TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) saat ini menghadapi sejumlah tantangan baik dari sisi eksternal maupun domestik.
Penurunan permintaan ekspor dari negara mitra dagang utama, seperti Amerika Serikat, yang kini mengenakan tarif hingga 32 persen terhadap produk tekstil tertentu.
Kondisi ini diperberat oleh wacana pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap produk Benang Partially Oriented Yarn (POY) dan Drawn Textured Yarn (DTY).
POY dan DTY merupakan bahan baku penting bagi industri tekstil berbasis poliester dan digunakan secara luas sebagai input utama dalam proses pembuatan kain sintetis dan produk tekstil lainnya.
Ketersediaannya yang stabil dan kompetitif sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan dan efisiensi industri hilir, seperti garmen, konveksi, dan tekstil rumah tangga.
Para pelaku usaha berpandangan, kapasitas produksi nasional untuk POY dan DTY saat ini masih memerlukan penguatan, terutama dalam aspek volume pasokan, konsistensi kualitas, dan keterjangkauan harga.
“Industri sangat memahami pentingnya instrumen trade remedies seperti BMAD untuk melindungi produsen dalam negeri,” ujar Ian Syarif, Direktur PT Sipatamoda Indonesia.
Dia mengingatkan, untuk pelaksanaannya perlu mempertimbangkan keseimbangan antara kepentingan hulu dan hilir agar tidak menimbulkan tekanan berlebih pada pelaku usaha, khususnya sektor hilir padat karya.
Data yang dihimpun dari berbagai perusahaan tekstil di sentra industri nasional menunjukkan terjadinya kenaikan bea masuk atas POY dan DTY berpotensi berdampak pada struktur biaya produksi.
Hal ini mempengaruhi daya saing produk tekstil nasional, baik di pasar domestik maupun ekspor.
Dalam laporan akhir penyelidikan oleh Komite Anti Dumping Indonesia (KADI), diusulkan pengenaan BMAD dengan kisaran tarif hingga 42,30 persen.
Terkait hal ini, pihaknya bersama para pelaku industri telah menyampaikan petisi kepada Presiden Prabowo Subianto, sebagai bentuk aspirasi konstruktif yang mencerminkan harapan agar kebijakan pengendalian impor dilakukan secara proporsional dan berdasarkan peta kapasitas nasional.
Petisi tersebut ditandatangani oleh lebih dari 101 perusahaan industri TPT nasional. Isinya menekankan perlunya pendekatan kebijakan yang memperhatikan ketersediaan bahan baku bagi sektor hilir, sekaligus tetap memberi ruang bagi tumbuhnya industri bahan baku domestik.
“Kami percaya, dengan kebijakan yang akomodatif dan berbasis data, Indonesia dapat menjaga keseimbangan antara perlindungan industri dalam negeri dan keberlanjutan ekosistem industri tekstil secara menyeluruh,” kata Ian.
Industri TPT saat ini menyerap lebih dari 3 juta tenaga kerja langsung, berkontribusi signifikan terhadap ekspor non-migas dan memiliki peran penting dalam pembangunan industri manufaktur nasional.
Karena itu, sinergi antara hulu dan hilir menjadi kunci dalam menghadapi tantangan global sekaligus menjaga ketahanan industri nasional. (tribunnews/fin)