Ilmu Komunikasi UM dan AJI Malang Bahas Relasi Kuasa dan Tantangan Jurnalisme di Indonesia
Dyan Rekohadi May 05, 2025 06:31 PM

SURYAMALANG.COM, MALANG - Kemerdekaan pers tak cukup hanya dijamin oleh undang-undang, tetapi harus ditopang oleh kualitas pendidikan masyarakat.

Hal ini mengemuka dalam seminar peringatan Hari Kemerdekaan Pers Dunia yang digelar di Lantai 2 Perpustakaan Universitas Negeri Malang (UM), Senin (5/5/2025).

Acara ini diinisiasi oleh Program Studi Ilmu Komunikasi UM bekerja sama dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang.

Dalam seminar bertema “Pers Merdeka, Demokrasi Terjaga”, dosen Ilmu Komunikasi UM, Akhirul Aminulloh, menyoroti bahwa rendahnya tingkat pendidikan di Indonesia turut memperbesar ancaman terhadap kemerdekaan pers.

Masyarakat sering dijadikan 'alat' oleh pemerintah untuk melanggengkan kekuasaan, termasuk dengan cara menekan pers.

“Kebebasan pers belum berjalan baik karena masyarakat kita belum terdidik. Narasi penguasa masih dipercaya karena masyarakat belum punya daya kritis,” ujarnya.

Lebih lanjut, Akhirul menekankan pentingnya kualitas pemberitaan dibanding kuantitas.

Media harus berani mengulik kasus-kasus tersembunyi di ruang kekuasaan, termasuk di lingkup kecil.

Ia menyebut relasi kuasa bisa muncul dalam berbagai bentuk dan tingkatan.

“Selama pendidikan dan kesejahteraan masyarakat belum diperbaiki, maka ancaman terhadap kemerdekaan pers akan terus ada,” tutupnya.

Ia menyebut ancaman terhadap jurnalis bukan semata datang dari luar, tetapi juga dari dalam dunia politik yang kini banyak diisi oleh mantan jurnalis.

Menurut Akhirul, banyak jurnalis masuk ke politik bukan karena idealisme memperjuangkan demokrasi, melainkan sebagai “diklat” menuju kekuasaan. 

“Selama media dan pers tidak mengganggu komponen kekuasaan, ya aman. Tapi ketika mulai merugikan, ancamannya muncul, dari intimidasi ringan hingga pembunuhan. Mereka yang pernah jadi jurnalis mungkin tahu lahan basah dan bisa mengendalikan jurnalis. Akhirnya pers dijadikan alat kekuasaan, bukan alat kontrol,” katanya.

Ia juga mengkritik kondisi masyarakat yang masih mudah dipengaruhi hoaks dan narasi kekuasaan karena minimnya akses terhadap pendidikan bermutu.  

Seminar ini menjadi refleksi penting bahwa perjuangan kemerdekaan pers tak lepas dari agenda besar pendidikan publik yang mencerdaskan dan memberdayakan.

Sementara itu, Wahyu Nurdianto, anggota AJI Malang, menyoroti persoalan mendasar dalam kepemilikan media yang kerap terafiliasi dengan kepentingan politik.

“Kepemilikan media berpengaruh sekali terhadap independensi. Jika pemiliknya berafiliasi dengan partai politik, maka isi beritanya akan baik-baik saja bagi kelompok mereka. Tidak bisa dipungkiri, meja redaksi masih sering ditelpon untuk mencabut atau mengubah narasi berita,” ujarnya.

Wahyu menambahkan, survei terbaru menunjukkan 75,1 persen jurnalis di Indonesia pernah mengalami kekerasan, dengan 38 kasus tercatat pada Mei 2025 saja berdasarkan catatan AJI Indonesia.

Ia juga menyoroti penurunan peringkat kebebasan pers Indonesia yang kini berada di posisi 127 dari 180 negara, menurut data terkini. 

“Pada 2023 kita di peringkat 108, lalu turun ke 111 di 2024, dan kini 127. Ini bukti bahwa iklim pers kita memburuk,” tegasnya.

Menurutnya, tantangan ini tak bisa dilawan sendirian. Perlu sinergi antara jurnalis, akademisi, mahasiswa, dan masyarakat.

Saat ini, justru netizen yang menjadi anjing penjaga demokrasi.

Wahyu mengajak semua pihak untuk memperkuat peran pers dalam menjaga demokrasi. 

“Kebebasan pers adalah pilar utama demokrasi yang harus dijaga bersama,” tandasnya.

Seminar ini menjadi ruang reflektif sekaligus kritik terhadap kondisi nyata kemerdekaan pers di Indonesia—bahwa tanpa pendidikan yang mencerdaskan dan media yang merdeka dari kepentingan modal, demokrasi hanya akan menjadi panggung milik segelintir elite. (Benni Indo)

 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.