Mencari Manusia
Hari Widodo May 16, 2025 08:31 AM

KH Husin Naparin Lc MA, Ketua MUI Provinsi Kalsel

BANJARMASINPOSTCO.ID - ALKISAH ada seorang filosof berjalan mengitari kota, memasuki desa dan lorong-lorong sempit, sambil membawa obor menyala di tangannya. 

Padahal waktu siang bolong dan matahari bersinar terang benderang. Lalu ada yang bertanya: “ Wahai tuan filosof, apa yang sedang tuan cari di siang hari begini, membawa obor menyala sedang matahari bersinar terang?”. la menjawab: “Aku mencari manusia”. 

Orang itu bertanya lagi: “Tuan filosof, orang-orang yang berkeliaran di setiap jengkal tanah dan rumah, di pasar dan di mana saja anda temui, apa bukan manusia ?”. Sang filosof menjawab pula: “Tidak, mereka bukan manusia, mereka hanyalah hewan-hewan melata yang berbentuk manusia”. “Alangkah kejamnya kau wahai filosof, memandang mereka sebagai hewan,” kata orang itu pula.

Filosof berkata lagi: “Memang mereka adalah hewan-hewan yang hanya makan, tidur dan melakukan hubungan kelamin, seandainya mereka itu merasa dirinya manusia, ia berusaha agar dirinya membawa manfaat bagi orang lain. Namun kenyataan, mereka hidup hanyalah membikin jalan-jalan menjadi macet, menyebabkan kekayaan di atas perut bumi menjadi terkuras, membuat lahan tempat tinggal menjadi sumpek, mengakibatkan udara nan bersih menjadi kotor, dan keamanan membikin repot serta memusingkan aparat dan petugas”.

Orang yang bertanya tadi terdiam, bungkam dan ia pun bertanya di dalam hatinya:  Apakah aku ini manusia? Bersediakah kita juga bertanya ke dalam lubuk jiwa yang paling dalam:” Apakah aku manusia ?” Barangkali kita akan menjawab: “ Ya aku manusia, karena aku mempunyai akal pikiran, mempunyai tutur kata, budaya dan ilmu pengetahuan yang tidak dimiliki oleh hewan-hewan.Baiklah, kalau itu jawabannya. 

Kita akan bertanya lagi: Apakah tindak tanduk, sepak terjang dan kelakuan kita manusiawi?” Terhadap pertanyaan ini kita akan malu sendiri. Apakah yang membedakan antara manusia dengan hewan.

 Seorang pengarang Mesir yang bernama Musthafa Luthfi Al- Manfaluthi mengatakan: “Tidak ada yang membedakan antara manusia dan hewan itu, kecuali kebaikan, dalam bahasa agama disebut ihsan”.

Seberapa jauhkah kita telah berbuat kebaikan dalam hidup ini? Kebaikan yang membawa manfaat bagi diri sendiri dan pihak lain. Nabi SAW menandaskan, bahwa sebaik-baik manusia adalah orang yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain.

Dalam hal ini, Al-Manfaluthi dalam kitabnya An-Nazharaat mengungkapkan bahwa manusia itu terbagi dari kepada beberapa tipe.

Pertama, orang yang berbuat baik kepada dirinya sedini, namun ia sama sekali tidak berbuat baik kepada orang lain. Mereka ini adalah orang yang serakah lagi rakus, ia tumpuk kekayaan untuk dirinya sendiri tanpa peduli kepada orang lain dan kepentingan mereka. 

la berusaha mengeruk kekayaan dari mana saja bisa didapatkan. Seandainya darah merah yang mengalir di tubuh manusia bisa berubah menjadi emas, niscaya semua manusia akan ia bunuh untuk mendapatkan emas itu.

Kedua, orang yang berbuat baik untuk orang lain, tetapi perbuatan baiknya itu hanya sebagai jalan untuk mendapatkan kebaikan orang lain kepadanya. la gunakan kemampuan dan kekayaannya sebagai umpan balik untuk mendapatkan kebaikan orang lain bagi dirinya. la mau berbuat baik kalau ada maslahat dan kepentingan yang lebih menguntungkan bagi dirinya. 

Mereka ini adalah manusia angkuh atau manusia tirani yang ganas. Kebaikan menurut mereka ialah penghambaan manusia untuk kepentingan dirinya.

Ketiga, orang yang tidak berbuat baik kepada dirinya sendiri dan juga tidak berbuat baik kepada orang lain. Mereka ini adalah manusia-manusia yang bakhil lagi bodoh. la tumpuk kekayaan, namun pada hakikatnya hanyalah membuat perutnya lapar agar peti besinya menjadi kenyang.

Keempat, orang yang berbuat baik kepada dirinya sendiri dan juga berbuat baik kepada orang lain. Orang itu tahu diri apa yang yang harus diperbuat, ia tahu kapan dan apa yang dapat ia nikmati untuk dirinya sendiri; dan kapan ia berbuat baik kepada orang lain. 

Orang inilah kata Al-Mahfaluthi yang dikatakan insan atau manusia. Orang seperti inilah yang menjadi idola dan dicari filosof kesana kemari mengitari kota dan desa sambil membawa obor marak menyala, padahal matahari bersinar benderang di siang bolong.

Tipe yang manakah kita? Mari kita renung diri kita masing-masing. Dicari manusia yang manusiawi. Barangkali kita kekurangan manusia yang semacam ini! Barangkali yang terbanyak adalah manusia seperti yang disinyalir Al-Qur’an yang hanya mempunyai hati, tetapi tidak digunakan untuk memahami ayat-ayat Allah. Dan mereka mempunyai mata, tetapi tidak digunakan untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah dan mereka memiliki telinga, tetapi tidak digunakan untuk mendengar ayat-ayat Allah. Mereka itu seperti hewan ternak, malah lebih sesat lagi dan mereka itulah orang-orang yang lalai, yang akan menjadi penghuni neraka (lihat QS. Al-Araf: 107). (*)

 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.