Refleksi Tutup Tahun Ajaran: Selebrasi yang Memantik Kreasi Siswa
Achilleus Hermawan Astyanto May 12, 2025 05:20 PM
Pekan ini, semarak kegiatan refleksi tutup tahun ajaran 2024/2025 mulai terasa. Namun demikian, seiring hal ini tidak sedikit keresahan orangtua/wali siswa turut terbaca, terutama di platform-platform media sosial komunitas. Menariknya, di sela-sela kontra yang secara dominan masih terbangun, tersisip juga beberapa pendapat yang pro terhadap kegiatan refleksi tutup tahun ajaran.
Sebelumnya, pada penghujung April 2025 lalu sebuah video perdebatan seorang remaja putri dan kepala daerah juga viral. Aura Cinta, seorang lulusan sekolah menengah atas, menyoal larangan perpisahan sekolah dalam suatu kesempatan tatap muka langsung dengan gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi. Frasa “membangun kenangan” terindikasi menjadi sepenggal irisan dalam silang pendapat itu (rri.co.id/nasional/1483007/dialog-panas-debat-dedi-mulyadi-dengan-aura-cinta).
Yang menarik adalah bukan persoalan diksi semata sebagaimana pernah dipersoalkan pada tahun-tahun sebelumnya, kini pemaknaan di balik perpisahan turut diargumentasikan untuk memperkuat perspektif yang diutarakan masing-masing. Di satu sisi Aura Cinta menggagas perpisahan untuk membangun kenangan, sementara di sisi lain Dedi Mulyadi kuat beropini bahwa kenangan tidak hilang begitu saja karena telah terbentuk dari berbagai proses belajar yang dilalui. Kedua sudut pandang itu patut direfleksikan dengan keterbukaan hati.
Beragam diksi, satu hakikat bentuk refleksi
Jauh sebelumnya, diksi untuk mendefinisikan bentuk refleksi tutup tahun ajaran sudah dipersoalkan. Frasa umum seperti perpisahan ataupun pelepasan siswa, hingga istilah lain yang menyiratkan kedalaman makna seperti pengukuhan, pelantikan, maupun penyapihan sebagaimana digunakan oleh Sekolah Dasar Kanisius Kenalan di kecamatan Borobudur-Jawa Tengah, turut digagas ataupun diargumentasikan. Secara khusus, pemilihan kata wisuda untuk satuan di bawah pendidikan tinggi relatif dihindari sejak dirilisnya edaran resmi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) bernomor 14 pada tahun 2023 yang lalu.
Mendasarkan pada edaran tersebut, berbagai dinas pendidikan memang melokalisir bentuk refleksi tutup tahun ajaran untuk skala masing-masing. Contohnya, dinas pendidikan kota Palembang pernah merilis edaran yang tetap mentolerir kegiatan syukuran atas torehan prestasi anak didik (lampung.antaranews.com/berita/720144/disdik-palembang-larang-sekolah-menggelar-acara-perpisahan-siswa). Di sisi lain, dinas pendidikan kota Banjarmasin maupun kota Pontianak lebih melunak melalui himbauan untuk menghindari acara perpisahan yang mahal (jogja.antaranews.com/berita/671172/sekolah-dilarang-adakan-perpisahan-siswa-di-hotel; www.rri.co.id/daerah/686124/disdikbud-pontianak-larang-sekolah-adakan-perpisahan-di-tempat-mewah). Logika yang dibangun tampaknya sejalan dengan edaran Kemendikbudristek yaitu refleksi tutup tahun ajaran tidak boleh membebani orangtua/wali murid.
Sekalipun beragam langkah parsial telah diimplementasikan oleh berbagai dinas pendidikan melalui dokumen turunan yang melandaskan logika bahwa kegiatan refleksi tutup tahun ajaran berpotensi tidak membebani orangtua/wali murid secara finansial, pembicaraan di berbagai platform digital mengindikasikan bahwa kegiatan ini terlanjur menginisiasi kontra. Tidak jarang diskusi yang terpantik justru terkesan mendiskreditkan tanpa terlebih dahulu menggali gagasan hingga pemaknaan di balik kegiatan ini. Tampak jelas bahwa belum terbangun kesamaan persepsi terhadap pemaknaan positif di balik kegiatan ini.
Gagasan kreasi dalam selebrasi positif
Refleksi tutup tahun ajaran memang bukan merupakan hal baru bagi dunia pendidikan Indonesia. Selain meluas di tingkat pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga pendidikan tinggi, bentuk yang diambil pun makin beragam. Dari pentas seni hingga pameran karya, dan dari tasyakuran hingga wisuda. Istilah terakhir sempat memunculkan pro dan kontra ketika dalam perkembangannya, alih-alih perguruan tinggi, satuan-satuan pendidikan lainnya termasuk PAUD hingga sekolah menengah turut mengakomodir diksi ini.
Berbeda dengan perguruan tinggi yang paten menggunakan istilah wisuda, satuan PAUD hingga sekolah menengah juga kerap memakai diksi lainnya seperti perpisahan sekolah, pelepasan peserta didik ataupun pengukuhan lulusan. Namun demikian, pada ujungnya tampak benang merah bahwa semua memaknai refleksi tutup tahun ajaran dengan kekhasan masing-masing.
Dalam perkembangannya, bentuk refleksi tutup tahun ajaran memang semakin beragam dan khas. Di sini, alih-alih bentuk yang baku dan formal, kreativitas dan keluwesan diberi porsi. Pernah diwartakan anak-anak didik yang memaknai kelulusannya dengan berbagai aktivitas sosial. Yang menarik adalah para lulusan menjadi ujung tombak, mulai dari perumusan bentuk, pelaksanaan hingga evaluasinya.
Pada dasarnya, berbagai gagasan positif serupa patut diapresiasi. Aksi peduli lingkungan seperti penanaman pohon hingga pemilahan sampah di lingkungan sekolah ataupun sekitarnya tentu tidak kalah menginspirasi sebagaimana berbagi kebahagiaan dengan sesama yang membutuhkan. Gagasan yang menawarkan perspektif pendidikan budi pekerti untuk mensyukuri kelulusan penting untuk dipantik, alih-alih pelarangan terhadap selebrasi atas suatu capaian. Sebab, tidak dapat dipungkiri bahwa lahirnya kegiatan refleksi tutup tahun ajaran bertajuk perpisahan, pelepasan, hingga pengukuhan tidak lepas dari gagasan mensyukuri proses panjang yang dilalui.
Refleksi tutup tahun ajaran berpotensi ditakar sebagai aktivitas selebrasi positif. Anak-anak didik yang telah berproses telah tiba pada momen untuk sejenak melihat kembali perjalanannya sekaligus menimbang langkah selanjutnya, tentu dalam pendampingan orang dewasa, juga tanpa terjebak pada seremonial yang menguras kantong. Penghargaan terhadap proses ini menjadi penting mengingat tidak sedikit kisah inspiratif tentang bagaimana anak-anak didik dengan inisiatif dan semangatnya berhasil mengumpulkan pendanaan melalui berbagai upaya mandiri maupun kolektif, dari menabung hingga usaha dana. Hal ini cukup bagi kita, orang dewasa, untuk sejenak membuka mata untuk melihat potensi, ataupun telinga untuk mendengarkan suara anak-anak kita yang berupaya memaknai kegiatan ini. Oleh karena itu, ke depannya mari kita semakin melibatkan gagasan anak-anak didik dalam keseluruhan proses belajar, termasuk kreasi dalam merefleksikan tutup tahun ajaran.