Pengusaha Jelaskan Penyebab Harga Kelapa Bulat Tembus Rp 30 Ribu per Butir
kumparanBISNIS May 03, 2025 10:20 PM
Harga kelapa bulat masih bergejolak di pasaran. Pasokan yang menipis di saat permintaan tinggi disinyalir membuat harganya bisa menembus Rp 30.000 ribu per butir di tingkat pasar.
Ketua Harian HIPKI, Rudy Handiwidjaja, membenarkan harga kelapa bulat naik setidaknya sejak pertengahan tahun 2024 lalu. Kini harganya sudah menembus Rp 25.000-30.000 per butir, dari kondisi normal Rp 8.000-10.000 per butir.
"Di pasar tradisional sudah semahal itu, dari Rp 8.000, Rp 10.000, naik pelan-pelan menjadi Rp 16.000, Rp 20.000, sekarang sudah Rp 20.000 sampai Rp 25.000, bahkan ada yang Rp 30.000," ungkapnya saat dihubungi kumparan, Sabtu (3/5).
Rudy menjelaskan mahalnya kelapa bulat ini dipengaruhi kondisi kemarau yang lebih panjang imbas El Nino pada tahun lalu. Akibatnya, cikal bakal buah kelapa banyak yang rontok sehingga hanya sedikit buah yang bisa berkembang.
Faktor selanjutnya, lanjut dia, adalah seretnya pasokan kelapa bulat yang melanda seluruh dunia. Akhirnya negara seperti China, Filipina, Thailand, hingga Malaysia ramai-ramai mengimpor kelapa dari Indonesia. Hal ini ditambah animo konsumsi kelapa yang semakin tinggi untuk gaya hidup.
"Mereka akan membeli kelapa di Indonesia, dia akan kejar sampai mereka dapat. Harga berapa pun akan dibeli. Ya, karena itu di industri juga terasa, kemudian di masyarakat juga, konsumen-konsumen yang dari pasar-pasar tradisional itu juga mereka terasa," tegas Rudy.
Perlu Regulasi
Petani mengupas dan mengumpulkan buah kelapa yang baru dipanen di Desa Leungah, Aceh Besar, Aceh, Kamis (24/4/2025). Foto: Irwansyah Putra/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Petani mengupas dan mengumpulkan buah kelapa yang baru dipanen di Desa Leungah, Aceh Besar, Aceh, Kamis (24/4/2025). Foto: Irwansyah Putra/ANTARA FOTO
Masalahnya, ekspor kelapa bulat dari Indonesia masih bisa dilakukan dengan bebas tanpa adanya kuota bahkan pajak ekspor. Hal ini kemudian, menurut Rudy, membuat pasokan kelapa bulat mayoritas lari ke luar negeri.
"Satu-satunya negara yang masih bisa mengekspor kelapa itu hanya Indonesia setahu saya. Jadi hanya Indonesia saja yang masih mengizinkan regulasinya ekspor bebas untuk kelapa," jelas Rudy.
Rudy pun menilai fenomena mahalnya kelapa bulat ini tidak hanya memukul industri pengolahan, namun juga konsumen hilir dan UMKM seperti rumah makan Nasi Padang hingga pengusaha brisket.
Keran ekspor yang dibuka terlalu lebar tanpa ada pungutan, lanjut dia, membuat pengolahan kelapa bulat di Indonesia tidak memberikan nilai tambah yang besar bagi industri bahkan tidak terasa manfaatnya untuk kas negara.
"Satu-satunya negara yang masih bisa mengekspor kelapa itu hanya Indonesia setahu saya. Jadi hanya Indonesia saja yang masih mengizinkan regulasinya ekspor bebas untuk kelapa," jelas Rudy.
Sementara itu, Anggota Asosiasi Petani Kelapa Indonesia (APKI) Sutomo mengatakan harga kelapa di tingkat petani atau pemilik pohon dan kebun yang belum dikupas juga meningkat menjadi kisaran Rp 5.000-6.000 per butir.
Sutomo menyebutkan, kenaikan harga disebabkan lonjakan permintaan produk turunan kelapa dunia, serta gangguan pasokan akibat El Nino dan produktivitas yang menurun karena banyak pohon kelapa mulai tua di beberapa negara penghasil kelapa, termasuk Indonesia.
Selain itu, lanjut dia, munculnya tren gaya hidup baru di negara maju menyebabkan peningkatan produk sehat dan gluten free seperti berbagai varian minyak kelapa (VCO, MCT, CCO), kelapa parut (DC), tepung kelapa, air kelapa, susu kelapa, yang mana merupakan turunan kelapa.
"Dengan permintaan yang besar itu maka melihat harga kelapa butir terutama semihusk di Indonesia murah, maka importir Vietnam dan China berlomba-lomba borong dari Indonesia dengan harga yang lebih tinggi agar pelanggan mereka bisa terpenuhi pasokannya," tutur Sutomo.
Dengan demikian, Sutomo meminta pemerintah fokus meningkatkan hilirisasi kelapa sehingga nilai tambah bisa dirasakan petani dan industri pengolahan kelapa dalam negeri, dengan model bisnis efisien yang langsung dilakukan masyarakat di desa-desa.
Hilirisasi dengan model bisnis tersebut, menurutnya, akan memberikan dampak langsung pada kesejahteraan petani dan bukan hilirisasi yang diserahkan kepada investor besar apalagi investor asing.
"Pertumbuhan usaha tani di sentra kelapa akan lebih efisien dan berdaya saing, serta memangkas biaya logistik kelapa yang selama ini boros, usaha tani ini di design dalam holding company untuk beberapa industri kecil yang saling support modal," katanya.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.