Mahfud MD Bicara Peluang Gibran Dimakzulkan Inkonstitusional, Ingatkan Lengsernya Sukarno & Gus Dur
Pravitri Retno W May 07, 2025 12:35 PM

TRIBUNNEWS.COM - Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD, berbicara peluang Gibran Rakabuming Raka bisa dimakzulkan sebagai Wakil Presiden RI, secara inkonstitusional.

Mulanya, Mahfud menilai Gibran akan sulit untuk dimakzulkan jika dilakukan secara konstitusional ketika melihat hitung-hitungan politik saat ini.

Pasalnya, koalisi pemerintah di parlemen begitu besar sehingga dianggap kecil peluang para anggota dewan mau untuk memakzulkan Gibran.

"Praktiknya akan susah, karena apa? Untuk memakzulkan Presiden dan Wakil Presiden itu harus diputuskan dulu oleh sidang pleno DPR yang dihadiri oleh minimal dua pertiga dari seluruh anggota."

"Dua pertiga yang hadir ini harus setuju bahwa ini harus dimakzulkan karena terbukti melakukan hal tercela. Bayangkan secara politik... ndak mungkin karena koalisi Pak Prabowo sudah 81 (persen)," katanya, dikutip dari YouTube Mahfud MD Official, Rabu (7/5/2025).

Namun, Mahfud mengingatkan, dalam sejarah, mayoritas pemakzulan terhadap Presiden tidak secara konstitusional.

Lalu, dia mencontohkan dua peristiwa pemakzulan di Indonesia, yaitu terhadap Presiden pertama RI, Sukarno, dan Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

Mahfud menjelaskan dalam pelengseran Sukarno tidak dilakukan sesuai aturan perundang-undangan.

Sebab, sang Proklamtor dipaksa untuk menandatangani Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) oleh Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat (AD).

Padahal, sambung Mahfud, secara aturan saat itu, MPRS yang seharusnya menjadi lembaga negara yang bisa memberhentikan Sukarno.

Dia mengatakan Supersemar tersebut ternyata dijadikan alat untuk melengserkan Sukarno oleh Soeharto.

Lalu, Mahfud mengungkapkan seluruh anggota MPRS saat itu diganti oleh pendukung Soeharto demi merontokkan dukungan politik terhadap Sukarno.

"Ada ketentuan MPR bisa memberhentikan Presiden karena Presiden mandataris MPR. Lalu, pada waktu itu, Bung Karno dipaksa mengeluarkan Supersemar, dari Supersemar itu menjadikan alat untuk merampas kekuasaan melalui rekayasa-rekayasa ketatanegaraan secara politik."

"Anggota MPRS-nya diganti dulu dengan pendukung-pendukung Orde Baru lalu (Sukarno) disidang dua tahun setelah peristiwa G30S," jelas Mahfud.

Mahfud menjelaskan, setelah itu, Sukarno baru digantikan Soeharto pada 1967, agar terkesan estafet kepemimpinan dilakukan secara konstitusional.

"Lalu Bung Karno menjadi 'bebek lumpuh' yang berkuasa Soeharto, lalu Bung Karno tahun 1967 baru diganti secara resmi setelah ada rekayasa-rekayasa politik itu," lanjutnya.

Mahfud juga mengatakan, sebenarnya keberhasilan Soeharto melengserkan Sukarno itu dianggap dilakukan secara konstitusional karena memperoleh dukungan rakyat saat itu setelah pecahnya peristiwa berdarah G30S.

Dukungan itu, sambungnya, dapat dikonsolidasikan oleh Soeharto sehingga pelengseran terhadap Sukarno dianggap menjadi konstitusi baru saat itu.

"Itulah sebabnya lalu perampasan kekuasaan terhadap Sukarno kemudian karena ada teorinya yaitu sebuah kekuasaan yang diperoleh dengan melanggar konstitusi tetapi kemudian bisa mengkonsolidasikan diri, itu menjadi konstitusi dan hukum baru," katanya.

Kemudian, Mahfud berpindah dengan menjelaskan pelengseran terhadap Gus Dur pada awal 2000-an.

Ketika itu, jika Gus Dur ingin dimakzulkan secara konstitusional, maka harus terlebih dahulu dilayangkan memorandum pertama ketika memang terbukti telah melanggar Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam kepemimpinannya.

Lalu, apabila Gus Dur masih melakukan pelanggaran, maka baru diberi memorandum kedua dan diberhentikan jika masih tidak ada perbaikan.

Namun, Mahfud mengungkapkan pemberhentian Gus Dur sebagai Presiden tidak secara konstitusional karena ketika itu baru berstatus terduga pelaku korupsi penyelewengan dana Yayasan Bina Sejahtera (Yanatera) Badan Urusan Logistik (Bulog) atau yang lebih dikenal dengan Bulog Gate, tetapi sudah dilayangkan memorandum pertama.

"Nah, Gus Dur, pertama patut diduga mengetahui penyelewengan di Bulog, oleh sebab itu diberikan momerandum kesatu. Ini udah salah, baru patut diduga kok sudah memorandum."

"Menurut TAP MPR 378, kalau benar-benar melanggar haluan negara, tapi oke. Sudah itu, kan patut diduga, apa yang mau diperbaiki (Gus Dur) jika patut diduga?" tutur Mahfud.

Lalu, Gus Dur menerima memorandum kedua setelahnya terkait kasus yang sama. 

Namun, tiba-tiba, justru Gus Dur dilengserkan lewat Sidang Paripurna MPR bukan terkait kasus skandal Bulog Gate, tetapi kasus lain, yakni pemecatan Kapolri saat itu, Jenderal Surojo Bimantoro.

Sebagai informasi, hubungan Gus Dur dengan Bimantoro memang memanas ketika itu akibat peristiwa pengibaran bendera Bintang Kejora di wilayah Papua.

Mahfud menuturkan proses pemakzulan semacam ini melanggar konstitusi karena Gus Dur dilengserkan lewat kasus baru dan tanpa ada memorandum pertama dan kedua terlebih dahulu.

"Ini langsung kasus baru (Gus Dur dilengserkan), kan melanggar konstitusi," katanya.

Namun, Mahfud mengungkapkan pelengseran Gus Dur tersebut dapat mulus terjadi tanpa adanya kecaman karena mayoritas masyarakat mendukung upaya tersebut.

"Ketika itu, masyarakat yang mayoritas diwakili partai, mendukung. Akhirnya, Gus Dur itu jatuh," ujarnya.

(Yohanes Liestyo Poerwoto)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.