Kisah Nelayan 8 Bulan Terombang-ambing di Laut, Bertahan Hidup Makan Ikan Mentah di Tengah Badai
Tiffany Marantika Dewi May 17, 2025 06:31 AM

TRIBUNWOW.COM - Seorang nelayan bernama Lukman Latili (63), mengalami kisah hidup yang sangat tidak terduga, di mana ia harus terombang-ambing di lautan lepas selama 8 bulan.

Lukman Latili yang dinyatakan hilang itu akhirnya secara ajaib ditemukan selamat, oleh kapal pencari ikan milik perusahaan Tuna Indo Prima.

Saat berada di lautan, Lukman Latili harus menghadapi bahaya badai, gelombang tinggi, hingga kehabisan bahan makanan.

Untuk bertahan hidup, nelayan asal Desa Timbuwolo Timur, Kecamatan Botupingge, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo ini sampai memakan ikan mentah yang berhasil ditangkap dengan alat seadanya.

Apabila tak dapat ikan, ia hanya bisa pasrah dan menangis kepada Tuhan.

Berikut kisah lengkap perjuangan Lukman Latili bertahan hidup di rakitnya yang terombang-ambing di laut selama 8 bulan.

Hilang Kontak Juli 2024

Peristiwa ini bermula pada 13 Juli 2024, saat Lukman menjaga rakit miliknya di perairan laut Pinolosian, Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan, Sulawesi Utara. 

Sebagai nelayan berpengalaman sejak kecil, rutinitas menjaga rakit di lautan bukan hal baru baginya. 

Namun hari itu berbeda. Tali utama yang menjadi pengikat rakit ditemukan putus. Rakit pun mulai hanyut terbawa arus ke laut lepas.

“Saya baru tahu saat melihat tali rakit timbul semua. Itu tanda rakit sudah hanyut jauh,” ungkap Lukman saat diwawancarai TribunGorontalo.com, Kamis (15/5/2025).

Upaya pencarian oleh pihak Kepolisian Air dan Udara (Pol Airud) dilakukan, namun hasilnya nihil. 

Komunikasi pun terputus akibat radar sambungan radio sudah sangat jauh. 

Rakit yang biasa ditinggali selama lima hingga enam bulan itu kini tak lagi bisa diandalkan untuk berkomunikasi atau mencari pertolongan.

Dengan bekal seadanya seperti beras, gas untuk memasak dan alat masak, Lukman bertahan selama lebih dari sebulan. 

Ia mengandalkan bubur sebagai makanan pokok, dimakan pagi hingga malam. 

Setelah persediaan habis, ia mulai menangkap ikan dengan alat sederhana.

Namun hasil tangkapan tidak selalu menguntungkan. 

Seringkali, ia harus menahan lapar hingga lima hari lamanya tanpa makanan.

“Bahkan lima hari siang malam saya tidak makan apa-apa,” katanya lirih.

Ketika kayu bakar dari rangka rakit mulai habis, ia terpaksa memakan ikan mentah. 

Itu pun jika berhasil menangkap. Jika tidak, ia hanya bisa menangis dan berdoa.

Tak hanya soal makanan, badai dan ombak besar juga menjadi tantangan. 

Rakitnya kerap diterjang gelombang tinggi yang mengancam keselamatan. 

Di tengah ancaman maut, ia hanya bisa berpasrah pada Tuhan.

Dalam kesendirian dan keputusasaan, Lukman tetap teguh berdoa. 

Bahkan saat merasa doanya tak terkabul, ia tetap mengadu kepada Sang Pencipta, walau sempat merasa Tuhan tidak adil.

“Saya berdoa, ‘Ya Allah, jemputlah saya. Sudah tidak mampu lagi," kata Lukman dengan wajah mulai memerah. 

Ia bahkan sampai ingin mengakhiri hidupnya ditengah keputusasaan yang ia alami. 

Bersyukur niatnya itu tak sampai kesana. Rupanya ada penggalan doa yang membuatnya mengurungkan niat tersebut. 

"Saya baca di buku, katanya kalau orang mati bunuh diri, tidak akan dapat tempat disana (akherat). Tempatnya di neraka," imbuhnya. 

Buku itu rupanya adalah buku pemberian anaknya yang sengaja ia serahkan kepadanya agar Lukman bisa mengisi waktu luang di rakit dengan membaca. 

Hari-hari berlalu, waktu silih berganti, Lukman lagi-lagi hanya bisa termenung menunggu keajaiban datang. 

Bahkan anehnya di tengah laut, ia sempat tiga kali mengaku mencium bau asap rokok. 

"Saya menduga keluarga di rumah sudah doa arwah," tukasnya. 

Di suatu malam Lukman mengaku mendengar suara mendiang istrinya yang menyemangatinya agar tak menyerah. 

Suara itu menjadi titik balik. Ia pun melihat cahaya terang di atas rakit, tanda bahwa keajaiban tengah datang.

“Katanya saya belum akan mati. Saya akan selamat,” kenang Lukman.

Doa Lukman akhirnya dikabulkan. Pada suatu malam di bulan Maret 2025, kapal pencari ikan milik perusahaan Tuna Indo Prima melintas tak jauh dari rakitnya. 

Awak kapal melihat rakit itu dan segera mendekat. Lukman yang sudah kurus kering langsung diberi makan dan pertolongan pertama. 

Ia bertahan di kapal itu selama satu minggu sebelum akhirnya dibawa ke daratan di Bitung, Sulawesi Utara, lalu dipulangkan ke kampung halaman di Gorontalo.

Kondisi Lukman Kini

Setelah 8 bulan mengarungi lautan tanpa arah, kondisi fisik Lukman sangat memprihatinkan. 

Ia mengalami kesulitan berjalan, sendi-sendinya terasa tak tersambung akibat terlalu lama berada di rakit.

Hingga kini ia masih menjalani masa pemulihan dengan bantuan dari Dinas Kesehatan Provinsi Gorontalo. 

Meski tubuhnya belum pulih sempurna, semangatnya tetap membara. 

Ia ingin kembali bekerja sebagai nelayan, walau perahunya sudah tak ada lagi.

“Saya masih ingin kerja, hanya butuh bantuan perahu dan alat tangkap,” ucapnya penuh harap.

Anak Lukman, Andri Latili, mengaku tak pernah berhenti berharap. 

Saat pertama kali mendengar ayahnya hilang, ia tetap tenang karena pernah mengalami kejadian serupa. 

Namun, seiring waktu dan tanpa kabar, rasa khawatir pun menghampiri. 

Meski pencarian dihentikan, ia tetap yakin ayahnya masih hidup.

Andri bahkan mengaku bermimpi bertemu ayahnya dan berdialog, sesuatu yang membuatnya yakin Lukman masih hidup. 

Meski akhirnya keluarga mengadakan doa arwah, dalam hati kecilnya Andri tetap percaya.

Kabar penyelamatan Lukman pun datang di pertengahan bulan Ramadhan 2025 melalui sebuah video yang dikirim via WhatsApp. 

Tangis bahagia pun tak terbendung. Kepulangan Lukman disambut haru oleh masyarakat desa yang mengira ia telah tiada.

Kisah Lukman Latili bukan sekadar kisah nelayan yang hilang di laut. 

Ini adalah kisah tentang harapan yang tak pernah padam, doa yang tak pernah terputus, dan keajaiban yang datang di saat-saat tak terduga. 

Dalam kesunyian di lautan, Lukman membuktikan bahwa hidup adalah perjuangan. 

Bahwa sekalipun tubuh lelah dan hati nyaris menyerah, Tuhan selalu hadir dalam bentuk yang tak disangka.

Ia kini menjadi simbol keteguhan hati dan harapan di tengah badai kehidupan. (*)

 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.