Indonesia Masuk 10 Besar Negara dengan Nilai Tambah Manufaktur Tertinggi Dunia
kumparanBISNIS May 05, 2025 02:42 AM
Indonesia masuk sepuluh besar negara dengan nilai tambah manufaktur atau Manufacturing Value Added (MVA) tertinggi di dunia. Berdasarkan data Bank Dunia, nilai tambah manufaktur Indonesia sebesar USD 255,96 miliar per 2023, membuat Indonesia masuk peringkat ke-10.
Tahun sebelumnya, Indonesia berada di peringkat ke-12 dengan nilai tambah manufaktur sebesar USD 241,87 miliar.
Adapun di posisi pertama ditempati oleh China, dengan nilai tambah manufaktur sebesar USD 4,65 triliun. Disusul Jerman USD 838,89 miliar, India USD 461,38 miliar, Korea Selatan USD 416,39 miliar, dan Meksiko USD 358,92 miliar.
Selanjutnya, Italia sebesar USD 353,62 miliar, Prancis USD 297 miliar, Brasil USD 289,79 miliar, Inggris USD 279,89 miliar, dan Indonesia USD 255,96 miliar.
“Indonesia menggungguli jauh dibandingkan negara ASEAN lainnya, seperti Thailand dan Vietnam yang nilai MVA-nya hanya setengah dari nilai MVA Indonesia. MVA kita juga lebih tinggi dibanding beberapa negara maju seperti Inggris dan Rusia.,” kata Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita dalam keterangannya, Minggu (4/5).
Industri manufaktur di Indonesia dinilai memiliki struktur yang cukup mendalam dari sektor hulu sampai hilir. Hal ini berdampak positif pada peningkatan nilai tambah (value added), sehingga memberikan kontribusi signifikan bagi perekonomian nasional.
“Merujuk data dari theglobaleconomy.com, tren MVA selalu naik sejak tahun 2019-2023 kecuali pada masa pandemi COVID-19 melanda Indonesia. Untuk terus memacu value added ini perlu kebijakan yang strategis, pro-bisnis dan pro-investasi sehingga industri manufaktur kita semakin berdaya saing di kancah global,” tambahnya.
Perbesar
Menteri Perindustrian Republik Indonesia Agus Gumiwang. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
MVA sektor manufaktur Indonesia pada tahun 2023 mencapai USD 255,96 miliar, naik dari USD 241,87 miliar pada tahun sebelumnya. Angka ini merupakan capaian tertinggi sepanjang sejarah dan mencerminkan peran strategis sektor industri pengolahan dalam perekonomian nasional.
“MVA menunjukkan nilai tambah yang dihasilkan oleh sektor manufaktur dalam suatu negara. Ini mencerminkan kontribusi industri manufaktur terhadap perekonomian nasional dan perannya di kancah global,” jelas Menperin.
Sebagai perbandingan, rata-rata MVA dunia adalah USD 78,73 miliar, yang berdasarkan data dari 153 negara. Secara historis, rata-rata untuk Indonesia dari tahun 1983 hingga 2023 adalah USD 102,85 miliar. Nilai minimum yang dicapai, yaitu USD 10,88 miliar pada tahun 1983, sementara nilai maksimum sebesar USD 255,96 miliar pada tahun 2023.
Menperin memandang capaian ini sebagai hasil nyata dari kebijakan industrialisasi nasional yang berbasis pada hilirisasi sumber daya alam, peningkatan daya saing industri, serta dorongan terhadap pemanfaatan teknologi dan inovasi.
“Kemenperin selama ini konsisten mendorong perlindungan industri dalam negeri melalui kebijakan perlindungan pasar domestik dari banjir produk impor sehingga mampu meningkatkan MVA Indonesia secara signifikan,” imbuhnya.
Sektor industri manufaktur berkontribusi sebesar 18,67 persen terhadap PDB Indonesia, menjadikannya penyumbang terbesar dibanding sektor-sektor lainnya. Pencapaian ini sekaligus mengonfirmasi bahwa sektor manufaktur terus menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, serta daya saing ekspor Indonesia.
"Indonesia juga memiliki potensi besar untuk terus memperluas pangsa pasar global, terutama melalui peningkatan ekspor produk hilir bernilai tambah tinggi, termasuk sektor makanan-minuman, tekstil, logam, otomotif, dan elektronik,” ujar Menperin.
Capaian Indonesia dalam tataran global tidak terlepas dari strategi Kementerian Perindustrian dalam mendorong pencapaian Making Indonesia 4.0, penguatan struktur industri dalam negeri, serta insentif terhadap industri berorientasi ekspor dan substitusi impor.
Selain itu, pemerintah juga terus memperkuat kemitraan internasional, mempercepat adopsi teknologi industri 4.0, serta membangun ekosistem industri hijau dan berkelanjutan guna menyambut transisi menuju ekonomi rendah karbon.