TIMESINDONESIA, PADANG – Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia telah mengeluarkan putusan penting yang memperjelas batasan pidana terhadap penyebaran informasi bohong atau hoaks. Dalam Putusan Nomor 115/PUU-XXII/2024, MK menegaskan bahwa penyebaran hoaks hanya dapat dipidana jika menimbulkan kerusuhan di ruang fisik, bukan di ruang digital atau siber.
Putusan ini merupakan respons terhadap kekhawatiran masyarakat sipil mengenai potensi penyalahgunaan pasal-pasal dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang dapat mengancam kebebasan berekspresi di ruang digital.
Dengan memperjelas bahwa "kerusuhan" yang dimaksud adalah gangguan terhadap ketertiban umum di ruang fisik, MK bertujuan untuk mencegah kriminalisasi terhadap individu yang menyampaikan kritik atau opini di media sosial tanpa menyebabkan gangguan nyata di masyarakat.
Pasal 28 ayat (3) UU ITE sebelumnya mengatur bahwa setiap orang yang dengan sengaja menyebarkan informasi elektronik atau dokumen elektronik yang memuat pemberitahuan bohong yang menimbulkan kerusuhan di masyarakat dapat dipidana.
Namun, interpretasi terhadap istilah "kerusuhan" sering kali menimbulkan perdebatan, terutama ketika dikaitkan dengan aktivitas di ruang digital. Dengan putusan ini, MK memberikan kepastian hukum bahwa hanya kerusuhan yang terjadi di dunia nyata yang dapat dijadikan dasar untuk pemidanaan.
Langkah MK ini mendapat apresiasi dari berbagai kalangan, termasuk aktivis hak asasi manusia dan jurnalis, yang selama ini mengkritik penggunaan pasal-pasal karet dalam UU ITE untuk membungkam suara-suara kritis.
Mereka menilai bahwa putusan ini merupakan langkah maju dalam melindungi kebebasan berekspresi dan mencegah penyalahgunaan hukum untuk tujuan politik atau kepentingan tertentu.
Namun, tantangan ke depan adalah memastikan bahwa aparat penegak hukum memahami dan menerapkan putusan ini dengan konsisten. Diperlukan pelatihan dan sosialisasi yang memadai agar interpretasi terhadap pasal-pasal dalam UU ITE tidak lagi menimbulkan ketidakpastian hukum atau digunakan secara sewenang-wenang.
Selain itu, penting bagi masyarakat untuk terus mengedukasi diri mengenai batasan-batasan dalam menyampaikan informasi di ruang digital. Meskipun kebebasan berekspresi dijamin, penyebaran informasi yang tidak akurat atau menyesatkan tetap dapat menimbulkan dampak negatif, terutama jika berpotensi memicu kerusuhan di dunia nyata.
Putusan MK ini juga menjadi momentum bagi pemerintah dan legislatif untuk meninjau kembali pasal-pasal dalam UU ITE yang berpotensi menimbulkan multitafsir dan digunakan untuk membatasi kebebasan berekspresi.
Revisi terhadap UU ITE dengan melibatkan partisipasi publik dapat menjadi langkah strategis untuk menciptakan regulasi yang adil dan seimbang antara perlindungan terhadap ketertiban umum dan penghormatan terhadap hak-hak individu.
Putusan MK ini menegaskan pentingnya kepastian hukum dalam era digital. Dengan memperjelas batasan pidana terhadap penyebaran hoaks, MK memberikan perlindungan terhadap kebebasan berekspresi sekaligus menjaga ketertiban umum di masyarakat. Langkah selanjutnya adalah memastikan implementasi yang konsisten dan edukasi yang berkelanjutan bagi seluruh pemangku kepentingan. (*)
***
*) Oleh : Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.