Kehadiran Sumirat dalam kehidupan Chairil Anwar menghasilkan sajak-sajak lembut dan bernada rawan, tidak meradang-menerjang seperti yang selama ini menjadi citra “Sang Binatang Jalang”.
Ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma, tayang di Majalah Intisari edisi April 2002
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Salah satu sajak Chairil Anwar terindah adalah Mirat Muda, Chairil Muda, yang ditulis pada tahun kematiannya, yakni 1949. Sajak itu disebut-sebut sebagai penggambaran seksualitas dalam kedekatannya dengan maut, yang berarti juga seksualitas sebagai dorongan daya hidup yang masih terus menyala sampai maut merenggut.
Berikut sajak itu selengkapnya:
Diadah, Miratlah, ketika mereka rebah,
Menatap lama ke dalam pandangnya coba memisah matanya menantang yang satu tajam dan jujur yang sebelah.
Ketawa diadukannya giginya pada mulut Chairi, dan bertanya: Adakah, adakah kau selalu mesra dan aku bagimu indah?
Mirat raba urut Chairil, raba dada
Dan tahulah dia kini, bisa katakan dan tunjukkan dengan pasti di mana menghidup jiwa, mengembus nyawa
Liang jiwa-nyawa saling berganti. Dia rapatkan
Dirinya pada Chairil makin sahati: hilang secepuh segan, hilang secepuh cemas
Hiduplah Mirat dan Chairil dengan deras, menuntut tinggi setapak berjarak dengan mati
Dengan sajak ini, terbukti bahwa erotisisme dan seksualitas yang terbuka tidak harus berarti pornografi, dan kehadiran sajak ini menepis anggapan sebagian peneliti, bahwa sastrawan Indonesia selalu bersikap malu-malu kucing untuk menggauli seks dalam karya-karyanya — tentu komentar semacam itu dilontarkan sebelum Saman terbit.
Tapi bahkan sebelum roman yang ditulis Ayu Utami itu memancing perbincangan hangat, antara lain karena eksplorasi seksualitas di dalamnya, pernyataan itu sudah terbantah oleh sajak Mirat Muda, Chairil Muda.
Sajak ini ditulis tahun 1949, namun dibubuhi keterangan: di pegunungan 1943 – tampaknya boleh diandaikan bahwa Chairil sudah mengenal Mirat tahun itu. Berdasarkan data bahwa Chairil menikah dengan Hapsah Wiriaredja pada 1946, dan mendapat putri Evawani Alissa pada 1947, adalah suatu kenyataan betapa Chairil terkenang-kenang kepada seorang perempuan dari masa lajangnya setelah berkeluarga.
Jika sajak-sajaknya ditelusuri, setidak-tidaknya masih dua sajak lagi menyebut nama Mirat, yakni Sajak Putih (1944), yang dalam surat kepada HB Jassin beranotasi: buat tunanganku Mirat, dan Dengan Mirat (1946), yang dalam kumpulan sajak Deru Campur Debu diubah judulnya menjadi Orang Berdua.
Siapakah Mirat? Seperti apakah Mirat? Jawabannya terdapat dalam majalah Intisari edisi Juni 1971, melalui laporan pengarang Purnawan Tjondronagoro: "CRIL, Penyair yang Kukagumi Sebagaimana yang Dikisahkan Mbakyu Sumirat."
Jadi, Mirat ini adalah Mbakyu Sumirat. Perhatikan bagaimana Purnawan menggambarkannya: "Ketika kami bertemu muka, aku memperoleh kesan betapa perempuan yang lembut tapi keras hati ini, seorang yang mempunyai pribadi menarik."
Purnawan menemuinya ketika perempuan yang disebutnya menarik itu berusia 48. Berarti ketika Chairil mengenalnya pada 1943, dia masih 20 tahun, dan boleh dibayangkan bagaimana pesonanya terhadap seorang penyair muda yang serba sensitif dan menyala-nyala. Seorang gadis 20 tahun pada masa sebelum Indonesia merdeka, memandang Chairil Anwar yang berusia 21 tahun. Apakah yang terjadi? Purnawan menuliskan kembali kenangan Mirat:
"Cril, demikian aku selalu memanggilnya, adalah seorang yang aneh sejak pertemuan kami pertama kali di Cilincing. Ketika itu Cril duduk bersandar ke sebatang pohon, membaca sebuah buku tebal. Mula-mula tiada menjadi perhatianku, tapi beberapa kali melewatinya, melihat dia tekun membaca tanpa peduli sekelilingnya, benar-benar membuatku heran. Aneh, pikirku, orang-orang bersenang-senang di sini, tapi dia lebih tenggelam dalam bukunya. Siapakah dia?"
Mirat dan keluarganya sedang berpiknik ke Pantai Cilincing, tempat rekreasi masa itu. Sikap Chairil yang begitu cuek rupanya menjerat hati Mirat, sehingga "dalam perjalanan pulang, pikiranku tiada lepas dari dia, kukhayalkan apa yang sedang bermain dalam angannya, kenapa sikapnya masa bodoh dan tidak peduli. Ya, aku jadi tertarik."
Mirat adalah seorang perempuan yang belajar melukis kepada S. Sudjojono maupun Affandi. Namun pembelajarannya kali ini terganggu: "Juga di waktu aku melukis, tampangnya sering kali mengganggu diriku."
Celakanya, tanda tanya di kepala Mirat mendapat jawaban tak terduga. Beberapa minggu setelah peristiwa Cilincing, seorang saudara Mirat bertanya:
"Masih ingat orang.yang kita jumpai di Cilincing, yang kau anggap aneh itu?"
"Ya, kenapa?"
Mirat mengaku, saat itu jantungnya berdegup, dan dia bertanya sendiri dalam hati:
"Ya, kenapa perasaanku jadi bergelora?"
"Dia kena perkara, dituduh mencuri. Tadi pagi sidang pengadilan memutuskan hukuman denda. Dia tidak berduit. Jadi harus menjalani hukuman. Aku teringat kau, jadi kutebus saja. Besok sore dia mau singgah kemari."
Begitulah, malam dilalui Mirat dengan gelisah. Tak terbayangkan oleh Mirat bahwa lelaki eksentrik yang mengganggu pikirannya itu akan muncul di rumahnya. Tapi kemudian segalanya makin jelas.
Nama: Chairil Anwar.
Pekerjaan: Penyair.
Penghasilan: Tidak tetap.
Namun curriculum vitae seperti itu ternyata bukan alangan bagi Mirat untuk semakin mengaguminya: "Suaranya bersemangat, daya khayalnya kuat bukan main. Aku benar-benar tertarik kepadanya."
Maka kedua insan itu pun bergaul, kadang-kadang nonton, makan di restoran, dengan sebuah catatan: "sekali-sekali saja Cril membayar, aku tahu dia tidak berduit." Catatan lain: "Pakaiannya? Kalau tidak salah, hanya dua setel. Dia seorang yang rapi berpakaian, tidak pemah tampak lusuh, selalu bersih dan seperti selalu kena setrika. Cril seorang yang malas mandi, tapi keringatnya tidak berbau."
Peristiwa selanjutnya semakin tipikal bagi siapa pun yang berpacaran dengan Chairil Anwar: "Dan dibawanya tumpukan kertasnya yang berisi hasil karya sastranya. Kami berdiskusi, sulit untuk mengalahkan atau membelokkan kemauannya. Dia seorang yang terlampau yakin kepada dirinya sendiri, tegas dan berani."
Ujung-ujungnya: "Kukagumi dirinya sepenuh hatiku." Betapa tidak akan terbuai jika Chairil "mengurus" Mirat seperti berikut? "Aku senang, karena Cril seringkali mengawaniku melukis. Dia membaca sajak-sajak yang habis dibuatnya dan aku mendengarkan deklamasinya sambil melukis."
Tak heran jika Mirat berpendapat: "Sungguh ideal kehidupan kami, sungguh menyenangkan.”
Ideal bagi Mirat, tapi rupanya tidak begitu bagi orangtuanya. Suatu ketika dia dipanggil pulang ke Paron, suatu dusun terpencil di Madiun, Jawa Timur, dan dia pun berangkat, meninggalkan Cril yang kurindukan. Chairil berjanji akan menyusulnya, dan memang ditepatinya. Apa boleh buat, agaknya pertemuan dengan Chairil yang pasti tidak akan mencari muka itu, semakin meyakinkan penolakan orangtua Mirat. Menurut Mirat, adik-adiknya memandang Chairil dengan sinis.
"Ya, tak dapat kusalahkan," pikir Mirat, "Seorang asing tanpa pekerjaan datang untuk melamarku."
"Anak cari kerja dulu yang baik dan tetap, nanti kita bicarakan lagi," ujar ayah Mirat, yang sangat bisa dimaklumi oleh Mirat, yang sementara itu masih berpendapat: "Tapi daya tarik Cril benar-benar kuat dan melekat. Dia adalah idaman hatiku."
Surat-surat Chairil Anwar kepada HB Jassin pada bulan Maret 1944, sebagian berasal dari: d/a Yth. R.M. Djojosepoetro, Paron - mungkinkah ini ayahanda Sumirat itu? Seperti biasa, Chairil tidak pernah menyerah: "Orang selalu salah sangka, tapi mereka akan menyesal di hari kemudian, karena aku akan sanggup membuktikan, bahwa karya-karyaku ini bermutu dan berharga tinggi. Jangan kita putus asa Mirat, aku akan terus berjuang untuk memberi bukti."
Meskipun begitu, jika sajak Dengan Mirat dibaca kembali, walau baru diselesaikannya tahun 1946, sebetulnya terlihat juga keraguan Chairil Anwar:
Kamar ini jadi sarang penghabisan di malam yang hilang batas
Aku dan engkau hanya menjangkau rakit hitam
'Kan terdamparkah
atau terserah
pada putaran hitam?
Matamu ungu membatu
Masih berdekapankah kami atau
mengikut juga bayangan itu
Chairil dan Mirat abadi dalam sajak, tapi mereka tidak pernah berhasil menikah. Setelah kejadian itu, Chairil pamit dengan uang saku ayah Mirat, karena memang tidak punya uang sepeser pun. Cril (tentu dengan ejaan masa lalu dibaca Sril) pergi meninggalkan setumpuk berkas yang menjadi kenangan Sumirat.
Dia masih kembali lagi untuk menengok Sumirat, di mana keduanya berboncengan naik sepeda melihat-lihat sawah keliling desa, sambil berdiskusi dengan berapi-api tentang sajak-sajak karyanya, warna-warna lukisan Sumirat, maupun masa depan negeri yang kelak bernama Indonesia. Penindasan Jepang telah semakin menyalakan semangat pemberontakannya.
Setelah itu mereka tidak pernah bertemu lagi. Mereka saling berkirim surat, dan menurut Mirat, "Sajak-sajaknya banyak yang tertuju kepadaku." Namun perang kemerdekaan yang merambah Desa Paron telah membakar kopor berisi buku-buku dan berkas tulisan Chairil Anwar yang disimpan Mirat. "Hanya beberapa catatan memori dan sajak saja yang dapat kuselamatkan, sisanya habis menjadi abu bersama rumah kami."
Mirat atau Sumirat, kemudian mendengar semuanya tentang Chairil. Bagaimana dia menikah, punya anak, dan mati muda - serta tentu saja bagaimana namanya menjadi besar:
"Kini Cril tiada lagi. Cril, penyair yang sepanjang hidupku kukagumi dan dambakan, sebagai seorang penyair besar dari zamannya. Dia benar, Cril membuktikan dirinya orang besar, seperti yang selalu dikatakannya kepadaku. Dia meninggalkan seorang istri dan anak perempuan. Ingin aku bisa menjumpai mereka, bagaimana aku pernah mengenal baik dengan almarhum."
Penyair Indonesia paling terkenal itu dilahirkan 26 Juli 1922 di Medan, dan meninggal 28 April 1949 di Jakarta karena sakit parah. Riwayat hidupnya yang singkat mewakili citra romantik seniman bohemian yang mati dalam kemiskinan, meski semenjak jenazahnya masih di CBZ (kini RS Tjipto) pun sudah ribuan orang menengoknya, seperti diceritakan Asjari Rahman dalam Intisari September 1971. Hari meninggalnya selalu diperingati sebagai Hari Chairil Anwar.
Berikut ini adalah sebuah sajak yang ditujukan kepada Mirat, yang memperlihatkan riak maupun gelombang dalam jiwa seorang Chairil:
SAJAK PUTIH
-buat tunanganku Mirat
bersandar pada tari wama pelangi
kau depanku bertudung sutra senja
di hitam matamu kembang mawar dan melati
harum rambutmu mengalun bergelut senda
sepi menyanyi, malam dalam mendoa aba
meriak muka air kolam jiwa
dan dalam dadaku memerdu lagu
menarik menari seluruh aku
hidup dari hidupku, pintu terbuka
selama matamu bagiku menengadah
selama kau darah mengalir dari luka
antara kita Mati datang tidak membelah ...
Buat Miratku, Ratuku! kubentuk dunia-sendiri,
dan kuberi jiwa segala yang dikira orang mati di alam ini!
Kucuplah aku term, kucuplah
dan semburkanlah tenaga dan hidup dalam tubuhku ...