Cerita Dokter Basuki Bertugas di Gaza: Rata dengan Tanah-Bom Meledak Tiap Hari
kumparanNEWS May 05, 2025 12:20 AM
Suara dentuman bom, tangis anak kecil hingga jeritan orang yang terluka di Gaza, Palestina, akan selalu diingat Prof. Dr. dr Basuki Supartono selama hidupnya. Ia adalah dokter yang suka rela datang untuk kemanusiaan ke tanah yang dijajah Israel itu.
Basuki adalah salah satu dokter yang tergabung dalam Emergency Medical Team (EMT) 2 dari Indonesia untuk Gaza. Ia telah 2 pekan di Gaza.
Saat berbicara, tampak tatapan dr. Basuki dalam memandang ke depan membuka kembali pilu yang dilihatnya secara langsung di Gaza. Ia mengatakan, untuk bisa masuk ke Gaza butuh waktu 1 tahun untuk mendapatkan izin.
Awalnya, dr. Basuki harus mendapatkan izin dari WHO dan Israel. Sesampainya di Palestina, ia tak bisa langsung masuk ke Gaza. Ia harus melewati perbatasan Israel dan Yordania.
“Jadi, perbatasannya ada dua, satu perbatasan Yordania ke Israel, Israel dan Palestina, yaitu di pintu masuk namanya Kisuffim. Biasanya lewat Kerem Shalom, tapi entah bagaimana ditutup. Dari situ, jadi perjalanannya cukup panjang ya, jam 6 pagi ya [berangkat]. Baru masuk ke Gaza itu, jam 6 sore, sekitar 12 jam [perjalanan],” kata Basuki di salah satu rumah makan, di Jakarta Timur, Minggu (4/5).
Perbesar
Ledakan dari serangan udara Israel menghantam kamp tenda pengungsian di Khan Younis, Jalur Gaza selatan, Sabtu (19/4/2025). Foto: Hatem Khaled/REUTERS
Selama perjalanan 12 jam itu, dr. Basuki dalam pengawasan ketat tentara Israel. Ia bahkan tak bisa sembarangan untuk buang air kecil dan makan. Akhirnya, ia memutuskan untuk berpuasa.
“Ya, (akhirnya kita) nahan kencing. Gak mungkin kencing. Kalau kita turun kencing berbahaya kan? Jadi luar biasa itu, kami gak makan, pada (memilih) puasa karena supaya gak banyak itu (membuang air kecil) juga,” ujarnya.
Tiba di Kisuffim
Setibanya di Kisuffim, sebuah wilayah di Barat Laut Israel berdekatan dengan Jalur Gaza, nafasnya tersentak. Ia melihat Gaza hancur lebur. Tak ada satupun bangunan yang berdiri kokoh. Telinganya berdengung mendengar suara dentuman serangan bom.
Kondisi itu berbeda dengan daerah Israel yang dilaluinya, gedung-gedung megang kokoh berdiri. Gaza sudah rata dengan tanah.
“Begitu kami masuk, kami shock. Gak ada bangunan yang utuh. Kalaupun ada yang utuh, itu pasti rusak, kena tembakan, kena bekas-bekas bom. Jadi kami sangat shock. Karena baru lewat Israel kan, Israel itu kan kayak Jakarta ya, gedung-gedung tinggi,” ujarnya.
Selama dua minggu, para dokter ditempatkan di rumah sakit Khan Yunes, yang berbatasan langsung dengan Rafah. Dengan kondisi alat medis yang serba terbatas, mereka berjuang menyelamatkan nyawa warga Palestina.
Suara Bom
Setiap harinya, ancaman bom yang dapat meledak setiap waktu terus menghantui Basuki. Biasanya drone akan diluncurkan terlebih dahulu, kemudian disusul dengan suara ledakan bom.
Tak hanya bom, drone-drone tersebut juga bertugas merekam sekaligus mencatat wajah para dokter yang tengah bertugas.
“Waktu hari pertama, kami gak bisa tidur. Kenapa? Karena kami gak biasa dengar bom ya. Itu setiap saat berbunyi. Jadi siklusnya itu biasanya ada suara drone dulu. Suara drone itu gak pernah berhenti. Kalau kita lihat drone kan paling sejam berhenti ya. Kalau di sana dronenya itu gak pernah tidur,” ungkapnya.
“Setelah drone itu biasanya ada suara ledakan, kemudian suara ambulans. Kami tinggalnya di asrama para dokter. Kita lihat nih ke mana ambulans, kalau ke kamar jenazah berarti sudah sahid. Kalau lagi ramai IGD itu bisa menampung sampai 1.000 pasien,” lanjutnya.
Basuki berharap dengan kehadirannya sebagai petugas medis walaupun hanya sementara dapat memberikan dukungan kepada para tenaga medis Palestina yang hingga kini terus berjuang menyelamatkan ribuan nyawa manusia.