Penegakan Hukum: Mematikan atau Memajukan UMKM?
Edi Nugroho May 14, 2025 09:33 AM

Oleh: Siti Mauliana Hairini, S.IP. M.A, Akademisi FISIP ULM

POLEMIK penegakan UU Perlindungan Konsumen terhadap pengusaha lokal “Mama Khas Banjar” yang berawal dari pelaporan konsumen ke Polda Kalsel pada 6 Desember 2024 menjadi isu yang semakin kompleks bahkan meluas seolah menjadi teror bagi UMKM di Bumi Lambung Mangkurat.

Selama ini berbagai pandangan yang menyatakan bahwa penegakkan hukum yang lemah dapat mengakibatkan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum, nampaknya tidak berlaku pada kasus yang menjadi viral sejak akhir tahun 2024 ini.

Pascasuaminya yaitu Firly Norachim ditangkap oleh kepolisian serta ditahan pihak kejaksaan, istrinya pun mulai membagikan cerita di postingan media sosial akun bisnisnya bersama suami.

Pada awalnya, dirinya menuliskan bahwa ingin membagikan pengalamannya agar menjadi pembelajaran bagi para pelaku usaha lainnya. Konten-konten yang menceritakan betapa terkejutnya dirinya ketika menjadi pihak yang harus berhadapan dengan mekanisme hukum dan berbagai institusi hukum lainnya.

Reaksi publik juga tidak kalah terkejutnya dengan postingan dari media sosial pemilik toko. Hal ini dapat dilihat dari mayoritas komentar netizen menyatakan hal ini terkesan mengada-ada. Karena tidak pernah terdengar produk pangan tradisional khas daerah menjadi pelaku pelanggaran hukum akibat tidak adanya informasi kedaluwarsa pada produk.

Gesekan perspektif antara penegakkan hukum dengan praktik para pedagang lokal yang termasuk ke dalam kategori UMKM semakin tidak terbendung. Sehingga, tulisan ini pada dasarnya ingin berkontribusi dalam menguraikan analisis risiko dan potensi dari pergulatan penegakkan hukum aturan versus UMKM yang dalam hal ini direpresentasikan oleh toko “Mama Khas Banjar”.

Dalam berbagai opini, banyak yang menyayangkan pemidanaan kepada pemilik toko yang menjual berbagai makanan yang merupakan hasil olahan maupun hasil laut dari para produsen dan nelayan lokal. Toko ini pun telah menjadi wadah maupun wajah yang merepresentasikan berbagai jajanan serta penganan khas masyarakat Banjar.

Tidak heran, setiap harinya didatangi pengunjung yang tidak hanya berdomisili di Kota Banjarbaru, namun juga dari berbagai daerah lainnya. Sayangnya, setelah lima tahun mereka memulai usaha hingga menjadi salah satu pedagang besar, tidak diiringi dengan pembinaan yang mumpuni serta kesadaran hukum yang tanpa disadari akan selalu mengikat para pengusaha sebagai bentuk tanggung jawab atas hak mereka untuk berusaha. Hal ini hanyalah salah satu contoh kasus dari masifnya pengabaian aturan yang mengatur hubungan antara pelaku usaha yang mencari keuntungan dengan pihak konsumen yang juga tidak boleh dirugikan.

Tidak jarang, label informasi tanggal produksi hanya dipandang sebagai sebuah modernisasi yang tidak cocok dengan gaya produksi tradisional pada pelaku usaha lokal. Maka tidak heran ada banyak komentar publik yang mencoba menormalisasikan bahkan membela produk lokal yang tidak memiliki informasi bagi para konsumen. Bahkan, sebagian narasi publik yang telah beredar seolah turut mendukung stagnansi peningkatan kualitas produk lokal daerahnya sendiri. Tentu hal ini menjadi momok yang sudah lama menjerat pihak para UMKM lokal dan pihak konsumen, sehingga antara kedua belah pihak justru terbelenggu pada hubungan praktik ekonomi yang saling merugikan. Hal ini telah dinyatakan oleh kepala kantor Wilayah Ditjen perbendaharaan Kalsel pada 27 Desember tahun 2024 bahwa, “Pelaku UMKM di Kalimantan Selatan kerap mengalami hambatan dalam memperluas pasar, merancang strategi pemasaran yang efektif, dan melakukan promosi”. Dan bagi konsumen, kerugian sepihak dalam membeli produk makanan tradisional adalah sebuah keniscayaan yang harus diterima begitu saja.

Pemerintah daerah sebagai aktor utama yang memiliki kewenangan dalam melakukan pembinaan dan pendampingan bagi UMKM dinilai tidak secara komprehensif dalam memberikan pendampingan. Di satu sisi, berbagai upaya memperkuat UMKM melalui digitalisasi, pelatihan keterampilan, maupun fasilitasi perizinan yang menjadi fokus utama hadirnya negara dalam meningkatkan kualitas UMKM, ternyata juga relatif tidak maksimal dalam mendorong aspek peningkatan pengemasan produk UMKM. Karena dalam konteks ini, produk yang berkualitas dan memenuhi standar bukan hanya semata soal desain yang menarik, namun informasi setiap komposisi dan tanggal kedaluwarsa seharusnya juga menjadi perhatian serius bagi para pengusaha produk makanan. Sebab adanya pencatuman informasi produk, merupakan salah satu tanggung jawab para pelaku usaha terhadap konsumennya. Namun ironisnya, hal ini menjadi topik yang justru tidak banyak diperbincangkan oleh publik dan seolah tenggelam dari banyak percakapan tentang pembinaan UMKM. Apalagi kondisi ini berkelindan erat dengan minimnya kesadaran publik mengenai hak-haknya sebagai konsumen, terutama produk olahan penganan tradisional.

Polemik kasus “Mama Khas Banjar” tentu tidak sesederhana yang kita bayangkan, atau dianggap hanya persoalan mengenai ketidaktahuan seorang pengusaha lokal akan aturan dan hukum yang berlaku. Namun hal ini merupakan konstruksi sosial yang telah lama dipupuk dan diwariskan secara terus menerus hingga saat ini. Tentu dibutuhkan langkah strategis dan komprehensif dari pihak pemerintah, komitmen dan keseriusan pelaku usaha untuk dibina, serta kesadaran masyarakat dalam melindungi hak-haknya sebagai warga negara.

Apalagi berjalannya kasus ini telah terlanjur berkembang ke arah yang lebih luas, dan masuk ke ranah politik (dalam arti luas) yang mana akhirnya menyita perhatian pemerintah pusat dan DPR RI. Audiensi para anggota DPRD Kota Banjarbaru dengan Komisi VII DPR RI turut memaksa Menteri Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yaitu Maman Abdurrahman untuk pergi bertandang ke Kalimantan Selatan sebagai sahabat pengadilan atau Amicus Curiae dalam persidangan Firly pemilik toko.

Tentu hal ini menjadi lecutan bagi seluruh pihak terkait, bahwa menata kelola UMKM bukan hanya persoalan strategi ekonomi dan pasar melainkan ada budaya, kearifan, serta hukum aturan yang mengikatnya. Kehadiran Menteri tentunya diharapkan tidak hanya menuntaskan permasalahan yang dihadapi oleh satu UMKM saja namun juga dapat membenahi persoalan secara sistemis dan strategis. Termasuk peran penting pemerintah daerah yang memiliki kewenangan terhadap pembinaan para pelaku UMKM.

Langkah Kepolisian Daerah (Polda) Kalimantan Selatan yang menjadi ujung tombak dalam penanganan pelanggaran aturan yang dilakukan oleh toko “Mama Khas Banjar”, dinilai terlalu agresif bahkan dalam berbagai opini dijadikan sebagai aktor antagonis utama di berbagai pemberitaan publik. Berbagai tuduhan diarahkan kepada aparat bahkan ada yang mengibaratkan seperti “lalat mencari kudis” yang maknanya suka mencari-cari keburukan dan kesalahan orang lain.

Meskipun pihak kepolisian telah menyatakan semuanya telah sesuai prosedur, dalam beberapa pemberitaan telah dipaparkan bahwa setelah terdapat laporan dari pihak konsumen yang diterima oleh Polda Kalsel secara langsung dan atas dasar itu dilakukan penyelidikan dan ditemukan 35 produk sebagai barang bukti yang tidak mencantumkan tanggal kedaluwarsa atau jangka waktu penggunaan atau konsumsi produk. Pihak penyidik menyatakan secara normatif telah berpegangan pada Pasal 62 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (1) huruf g dan/atau huruf i Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang berbunyi bahwa “pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8, …. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar)”.

Namun jika mengingat betapa kompleksnya pengembangan bisnis bagi UMKM yang menjual produk lokal di Kalimantan Selatan, maka langkah kepolisian untuk secara tegas memberlakukan aturan seolah menjadi guncangan besar terhadap tradisi masyarakat, pemerintah daerah serta UMKM yang berjualan penganan tradisional itu sendiri.

Penegakkan hukum dalam melawan kemapanan tradisi yang telah lama berlangsung, seakan membuka kotak pandora yang selama ini dipraktikkan untuk menghambat langkah-langkah progresif menuju modernisasi dan peningkatan kualitas jual beli produk penganan tradisional. 

Seperti kotak pandora, semua penyakit, permasalahan, amarah dan hal buruk lainnya keluar secara masif, seolah dunia akan hancur dirundung masalah. Namun ternyata dipenghujung cerita, justru di bagian terdasar dari kotak pandora itulah, tersembul harapan yang juga ikut keluar dan segera menyapu segala kesakitan, amarah dan hal-hal buruk lainnya.

Tentu harapan dalam konteks inilah yang seharusnya kita jadikan kekuatan positif, yang mampu menghadirkan babak baru bagi para pelaku UMKM lokal di Kalimantan Selatan untuk berbenah, agar mampu bersaing di pasar yang lebih luas hingga menembus pasar internasional.

Meskipun tulisan ini harus berbeda pendapat dengan narasi publik, namun satu hal yang sangat penting dalam sudut pandang ini bahwa tindakan yang dilakukan Polda dapat dilihat sebagai sebuah hikmah sekaligus langkah kemajuan dalam mengurai benang kusut hubungan antara konsumen dan produsen/UMKM lokal di Kalimantan Selatan. Dalam sudut pandang yang lebih optimistis, mari kita lihat persoalan ini sebagai momentum untuk meningkatkan kualitas UMKM lokal, sekaligus meningkatkan kesadaran konsumen terhadap hak-hak mereka. Karena pada dasarnya, “Mama Khas Banjar” hanyalah contoh kecil dari dilema resistensi sosial kita dalam menangkap perkembangan zaman. (*)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.