Meninjau Upaya Pemerintah Untuk Mensejahterakan Buruh
Nurus Syamsi May 04, 2025 05:40 PM
Buruh merupakan pilar penting perekonomian Indonesia, tetapi kesejahteraan mereka masih jauh dari memadai. Upah minimum yang tidak mencukupi, jaminan sosial yang terbatas, dan maraknya praktik outsourcing adalah masalah utama yang dihadapi pekerja.
Meskipun pemerintah telah mengeluarkan kebijakan seperti UU Cipta Kerja (2020) dan menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP), implementasinya dianggap masih belum efektif meningkatkan kualitas hidup buruh.
Kesenjangan Upah dan Kebutuhan Hidup Layak Para Buruh
1. Upah Minimum Tidak Mencukupi Kebutuhan Hidup Layak (KHL)
Berdasarkan data Kemnaker dan KSPI (2023) Upah minimum di sebagian besar daerah hanya memenuhi 50–80% KHL. Seperti UMP DKI Jakarta (Rp 4,9 juta) masih di bawah KHL versi serikat buruh (Rp 5,5 juta), UMP Jawa Timur (Rp 2,0 juta) bahkan lebih rendah dari garis kemiskinan untuk keluarga (Rp 2,6 juta/BPS, 2023).
Tak heran kemudian jika banyak dari mereka yang terpaksa bekerja lembur atau mencari pekerjaan sampingan untuk memenuhi standar Kebutuhan Hidup Layak para buruh. Kondisi ini kemudian kian hari justru semakin memperburuk kondisi kesehatan fisik dan mental mereka.
2. Outsourcing dan Kerja Kontrak yang Merugikan
Menurut Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyrakat FEB UI (2021), sekitar 38,5% pekerja sektor formal berstatus kontrak atau outsourcing dan mmengalami peningkatan signifikan pasca-UU Cipta Kerja disahkan.
Beberapa contohnya adalah Pabrik garmen di Karawang yang mengganti 60% pekerja tetap dengan sistem kontrak (Jala PRT, 2023). Serta adanya dugaan buruh outsourced di sektor migas sering tidak mendapat tunjangan kesehatan meski bekerja di lingkungan berisiko tinggi (ILO, 2022).
3. Jaminan Sosial yang Tidak Merata
Kementrian Ketenagakerjaan mencatatkan data bahwa tidak lebih dari 30% saja pekerja informal yang terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan (Jamsosket Kemnaker, 2023), termasuk Ojol (25% terdaftar), Buruh harian lepas (kurang dari 15%). Padahal, pekerja informal menyumbang 56% total tenaga kerja (BPS, 2023).
4. Protes Buruh Diabaikan
Upaya buruh dalam menyampaikan aspirasi kerap diabaikan bahkan kerap direspons negatif tak sedikit pula aparat yang represif hingga berujung kriminalisasi aktivis buruh. Seperti Muhammad Rusdi, Ketua Serikat Buruh Kendari, yang dipidana karena demo, tuntutan upah layakpun sering dibalas dengan dalih "menghambat investasi" (Komnas HAM, 2023).
Berbagai Kritik Terhadal Kebijakan Pemerintah
1. UU Cipta Kerja: Fleksibilitas Tanpa Perlindungan
SMERU (2021) dan International Labour Organization (ILO, 2022) menemukan bahwa UU Cipta Kerja mempermudah PHK dengan mengurangi syarat pesangon (Pasal 81) dan memperluas praktik outsourcing tanpa jaminan hak tetap. Sementara itu, Bank Indonesia (2023) mengakui UU menarik investasi, tetapi tidak ada bukti kesejahteraan buruh meningkat.
2. Formula Upah Minimum yang Tidak Progresif
Kenaikan UMP 2023 hanya 1,8–5%, di bawah inflasi kebutuhan pokok (7% di 2022/BPS). Bukti nyatanya seperti yang terjadi di Tanggerang dimana para buruh pabrik mengeluh upah Rp 2,3 juta tidak cukup untuk biaya sekolah anak + sewa rumah (Wawancara lapangan, 2023).
3. Pengawasan Ketenagakerjaan yang Lemah
Hanya 4,4% perusahaan yang diperiksa Kemnaker pada 2023 (dari 270.000 perusahaan berizin). Kasus pelanggaran upah dan keselamatan kerja (seperti kebakaran pabrik kembang api di Kosambi) sering terjadi karena minimnya inspeksi (ILO, 2022).
Meninjau Kembali Kebijakan Pemerintah Untuk Mensejahterakan Buruh
Banyak pihak menganggap, kebijakan pemerintah saat ini terlalu berpihak pada investor, sementara perlindungan buruh dikesampingkan. Jika tidak ada perubahan mendasar—seperti revisi UU Cipta Kerja, penyesuaian upah riil, dan pengawasan ketat—potensi ketimpangan ekonomi dan konflik sosial akan terus memburuk akan terus diprediksi akan terus memburuk.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.