Ormas dan Kekuasaan: Sebuah Relasi Mutualisme
Muhammad Idris May 12, 2025 05:20 PM
Organisasi masyarakat Jaya menjadi pusat perhatian publik setelah serangkaian aksi yang menunjukkan bagaimana kekuatan informal dapat melampaui batas hukum.
Pada 26 April 2025, Kalimantan Tengah menyegel operasional PT Bumi Asri Pasaman (BAP) di Barito Selatan, Kalimantan Tengah. Penyegelan dilakukan dengan memasang spanduk yang menyatakan bahwa aktivitas perusahaan dihentikan oleh GRIB Jaya, tindakan yang tidak memiliki dasar hukum, namun dijalankan secara sepihak oleh ormas tersebut.
Sebelumnya, pada bulan yang sama, beberapa anggota GRIB Jaya diduga membakar tiga mobil polisi di Depok setelah ketua ranting mereka ditangkap karena dugaan penganiayaan terhadap petugas. Pada Januari 2025, dua bentrokan berdarah dengan ormas Pemuda Pancasila di Blora dan Bandung menambah catatan kekerasan, dengan puluhan korban luka dan lima tersangka ditetapkan.
Di Bali, penolakan terhadap GRIB Jaya datang dari masyarakat adat, pecalang, dan kepala daerah. Mereka khawatir kehadiran ormas ini dapat merusak tatanan sosial yang selama ini dijaga melalui nilai-nilai lokal dan keamanan berbasis komunitas.
Serangkaian kejadian ini menunjukkan bahwa ormas tidak lagi hanya menjadi kelompok masyarakat sipil, melainkan telah bertransformasi menjadi aktor politik informal yang memegang kekuasaan koersif di ruang publik.
Ormas dan negara: Relasi patron-klien dalam politik lokal Indonesia
Untuk memahami mengapa ormas seperti GRIB Jaya bisa bertindak di luar hukum, kita perlu melihat dinamika relasi patron-klien antara ormas dan elite kekuasaan.
Dalam politik Indonesia pasca-reformasi, ormas sering berfungsi sebagai klien politik yang menyediakan jasa pengamanan, mobilisasi massa, dan dalam banyak kasus, intimidasi terhadap pihak yang dianggap mengancam posisi sang patron. Sebagai imbalannya, ormas mendapat balas jasa berupa akses pada sumber daya negara, proyek pemerintah, bahkan posisi di dalam birokrasi.
Relasi ini bersifat mutualistik, elite politik mendapatkan keuntungan elektoral dan logistik, sementara ormas mendapatkan kekuatan legitimasi dan perlindungan hukum yang tidak tersedia bagi kelompok sipil biasa. Dalam konteks ini, kekerasan yang dilakukan ormas bukan merupakan bentuk penyimpangan, tetapi bagian dari peran politik yang dimainkan dalam sistem kekuasaan informal.
Politik jatah preman: Memahami ormas sebagai kekuatan jalanan yang dilegalkan
Sosiolog politik Ian Douglas Wilson dari Murdoch University menggambarkan fenomena ini dengan tajam dalam bukunya "Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru" (2018). Wilson berargumen bahwa banyak ormas di Indonesia berfungsi sebagai "penjaga wilayah" yang bekerja atas nama elite politik dan bisnis, menggunakan kekuatan koersif untuk mengatur kehidupan sosial dan ekonomi setempat.
Konsep “jatah preman” mengacu pada mekanisme di mana aktor kekerasan informal diberi bagian (jatah) dari kekuasaan politik dan ekonomi oleh elite resmi. Dengan kata lain, kekuasaan tidak hanya didistribusikan secara legal dan institusional, tetapi juga secara informal kepada aktor-aktor yang memiliki kapasitas untuk melakukan kontrol sosial berbasis kekerasan.
Dalam struktur ini, hukum negara bersifat elastis. Tindakan-tindakan yang secara normatif ilegal dapat ditoleransi atau bahkan didorong oleh aktor resmi jika dianggap menguntungkan secara politik. Hal Ini kemudian menjelaskan mengapa ormas seperti GRIB Jaya bisa menyegel pabrik, membakar kendaraan polisi, dan tetap eksis tanpa pembubaran secara tegas oleh negara.
Kekuasaan yang terdistribusi secara informal: Negara yang tak sepenuhnya berdaulat
Dalam banyak kasus, negara secara praktis menyerahkan sebagian otoritasnya kepada aktor non-negara. Hal tersebut menunjukkan bentuk “fragmentasi kedaulatan”, di mana kekuasaan tidak lagi dimonopoli oleh negara, tetapi didistribusikan secara informal kepada kelompok-kelompok yang memiliki kekuatan lokal.
Ketika aktor seperti ormas memiliki otoritas de facto untuk melakukan kekerasan, menyegel bisnis, atau mengatur komunitas tertentu, maka fungsi negara sebagai satu-satunya pemegang kekuasaan koersif melemah. Hal ini bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi mengikis legitimasi negara itu sendiri.
Dalam jangka panjang, situasi ini bisa mengarah pada demokrasi disfungsional, sistem politik tetap berjalan secara prosedural, tetapi dalam praktiknya dikendalikan oleh kekuatan informal yang tidak akuntabel.
Menata ulang peran ormas dan membongkar relasi kekuasaan informal
Masalah utama bukanlah keberadaan ormas itu sendiri, karena pada dasarnya, ormas adalah bagian dari kebebasan berserikat yang dijamin konstitusi. Namun, yang menjadi persoalan adalah ketika ormas digunakan sebagai alat kekuasaan, dan kekerasan dianggap sebagai bentuk pengaruh yang sah.
Solusi jangka pendek tentu terletak pada penegakan hukum yang konsisten dan transparan. Tapi solusi jangka panjang memerlukan pembongkaran terhadap relasi patron-klien antara elite politik dan ormas. Selama ormas digunakan sebagai instrumen elektoral atau alat distribusi kekuasaan informal, maka impunitas akan terus menjadi norma.
Regulasi yang ketat, pemantauan dana, pembatasan aktivitas kekerasan, dan evaluasi ormas adalah langkah awal untuk menata ulang peran kelompok sipil ini. Sementara itu, masyarakat sipil dan elemen akademisi serta media harus terus menjaga ruang diskusi agar tidak dikuasai oleh kekuatan koersif.
Demokrasi tanpa kekuasaan koersif informal adalah mungkin, jika ada kemauan politik
Demokrasi yang sehat membutuhkan masyarakat sipil yang kuat, bukan masyarakat sipil yang bersenjata. Ketika negara membiarkan kekuasaan informal seperti ormas kekerasan mengambil alih ruang publik, maka nilai-nilai demokrasi seperti keadilan, kesetaraan, dan rule of law akan terus tergerus.
Pertanyaan akhirnya bukan lagi soal hukum atau keamanan, tetapi soal keberanian politik: apakah negara bersedia mengambil kembali otoritasnya yang telah diserahkan kepada kekuatan jalanan?
Jika tidak, maka kita tidak sedang hidup dalam demokrasi, tetapi dalam tata kuasa informal yang dibungkus dalam prosedur formal.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.