Grid.ID - Dedi Mulyadi datangi KPK untuk melakukan diskusi bersama. Diskusi tersebut membahas banyak hal berkaitan dengan Jawa Barat mulai dari korupsi hingga efisiensi anggaran.
Dedi Mulyadi datangi KPK di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), di Kuningan, Jakarta, Senin (19/5/2025). Tujuan Dedi mendatangi KPK adalah untuk berdiskusi di bidang pencegahan korupsi khususnya terkait efisiensi anggaran belanja pemerintah daerah di berbagai bidang.
"Terutama di bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur jalan, irigasi, penanganan kemiskinan, jaringan listrik. Itu menjadi prioritas utama kami," kata Dedi.
Dedi Mulyadi juga mengatakan akan melakukan efisiensi anggaran daerah Jawa Barat mencapai Rp 5 triliun. Menurutnya, efisiensi tersebut akan dialihkan kepada program yang lebih penting untuk masyarakat seperti di dunia pendidikan.
"Misalnya di dunia pendidikan, ada belanja Rp 700 miliar lebih untuk TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi). Sedangkan yang dibutuhkan oleh dunia pendidikan adalah ruang kelas baru, sehingga anggaran itu digeserkan menjadi ruang kelas baru," ujar Dedi Mulyadi dikutip Grid.ID dari Kompas.com.
Dedi Mulyadi juga akan melakukan efisiensi terhadap perjalanan dinas pemerintah yang dinilai tidak terlalu menjadi prioritas, sehingga bisa dialihkan untuk pembangunan infrastruktur jalan yang dibutuhkan masyarakat.
"Sehingga ada realokasi dari Rp 700 miliar menjadi Rp 2,4 triliun (untuk infrastruktur jalan). Kemudian ada sosialisasi yang biasa dibelanjakan oleh pemerintah, (tapi) yang dibutuhkan oleh masyarakat hari ini adalah hampir 240.000 rakyat Jawa Barat tidak punya listrik, maka ada realokasi hampir Rp 250 miliar untuk belanja penerangan listrik warga," tuturnya.
Berdasarkan hal tersebut, Dedi mengatakan bahwa dia mendapatkan strategi dari KPK untuk mengsinergikan berbagai kebijakan yang mengarah pada peningatan sumber daya manusia, kenyamanan layanan pemerintah, serta peningkatan kualitas kesehatan warga.
"Sehingga Jawa Barat bisa mengalami peningkatan indeks ekonomi masyarakatnya, indeks kesejahteraan masyarakatnya, dan indeks pendidikan masyarakatnya," kata Dedi.
Adapun KPK juga menyoroti pengelolaan anggaran Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan menekankan pentingnya penggunaan dana publik seperti APBD yang berdampak dan bermanfaat nyata bagi masyarakat. KPK menegaskan bahwa program yang tidak selaras dengan rencana pembangunan dan tidak membawa manfaat sosial harus dihilangkan dari anggaran.
Dikutip Grid.ID dari Tribunnews.com, Direktur Koordinasi dan Supervisi (Korsup) Wilayah II KPK, Bahtiar Ujang Purnama, menekankan pentingnya keselarasan antara perencanaan anggaran dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), serta visi dan misi daerah.
“Arah pembangunan harus diukur dengan kebermanfaatan kepada masyarakat, ini menjadi sorotan KPK. Saat melihat dalam proses perencanaan tidak terdapat azas kebermanfaatan bagi masyarakat dan perencanaan tidak inline terhadap kebermanfaatan, saya minta untuk dicoret,” kata Ujang.
“Kalau dalam menyusun rencana strategis dan rencana kerja tidak inline dengan RPJP dan RPJM serta visi misi daerah yang telah dibuat, dicoret saja karena itu hanya menghabiskan anggaran,” imbuhnya.
Dedi Mulyadi datangi KPK sebagai bentuk permintaan untuk KPK dalam mengawal efektivitas anggaran daerah. Dia menargetkan lima tahun ke depan, seluruh alokasi pembiayaan pemprov Jabar bisa berdampak luas bagi kesejahteraan masyarakat, mulai dari pertumbuhan ekonomi, pendidikan, layanan kesehatan, hingga infrastruktur dari sektor pertanian.
“Kepentingan dasar warga Jawa Barat menjadi perhatian saya. Pertama yang menjadi kewajiban Pemprov Jabar adalah daya tampung sekolah menengah dan sekolah menengah kejuruan yang saat ini relatif masih rendah. Masih banyak warga yang belum bisa sekolah di sekolah pemerintah,” tutur Dedi.
“Sekolah swasta yang diakses masyarakat berpenghasilan rendah tentu menjadi beban ekonomi keluarga,” sambungnya.
Dedi menyoroti pentingnya mengubah budaya birokrasi dalam pengelolaan anggaran agar bisa lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dia menilai, korupsi tidak hanya terjadi secara struktural, tetapi juga secara kultural dimana praktik penggunaan anggaran tidak mencerminkan kepentingan publik.