AS Dicurigai Tutupi Jumlah Korban Militernya dalam Operasi Rough Rider Lawan Houthi Yaman
TRIBUNNEWS.COM - Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump dilaporkan menghadapi pengawasan yang semakin ketat dari lembaga-lembaga di negara tersebut.
Hal itu karena pemeritahan AS saat ini dinilai menyembunyikan informasi tentang korban militer AS akibat operasi militer yang sedang berlangsung di Yaman.
Menurut laporan The Intercept yang diterbitkan pada Sabtu, 3 Mei 2023, Komando Pusat AS (CENTCOM), Kantor Menteri Pertahanan, dan Gedung Putih menolak untuk mengungkapkan berapa banyak anggota angkatan bersenjata AS yang tewas atau terluka sejak peluncuran Operasi Rough Rider pada Maret 2025.
Operasi tersebut melibatkan lebih dari 1.000 serangan udara AS terhadap Angkatan Bersenjata Yaman (YAF) yang terafiliasi kelompok Ansarallah (Houthi).
Serangan yang menurut AS menyasar fasilitas Houthi ini dikabarkan telah menewaskan ratusan warga Yaman, termasuk banyak warga sipil.
Atas ketidaktransparanan jumlah korban militer AS, anggota dewan, Ro Khanna dari California mengkritik Gedung Putih dan menyerukan pengungkapan penuh.
"Pemerintah harus transparan tentang jumlah korban AS dari serangan terhadap Houthi," katanya, mengacu pada operasi militer AS ke Houthi.
Rekannya, Pramila Jayapal, perwakilan dari Washington, menyuarakan sentimen yang sama, memperingatkan kalau pasukan AS seharusnya tidak pernah berada dalam bahaya melalui tindakan militer yang tidak konstitusional tanpa persetujuan Kongres.
Satu insiden baru-baru ini menggarisbawahi risikonya: sebuah jet tempur F/A-18 Super Hornet jatuh dari kapal induk USS Harry S Truman awal minggu ini setelah kapal tersebut dilaporkan berbelok tajam untuk menghindari rudal Yaman.
Seorang pelaut terluka, dan jet senilai 60 juta dolar AS itu jatuh.
Ketika The Intercept meminta Pentagon untuk memberikan angka korban, para pejabat mengalihkan dan mengarahkan penyelidikan ke CENTCOM.
CENTCOM kemudian merujuk permintaan tersebut ke Gedung Putih, yang tetap bungkam.
Di bawah pemerintahan Joe Biden sebelumnya, data korban dan serangan terperinci dari seluruh Asia Barat dirilis secara berkala, catat The Intercept .
Sikap kontras pemerintah AS ini telah membuat khawatir kelompok-kelompok advokasi negara tersebut.
Erik Sperling dari Just Foreign Policy menyatakan, “Menyembunyikan informasi dasar dari publik membuat media semakin sulit untuk menyoroti bagaimana para pejabat ini melanggar salah satu janji kampanye Trump yang paling populer.”
Laporan Intercept menyusul perintah yang dikeluarkan oleh Menteri Pertahanan AS Pete Hegseth pada tanggal 2 Mei agar kapal induk USS Harry S. Truman tetap berada di Asia Barat selama seminggu lagi, menandai kedua kalinya penempatannya diperpanjang di tengah operasi militer yang sedang berlangsung terhadap Yaman.
Sementara itu, mantan penasihat keamanan nasional Trump, Michael Waltz, diberhentikan minggu ini sebagian karena melibatkan seorang jurnalis dalam diskusi sensitif tentang serangan Yaman.
Waltz juga mendorong tindakan militer yang lebih besar terhadap Iran dan dilaporkan berkoordinasi erat dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu — tindakan yang bertentangan dengan pendekatan Trump yang lebih hati-hati, menurut sumber-sumber pemerintahan.
(oln/tc/*)