Haji: Ibadah Suci, Kebijakan Bukan Intervensi
GH News May 10, 2025 11:04 AM

TIMESINDONESIA, NTB – Haji adalah ibadah puncak dalam Islam sebuah perjalanan spiritual yang suci, penuh pengorbanan, dan keikhlasan. Dalam pelaksanaannya, perlu kebijakan negara yang berpihak pada keadilan, keamanan, dan kemaslahatan jamaah. Namun, penting untuk dipahami bahwa kebijakan bukan berarti intervensi terhadap niat dan nilai ibadah.

Haji bukan sekadar perjalanan fisik menuju Tanah Suci, melainkan perjalanan batin menuju ketundukan total kepada Allah SWT. Ia adalah ibadah suci yang menyatukan jutaan umat Islam dari seluruh dunia dalam satu tujuan: meraih ridha dan ampunan-Nya.

Di tengah keragaman bahasa, warna kulit, dan bangsa, Haji menegaskan kesetaraan dan persaudaraan. Semua jamaah mengenakan pakaian ihram yang sama simbol bahwa di hadapan Allah, yang membedakan hanyalah ketakwaan.

Karenanya, Haji harus dijaga kesuciannya, dijauhkan dari kepentingan politik atau komersial. Biarlah Haji tetap menjadi panggilan ilahi, bukan alat duniawi. Karena hakikatnya, Haji adalah momen pulang bukan hanya ke tanah air, tapi juga ke fitrah manusia yang bersih dan tunduk pada Tuhannya.

Negara hadir untuk memfasilitasi, bukan mencampuri sisi spiritual. Keberangkatan haji harus tetap menjadi hak umat, bukan alat kekuasaan atau kepentingan sesaat.

Ketika jamaah kembali, harapan utama bukan hanya oleh-oleh dan cerita, tetapi kembali dengan haji yang mabrur yang tercermin dari perubahan sikap, kepedulian sosial, dan semangat memperbaiki diri.

Haji: Antara Regulasi dan Keikhlasan Ibadah

Keberangkatan haji merupakan urusan ibadah yang sangat pribadi dan sakral bagi setiap muslim. Di sisi lain, negara memiliki kewajiban mengatur dan memastikan pelaksanaannya berjalan aman, tertib, dan adil. Namun penting digarisbawahi: kebijakan bukan berarti intervensi.

Kebijakan negara harus berpijak pada asas pelayanan, bukan penguasaan. Ia hadir untuk melindungi, memfasilitasi, dan menjaga jamaah, bukan mengatur niat dan ketulusan ibadah seseorang. Intervensi yang berlebihan berisiko menggeser makna haji dari ibadah spiritual menjadi sekadar urusan administratif.

Maka dalam mengelola ibadah haji, semestinya negara bersikap sebagai pelayan umat, bukan pengendali. Hanya dengan itulah keberangkatan haji tetap menjadi jalan menuju kemabruran, bukan sekadar perjalanan formalitas.

Kembali dengan Haji Mabrur, Bukan Sekadar Gelar

Haji bukan hanya tentang menunaikan rukun Islam kelima, tapi tentang meraih transformasi diri. Haji yang mabrur bukan diukur dari jumlah foto di Tanah Suci atau oleh-oleh khas Mekah, melainkan dari perubahan perilaku sepulangnya.

Haji mabrur mencerminkan pribadi yang lebih sabar, jujur, adil, dan peduli terhadap sesama. Ia menjadi lebih peka terhadap ketidakadilan, lebih aktif dalam kebaikan, dan lebih rendah hati di hadapan Allah dan manusia.

Maka, kembali dari Tanah Suci seharusnya menjadi titik tolak kehidupan yang lebih bermakna. Sebab hakikat haji mabrur adalah ketika bekas ibadah itu tampak bukan hanya di masjid, tapi juga di pasar, kantor, rumah, dan ruang sosial.

***

*) Oleh: Saueb Qury, (Wakil Sekretaris PW NU Prov NTB)

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.