BANJARMASINPOST.CO.ID - PEMBERITAAN terkait UMKM Toko Mama Khas Banjar di Banjarbaru jadi perhatian masyarakat di Kalimantan Selatan (Kalsel) sebulan belakangan. Pemilik toko, Firly Norachim harus jadi pesakitan dan sempat mendekam di tahanan sambil menjalani proses peradilan.
Ia didakwa melanggar sejumlah pasal dalam Undang-undang (UU) tentang Perlindungan Konsumen. Itu terkait dengan dipasarkannya sejumlah produk yang tak sesuai dengan aturan pelabelan dan masa kedaluwarsa.
Masing-masing kalangan punya pandangan tersendiri atas kasus tersebut. Banyak yang menyoroti begitu tegasnya aparat penegak hukum saat menindak kesalahan pelaku UMKM.
Namun di sisi lain, aparat tidak mungkin melakukan tindakan tanpa adanya dasar hukum sebagai koridornya. Nasi sudah menjadi bubur, kejadian ini seolah menjadi shock therapy sekaligus pembelajaran bagi para pelaku UMKM lainnya.
Meski begitu, dari kejadian tersebut kini muncul pertanyaan. Jika berbicara secara realistis, dari ribuan atau puluhan ribu pelaku UMKM di Kalsel atau bahkan jutaan pelaku UMKM di seluruh Indonesia, berapa persen yang sudah paham dengan UU tentang Perlindungan Konsumen? Berapa banyak dari mereka yang memiliki dokumen izin usaha dan persyaratan lainnya seperti yang diatur Undang-undang?
Padahal jika dilihat di lapangan, banyak pelaku UMKM yang membuat usaha didasari niat untuk sebatas menyambung hidup di tengah sulitnya lapangan kerja dan impitan ekonomi. Tak semua pelaku UMKM punya gelar pendidikan dan bisa mengerti soal aturan UU. Bahkan mungkin banyak dari mereka yang tak selesai menempuh pendidikan dasar.
Jika dilakukan penindakan serentak, bukan tidak mungkin ada puluhan bahkan ratusan ribu pelaku UMKM yang bakal jadi pesakitan dan mendekam di penjara. Kondisi ini menunjukkan adanya kesenjangan yang begitu besar antara aturan dalam UU yang begitu detil dan rinci dengan pengetahuan masyarakat pelaku UMKM.
Di satu sisi, UU tentang Perlindungan Konsumen memang penting untuk menjaga keselamatan pembeli, namun di sisi lain juga menjadi tugas pemerintah memberikan edukasi dan pemahaman kepada para pelaku UMKM tentang aturan yang berlaku.
Pelaku UMKM bukan pengusaha korporasi yang punya modal besar untuk membangun usaha dan menyewa staf legal atau akuntan yang bertugas untuk mengurus detil operasional dan perizinan usahanya.
Pemerintah tak boleh abai apalagi menganggap remeh pelaku UMKM yang jadi salah satu tulang punggung perekonomian kerakyatan di Indonesia. Pendekatan edukasi kepada para pelaku UMKM juga harus dilakukan dengan cara yang fleksibel dan tak cuma diarahkan pada pelaku sektor usaha yang itu-itu saja. Jangan sampai para pelaku UMKM merasa selalu dibayangi ancaman pidana sehingga justru ketakutan menjalankan usaha. (*)