Anarkisme dan Sinisme Konyol: Sebuah Kritik untuk Kaum Terpelajar
Abdullah Azzam Al Mujahid May 04, 2025 03:40 PM
Sebagai ideologi pemikiran, anarkisme selalu saja dibenturkan dengan kerusuhan dan ketidakteraturan oleh pemerintah. Padahal, dalam teori dan praktik, anarkisme tidak pernah dengan gamblang menyerukan kekerasan.
Kekerasan yang dijalankan oleh Anarkisme, bukanlah kekerasan yang bersifat ofensif, melainkan defensif—sebagai bentuk pertahanan atas kekerasan yang dilakukan negara. Sebagaimana termaktub dalam Anarkisme Sosial dan Organisasi, yang mengutip tulisan Errico Malatesta A Violence ea Revolucao, "Kekerasan hanya dibenarkan untuk membela diri atau orang lain."
Sampai dengan hari ini, anarkisme masih dianggap sebagai tindakan kekerasan. Dalam setiap aksi protes, massa aksi yang tidak tertib, selalu dituding sebagai anarko. Persoalan ini adalah cerminan nyata dari minimnya literasi mereka. Namun, yang sangat disayangkan, ternyata tidak hanya pemerintah yang menuding kelompok anarko sebagai perusak gerakan, tetapi juga para mahasiswa reformis yang mendaku diri sebagai kaum terpelajar.
Sebuah Ironi
ilustrasi bingung melihat sikap dan sifat kaum terpelajar yang tidak seperti kaum terpelajar (sumber foto: freepik.com)
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi bingung melihat sikap dan sifat kaum terpelajar yang tidak seperti kaum terpelajar (sumber foto: freepik.com)
Alih-alih mengedepankan prinsip akademis, hingga hari ini, tudingan terhadap kelompok anarko sebagai perusak gerakan masih saja berujung pada ancaman pemukulan dan hinaan yang sama sekali tidak menunjukkan sikap dan sifat layaknya kaum terpelajar.
Sehari setelah aksi May Day di berbagai daerah, tidak hanya polisi dan media yang menuding kelompok anarko sebagai dalang kerusuhan, tetapi juga mereka yang gemar mendaku diri sebagai kaum intelektual di kampus. Di Semarang, misalnya, ada beberapa kaum terpelajar yang mengancam akan melakukan pengeroyokan terhadap anak-anak yang terindikasi anarko, dan ada pula yang mencecar gerakan anarko sebagai gerakan bayaran dan bersifat merusak. Ini jelas tak lebih dari sinisme konyol.
Tentu saya tidak membenarkan kekerasan, tetapi dalam ruang akademik, hinaan dan ancaman pengeroyokan sudah benar-benar mereduksi prinsip-prinsip kaum terpelajar. Pertanyaan yang akan saya ajukan hari ini adalah kalau mereka benar perusak gerakan, mengapa tidak ada argumentasi berlandaskan akademis yang mampu menyerang anarkisme sebagai pemikiran? Mengapa orang-orang yang terindikasi sebagai anarko malah hendak dikeroyok?
Anarkisme dan Kekeliruan di Tengah Era Kemiskinan Literasi?
sumber foto: freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
sumber foto: freepik.com
Tulisan-tulisan yang menuangkan ide dan gagasan anarkisme sudah banyak beredar di berbagai media, baik itu media beratap anarkis maupun media progresif yang bukan anarkis. Namun sayangnya, hingga hari ini, masih banyak yang keliru dalam memahami anarkisme.
Jika dilihat dari banyaknya literatur anarkisme yang beredar, dan banyaknya pula orang yang menganggap kelompok anarko sebagai perusak gerakan, maka kita akan melihat suatu paradoks. Mengapa kekeliruan masih tetap ada, ketika literatur anarkisme sudah banyak beredar?
Saya kira hal ini bukanlah akibat dari adanya fenomena kemiskinan literasi di tengah kaum terpelajar ataupun pejabat-pejabat pemerintah. Tetapi, hal ini merupakan hasil dari budaya kita yang selalu ingin mendapatkan panggung dalam ruang akademik.
Di tengah kencangnya arus media sosial dalam membangun image individu, ruang-ruang akademis menjadi tempat terbaik untuk membangun image dan validasi.
Mereka yang dengan pemikirannya kalah berperang di dalam ruang akademik, akan merasa tersaingi karena panggung (ruang akademik) yang seharusnya bisa membangun image mereka dan mengenyangkan validasi mereka direbut oleh pemikiran lainnya secara akademis.
Akibatnya, mereka yang kalah secara akademis, alih-alih membentuk strategi dan taktik untuk menyerang kembali secara akademis, justru merasa tak mampu bersaing dan berujung pada timbulnya kebencian dan sinisme dalam diri mereka.
Jadi, kekeliruan dalam melihat anarkisme di sini bukan karena miskinnya literasi, tetapi justru karena keinginan untuk berkuasa dalam ruang akademik yang tidak terpenuhi. Sementara dalam konteks yang lebih luas, kekeliruan dalam melihat anarkisme, merupakan hasil dari kepentingan anarkisme yang bersifat sosial dan melebur, telah menggeser kepentingan golongan tertentu dalam ruang-ruang sosial.
Adil Sejak dalam Pikiran dan Perbuatan
Pramoedya Ananta Toer (sumber foto: Wikipedia)
zoom-in-whitePerbesar
Pramoedya Ananta Toer (sumber foto: Wikipedia)
"Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan". Saya selalu menyimpan mantra yang diramu oleh Pram ini sebagai prinsip saya dalam berpikir dan bertindak. Mantra yang jelas ditujukan kepada kaum-kaum terpelajar, agar kita sebagai kaum terpelajar sudah berlaku adil sejak dalam berpikir dan juga perbuatan.
Mantra itu tentu amat berbau akademis. Jika kaum terpelajar tidak berbuat adil sejak dalam pikiran, maka dalam perbuatan ia juga akan berbuat tidak adil. Ketidakadilan dalam berpikir, menimbulkan ketidakadilan pula dalam perbuatan. Hal itulah yang menjadikan korupsi, kolusi, dan nepotisme tetap bertahan hingga hari ini di Indonesia. Di mana kaum terpelajar tidak lagi mengedepankan kejujuran dan intelektual mereka sebagai senjata melawan kezaliman.
Di tengah medan pertempuran akademik yang panas dan sarat ideologis, bentrokan antar ide dan gagasan adalah hal yang biasa. Namun, hal yang tidak biasa adalah, ketika ide dan gagasan diserang dengan tidak memakai cara-cara intelektual, yakni dengan menyerang secara fisik maupun berceloteh yang berujung ad hominem—alih-alih menyerang substansi dari ide dan gagasan lawannya.
Kebiasaan seperti ini sudah semestinya kita hapus dalam ruang akademis kita. Jangan sampai, kebiasaan seperti ini malah semakin mengakar kuat. Akibat dari kebiasaan ini tentu tidak hanya merusak prinsip-prinsip akademis, tetapi juga merusak ikatan sosial di dalam pergaulan bangsa yang beragam.
Sebagai bangsa besar yang pernah melahirkan pemikir-pemikir hebat seperti Bung Hatta, Sjahrir, dan lain-lain, mempertahankan kebiasaan yang justru dapat mereduksi prinsip-prinsip akademis, hanya akan menghasilkan manusia-manusia bersifat egoistik, tidak jujur, dan licik.
Maka dari itu, sebagai sesama kaum terpelajar dan individu merdeka yang selalu berpikir sebelum bertindak, marilah kita kedepankan kejujuran dan jiwa intelektual kita sebagai senjata untuk melawan kezaliman. Marilah berbuat adil sejak dalam pikiran dan perbuatan.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.