TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Advokat Zico Leonard Djagardo Simanjuntak mengajukan permohonan uji materi terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam permohonan itu, Zico mempersoalkan kebiasaan DPR yang menggelar rapat pembahasan rancangan undang-undang di hotel mewah, bukan di 'Gedung Kura-kura' yang telah dibangun menggunakan dana publik.
"Pemohon merasa sebagai warga negara telah timbul ketidakadilan mengingat gedung DPR telah dilengkapi dengan ruang-ruang rapat yang dibangun dengan dana APBN," kata Kuasa Hukum Pemohon, Putu Surya Permana Putra, dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di Gedung MK, Jakarta, Senin (5/5/2025).
Dalam sidang yang teregistrasi dengan Nomor Perkara 42/PUU-XXIII/2025 ini, Putu menyebut pemanfaatan hotel sebagai lokasi rapat menunjukkan sikap tidak efisien DPR di tengah upaya efisiensi anggaran yang sedang digencarkan pemerintah.
"Gedung yang sudah dibangun tersebut justru tidak digunakan sebagaimana mestinya," ujarnya.
Dalam petitumnya, Zico meminta Mahkamah menafsirkan ulang Pasal 229 UU MD3 yang selama ini hanya menyebut rapat DPR bersifat terbuka kecuali dinyatakan tertutup.
Ia meminta pasal tersebut dimaknai sebagai kewajiban DPR untuk menyelenggarakan rapat di gedung DPR, kecuali jika seluruh ruang rapat tak dapat digunakan atau mengalami kerusakan.
Selain itu, Zico juga menggugat sejumlah pasal lain dalam UU MD3, seperti Pasal 12 dan Pasal 82, khususnya terkait dominasi fraksi dalam menyuarakan pendapat anggota DPR.
Ia meminta Mahkamah menyatakan bahwa frasa "tugas sebagai wakil rakyat" harus dimaknai sebagai hak anggota untuk menyampaikan pendapat secara perseorangan, bukan semata-mata mewakili fraksi.
Majelis Panel Hakim yang menyidangkan perkara ini dipimpin oleh Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah, didampingi oleh Daniel Yusmic P Foekh dan Arsul Sani.
Guntur mengingatkan pemohon untuk lebih cermat dalam merumuskan petitum agar tidak menimbulkan kekosongan norma.
“Kalau dikabulkan, ada norma yang hilang tanpa ada pemaknaan kembali. Diberikan tafsir, jadi hanya tafsir bahwa itu inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai ya apa yang Saudara inginkan,” kata Guntur.
Mahkamah memberi waktu 14 hari kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonan. Perbaikan harus diserahkan paling lambat pada Senin, 19 Mei 2025.