jalan tol yang menjulang di sekitarnya.
Potret ketimpangan ini terjadi tak jauh dari kawasan PIK yang tumbuh dengan pesat. Persisnya di bantaran Kali Cagak antara Kapuk Muara dengan Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara.
Dermaga dari kayu bambu berdiri lengkap dengan perahu yang bergerak berkat bentangan tali tambang selebar kali yang ditarik tangan 'nakhodanya'. Perahu ini melayani warga yang hendak menyeberang.
Menurut Agung (40), warga asli Kapuk Muara, akses jembatan yang bisa dilalui pemotor dari tempatnya ke sisi lain Kali Cagak hanya ada satu yang terdekat.
"Cuma satu, [namanya] Jembatan Hari-Hari. Macet juga, bisa sejam lebih kalau mau ke Pasar Ikan atau Muara Karang dari sana pakai motor," kata Agung saat dijumpai di pinggir dermaga penyeberangan itu, Sabtu (3/5).
Perbesar
Transportasi perahu eretan untuk menyeberang Kali Cagak yang ada di kawasan Penjaringan, Jakarta Utara, Sabtu (3/5/2025). Foto: Thomas Bosco/kumparan
Ia mengatakan, jasa penyeberangan ini sudah ada jauh sejak dia masih anak-anak. Meski dulu tak sesibuk sekarang, dia ingat keberadaan perahu eretan sudah ada saat air kali yang kini berwarna cokelat, masih bisa diminum.
"Kebanyakan warga Kapuk Muara yang mau kerja ke Pasar Ikan atau ke Muara Karang. Nah kalau enggak lewat sini bisa sampai sejam lebih jalannya," tutur Agung.
Meski perlu keluar biaya Rp 2-3 ribu buat menggunakan jasa penyeberangan, akses ini dinilai lebih efisien dibandingkan harus memakan waktu tempuh lebih panjang. Bahkan ia mengaku, Pemprov Jakarta mengetahui soal penyeberangan ini dan tidak melarangnya.
"Ya gimana, udah jadi mata pencaharian warga juga ini," tuturnya.
Perbesar
Transportasi perahu eretan untuk menyeberang Kali Cagak yang ada di kawasan Penjaringan, Jakarta Utara, Sabtu (3/5/2025). Foto: Thomas Bosco/kumparan
Senada dengan Agung, Adi (36), warga Kapuk Muara yang sehari-hari bekerja mengantar paket, mengatakan adanya penyeberangan ini telah banyak membantu masyarakat. Tetapi, dia tetap menginginkan ada akses yang lebih nyaman.
"Jujur lebih enak dibanding sepenuhnya lewat jalan. Enggak apa-apalah bayar Rp 2 ribu doang juga kan," katanya di atas perahu.
Potret kehidupan di salah satu sudut Jakarta ini menunjukkan bentuk resiliensi masyarakatnya dalam menghadapi keterbatasan. Beradaptasi guna menyambung hidup, meski akses bergeraknya tak sebebas mereka yang berduit.
Pertanyaan mengusik pun muncul, sampai kapan akses layak hanya tersedia bagi yang mampu, sementara wong cilik terus bertaruh nasib di perahu eretan?