Lagi Naik Daun Jadi 'Rafale Killer', Benarkah Jet J-10C China Dibuat Dengan Bantuan Israel?
TRIBUNNEWS.COM - Nama dan status jet tempur J-10C "Vigorous Dragon" buatan China saat ini sedang berada pada level tertingginya.
Jet tempur ini lagi naik daun setelah dugaan keberhasilan pesawat Angkatan Udara Pakistan, dibantu rudal PL-15E BVR, dalam menembak jatuh tiga jet tempur Rafale milik Angkatan Udara India.
Bahkan, saham produsen pesawat terbang, AVIC Chengdu Aircraft Co Ltd, yang tercatat di Shenzhen, dilaporkan melonjak hingga 53 persen setelah keberhasilan jet tempur J-10C Angkatan Udara Pakistan menembak jatuh pesawat Rafale dilaporkan di media.
AVIC Chengdu Aircraft Co Ltd adalah perusahaan pertahanan kedirgantaraan yang sama yang membangun jet tempur JF-17 “Thunder” bersama dengan mitranya, Pakistan Aeronautical Complex (PAC) dan J-10C.
Angkatan Udara Pakistan saat ini mengoperasikan pesawat J-10 Vigorous Dragon dan JF-17 Thunder.
Hal yang pasti, J-10C yang kemungkinan besar akan dijuluki — "Rafale Killer" selanjutnya — akan menjadi salah satu produk pertahanan terlaris industri pertahanan China karena banyak negara dari seluruh penjuru dunia akan mengantre untuk menjadikan jet tempur itu bagian dari aset angkatan udara mereka.
Peluncuran jet tempur J-10 "Vigorous Dragon" oleh Tiongkok pada tahun 1998 merupakan momen bersejarah bagi industri pertahanan negara tersebut, yang saat itu dinilai baru "memulai" industri kedirgantaraan dan masih minim pengetahuan dan pengalaman.
Ini bukan hanya pengenalan jet tempur baru, tetapi juga simbol kemampuan China untuk mengembangkan teknologi militernya sendiri.
Namun, meskipun keberhasilan ini, spekulasi tersebar luas bahwa program pengembangan jet tempur J-10 telah menerima "bantuan" teknis dari sumber yang tidak terduga: Israel , yang merupakan sekutu dekat Amerika Serikat (AS).
Meskipun Israel dikenal sebagai sekutu utama Amerika Serikat , laporan mengklaim bahwa negara tersebut telah memberikan dukungan teknis kepada China, yang pada akhirnya memungkinkan industri pertahanan dalam negeri China untuk memproduksi jet tempur generasi baru .
Hubungan dekat antara kontraktor pertahanan Israel dan Cina dikatakan telah dimulai segera setelah kedua negara menjalin hubungan diplomatik pada tahun 1992.
Perusahaan pertahanan terkemuka Israel, Israel Aerospace Industries (IAI), dilaporkan telah berkolaborasi dengan Chengdu Aircraft Corporation (CAC) pada tahap awal program pengembangan jet tempur J-10.
Kolaborasi ini diyakini memainkan peran penting dalam keberhasilan China dalam mengembangkan prototipe pesawat tempur.
Menurut sumber pertahanan, pesawat J-10 memiliki kemiripan yang signifikan dengan pesawat tempur Israel, LAVI, yang dikembangkan pada tahun 1980-an menggunakan teknologi dan pendanaan dari Amerika Serikat.
LAVI adalah proyek pesawat tempur ringan Israel yang dirancang untuk bersaing dengan pesawat F-16 "Fighting Falcon" milik Lockheed Martin.
Akan tetapi, Washington menghentikan pendanaan proyek tersebut karena khawatir akan bersaing dengan pasar ekspor jet tempur Amerika.
Laporan mengklaim bahwa Israel telah diam-diam berbagi informasi teknologi pesawat LAVI dengan China.
Ini termasuk teknologi avionik, material komposit, dan sistem kontrol penerbangan yang juga digunakan dalam jet tempur AS.
Salah satu bukti utama pengaruh Israel pada J-10 adalah desain “canard-delta” yang sangat mirip dengan LAVI.
Namun, ada beberapa perbedaan signifikan antara kedua pesawat ini, seperti ukuran dan konfigurasi sayap yang dimodifikasi.
Selain pengembangan J-10, laporan juga menyatakan bahwa Israel dan China telah menjalin kerja sama dalam teknologi persenjataan.
Pada tahun 1989, perusahaan China, Xian Aircraft Corporation, mengembangkan rudal udara-ke-udara “PL-8”, yang dikatakan sebagai varian dari rudal “Python-3” Israel.
Hingga hari ini, PL-8 masih digunakan oleh Angkatan Udara China, membuktikan efektivitas teknologi Israel dalam sistem persenjataan China.
Israel juga diduga telah membantu China dalam transfer teknologi radar Doppler E/LM-2035 dan sistem navigasi inersia "Tamam", varian yang masih digunakan oleh pesawat J-8 dan J-10.
Pada tahun 1980-an, perusahaan pertahanan Barat termasuk dari Amerika Serikat dan Eropa berbagi banyak teknologi dengan China sebagai bagian dari strategi untuk membendung pengaruh Uni Soviet.
Kerja sama ini membantu China memperoleh akses ke teknologi pertahanan modern, termasuk mesin pesawat terbang dan sistem avionik canggih.
Namun hubungan pertahanan ini terputus setelah tragedi Tiananmen tahun 1989, ketika negara-negara Barat menjatuhkan sanksi militer terhadap Beijing.
Meskipun sanksi telah memengaruhi pengembangan militer China, Beijing terus mencari sumber teknologi pertahanan alternatif.
Israel, yang memiliki keahlian tinggi dalam pengembangan senjata dan sistem avionik, diyakini menjadi salah satu mitra utama dalam upaya tersebut.
Pengembangan pesawat J-10 menandai era baru dalam kemampuan China untuk memproduksi pesawat tempurnya sendiri.
Meskipun ada klaim bahwa keberhasilan ini sebagian dibantu oleh berbagi teknologi dengan Israel, Tiongkok telah berhasil mengembangkan industri pertahanannya hingga ke titik di mana ia kini mampu memproduksi pesawat generasi kelima seperti J-20 Mighty Dragon.
Terlepas dari apakah bantuan teknis Israel benar-benar memainkan peran utama dalam pengembangan J-10, hal itu tetap menjadi salah satu kisah menarik dalam sejarah evolusi militer Tiongkok yang berkembang pesat.
(oln/dsa/*)