Kisah Para Penyintas Tragedi Mei 1998 kali ini mengangkat kisah Lani, korban kekerasan seksual selama tragedi atau kerusuhan Mei 1998. Dia diselamatkan oleh sebuah keluarga muslim.
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Peristiwa-peristiwa mengerikan selama kerusuhan Mei 1998 terekam jelas di dalam ingatan para korban dan saksi. Mereka menganggap kemalangan itu sebagai pengalaman terburuk di dalam hidup mereka. Ada yang berhasil bertahan, ada yang merasa kehilangan, dan ada juga yang berubah.
(Dicukil dari sebuah artikel berjudul “Kisah Para Penyintas Tragedi Mei 1998” oleh Muhammad Fazil Pamungkas yang tayang di Majalah Intisari edisi Mei 2022)
Kisah pertama: Kisah dari Muara Angke
Salah satu kisah yang amat mengerikan terjadi di Muara Angke pada 14 Mei 1998. Seorang saksi mata menceritakan kisahnya kepada Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), sebagaimana tertulis dalam Seri Dokumen Kunci: Temuan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Kerusuhan Mei 1998.
Kisahnya bermula saat saksi (tidak disebutkan namanya), melihat sekelompok orang menarik paksa dua orang gadis dari dalam mobil yang diberhentikan sekitar pukul 11.00 di daerah Muara Angke. Orang-orang itu lalu melucuti pakaian dua gadis malang tersebut, kemudian memperkosanya beramai-ramai. Keduanya sempat memberikan perlawanan, namun sia-sia.
Setelah melihat orang-orang biadab tadi pergi meninggalkan kedua gadis itu, si saksi mendekat, kemudian memberikan pertolongan. Dia lalu membantu keduanya untuk menemukan jalan pulang yang aman.Di sekitar Cengkareng, saksi melihat sejumlah mayat perempuan tergeletak di pinggir jalan.
Mereka tanpa busana, dengan wajah ditutupi koran. Menurut saksi, perempuan-perempuan itu tampak sudah diperkosa, karena dari kemaluan mereka terlihat leleran darah yang mengering.
“Semenjak menyaksikan kejadian itu, hidup saya sangat gelisah dan terganggu. Ketika mata saya terpejam, bayangan mayat-mayat wanita itu tampak di depan mata. Saya merasa sangat tertekan. Karena saya tidak kuat menghadapi perasaan cemas dan takut, saya putuskan untuk pulang kampung,” ucap saksi.
Kisah kedua: Diselamatkan keluarga Muslim
Pengalaman mengerikan ini mungkin akan terukir abadi di dalam perjalanan hidup Lani (bukan nama sebenarnya). Dia menjadi salah seorang korban kekerasan seksual pada Tragedi Mei 1998. Ketika itu, sekira pukul 17.00 di tanggal 13 Mei, Lani pergi mengantar pesanan kue ke suatu tempat di bilangan Jakarta Barat, bersama suaminya.
Sesampainya di sebuah kawasan pertokoan, Lani melihat kerumunan orang yang sedang melakukan pengrusakan. Mereka bertindak anarki, sambil meneriakkan kata-kata: “Yang bukan Cina mundur dan yang Cina diam di tempat. Jangan bergerak.”
Melihat gelagat tidak baik, Lani meminta suaminya memutar balik kendaraan mereka. Nahas, baru berjalan sekitar 100 meter, motor yang mereka kendarai terjatuh. Mungkin si suami panik sehingga tidak dapat mengendalikan laju kendaraannya.
Keduanya pun terjatuh. Akibat benturan keras, sang suami langsung tak sadarkan diri. Sementara Lani masih setengah sadar. Lani melihat orang-orang berlarian mendekati mereka. Dia mendengar seseorang mengatakan: “Ini Cina. Ini Cina…”
Tubuhnya lalu diangkat dan dioper ke sana kemari. Lani mendengar ada begitu banyak suara laki-laki. Karena merasa sangat lemah, dia punakhirnya tak sadarkan diri. “Setelah itu, saya tidak ingat apa-apa lagi. Ke mana dan bagaimana saya diperlakukan, saya tidak tahu persis. Saya seolah-olah merasa mati,” kata Lani kepada seorang pendamping korban Tragedi Mei.
Ketika terbangun, imbuh Lani, sekujur tubuhnya terasa perih. Demikian juga dengan kemaluannya. Dia berusaha membuka matanya, dan melihat ada dua perempuan dan satu laki-laki yang duduk mengelilinginya.
Lani ingin sekali berbicara, tapi lidahnya kelu. Dia pun akhirnya tertidur kembali. Ketika terbangun untuk kedua kalinya, sayup-sayup Lani mendengar suara orang-orang sedang mengaji. Melihat dirinya membuka mata, orang-orang lalu memberikan minum dan makan. Juga obat dan jamu.
Lani menanyakan nasib suaminya. Tetapi tidak ada yang tahu. Dia hanya mengetahui jika orang-orang yang menyelamatkannya adalah keluarga Haji Ramli (bukan nama sebenarnya). “Selama tiga hari saya hanya tergolek di amben. Kalau saya paksa berjalan, dari vagina saya keluar darah. Rasanya sakit sekali,” kata Lani.
Menurut penuturan keluarga Haji Ramli, Lani ditemukan di dekat sungai dalam keadaan tanpa busana. Dia kemudian diselamatkan oleh salah seorang anak keluarga itu dan diberi perawatan di rumah oleh anggota keluarga lain.
Setelah kondisi Lani cukup stabil, keluarga Haji Ramli membawanya ke klinik untuk perawatan lebih lanjut. Dia dirawat selama hampir satu minggu. Keluarga Haji Ramli terus mendampingi Lani, karena dia masih belum tahu keberadaan keluarganya.
Baru setelah dua minggu setelah peristiwa nahas yang menimpanya, dia bisa kembali pulang ke rumahnya. “Kedatangan saya disambut dengan tangisan. Anak-anak dan ibu saya tidak menyangka saya bisa kembali dalam keadaan hidup. Mereka mengira saya sudah mati. Foto saya ada di atas meja abu untuk leluhur yang sudah meninggal,” ujar Lani.
“Sampai sekarang, saya tidak habis pikir. Mengapa hanya gara-gara soal pergantian presiden, ada segelintir orang yang tega memperkosa orang Cina dan membakar rumah orang Cina? Mengapa ada orang tega menelanjangi dan memperkosa seorang perempuan beramai-ramai, seperti binatang? Meski keturunan Cina, saya adalah orang Indonesia,” kata Lani.