Terjadi Deindustrialisasi Prematur di Sektor Padat Karya, Ekonom Beri Saran kepada Pemerintah
Febri Prasetyo May 15, 2025 02:31 AM

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan pemerintah perlu memastikan industri padat karya tetap tumbuh optimal karena selama ini menjadi penopang perekonomian nasional dan banyak menyerap tenaga kerja. 

Perhatian ini diperlukan karena industri padat karya tengah alami penurunan dari segi kontribusi di mana saat ini hanya berkisar 18-19 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).

“Kontribusinya memang terus mengalami penurunan, sekarang hanya kisaran 18-19 persen terhadap PDB atau terjadi deindustrialisasi prematur,” kata Bhima kepada wartawan, Rabu (14/5/2025).

Bhima mengusulkan pemerintah memperhatikan keberlangsungan sektor-sektor yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia. 

Salah satu upayanya adalah dengan mengkaji regulasi yang mengancam keberlangsungan industri, alih-alih sekadar membuat kebijakan hanya untuk menarik investasi baru. 

"Pemerintah juga harus prioritaskan menyelamatkan industri existing, jangan hanya menarik investasi baru yang belum pasti kapan berproduksinya. Lebih baik mencegah industri existing makin menyusut,” katanya.

Pasalnya, kata dia, industri padat karya merupakan sektor yang memiliki dampak berganda baik terhadap perekonomian, maupun angka penyerapan tenaga kerja.

Sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) menyerap sekitar 4 juta pekerja, serta industri hasil tembakau (IHT) melibatkan 6 juta pekerja dari hulu ke hilir. Jika pemerintah membiarkan industi ini makin melemah, potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) tak bisa dihindarkan.  

"Kalau industrinya kemudian melemah, efeknya juga ke total serapan tenaga kerja, makanya terjadi PHK secara terus menerus,” katanya. 

Pemerintah sendiri sebenarnya sudah menerbitkan paket stimulus ekonomi untuk memperbaiki kondisi industri yang lesu. 

Serangkaian kebijakan ekonomi diterapkan, termasuk memberikan insentif Pajak Penghasilan (PPh) Nomor 21 bagi 56 golongan pekerja padat karya, subsidi bunga 5 persen untuk revitalisasi mesin, dan bantuan jaminan kecelakaan kerja.

Perihal kebijakan insentif PPh 21 bagi pekerja padat karya, Bhima berpandangan kebijakan ini perlu diperluas baik pada sektor pekerja penerima insentif, atau diskon tarif listrik khusus bagi industri sektor ini.

"Selama ini belanja pajak untuk insentif itu sekitar Rp400 triliun per tahun tapi banyak yang tidak tepat sasaran. Jadi, ketika pemerintah ingin menyelamatkan industri, geserlah itu insentif-insentif ke industri yang sifatnya padat karya,” ucapnya.

Sementara itu, pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menyebut pemberian insentif PPh 21 jadi upaya pemerintah mendongkrak daya beli masyarakat kelas pekerja. 

"Rata-rata mereka ini kan kategori gajinya UMR ya, sehingga mereka dibebaskan, katakanlah, 5 persen dari gaji mereka. 5 persen itu bisa langsung menjadi konsumsi dan akhirnya bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi,” kata Achmad.

Ia juga menyoroti tren melemahnya sektor padat karya yang membuka potensi m terjadinya pengurangan pekerja alias PHK.

Achmad mencatat selama 6 bulan sudah ada 80 ribu pekerja formal dirumahkan. Jika industri padat karya tidak dijaga, dikhawatirkan angka PHK tersebut terus membengkak.

“Karena dengan adanya banyak PHK, saya sendiri selama enam bulan menghitung hampir 80 ribu pekerja formal dipulangkan. Yang smart itu artinya membuka lapangan pekerjaan yang sebanyak-banyaknya,” tegasnya.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.