TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sebanyak 66 asosiasi pengemudi transportasi online atau driver ojol (ojek online) menemui Komisi V DPR dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), Rabu (21/5/2025).
Rapat dipimpin Ketua Komisi V DPR Lasarus dihadiri 25 anggota DPR dari 7 fraksi.
"Ada 66 asosiasi yang kami undang, yang datanya masuk dari berbagai pihak, sengaja tidak ada satupun yang kami tinggalkan," kata Lasarus di Gedung DPR, Senayan, Jakarta.
Lasarus menyebut RDPU hari ini untuk menyerap aspirasi dari para pengemudi ojol, yang Selasa (20/5/2025) kemarin melakukan demo besar-besaran.
Satu di antaranya mengenai potongan aplikator yang terlalu besar, dan hubungan kerja antara pengemudi ojol dan perusahaan.
"Bapak ibu sekalian, rapat dengar pendapat umum hari ini adalah sebagai bentuk kami menyikapi apa yang berkembang di teman-teman angkutan online yang kemarin juga sudah menyampaikan aspirasinya terkait beberapa hal," ujar Lasarus.
Aturan mengenai potongan biaya layanan itu diatur dalam Keputusan Menteri Perhubungan (Kepmen) Nomor 1001 tertanggal 22 November 2022.
Di Kepmen tersebut ada dua jenis komponen yang terdiri dari biaya tidak langsung berupa biaya sewa penggunaan aplikasi paling tinggi 15 persen dan biaya penunjang 5 persen.
Namun demikian, para driver ojol mengaku potongan biaya aplikasi yang dibebankan aplikator jauh lebih besar dari ketetapan yang disampaikan.
Anggota Komisi V DPR RI Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) Adian Napitupulu, meminta pihak aplikator penyedia jasa transportasi online untuk diaudit.
Hal itu disampaikan Adian dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama 66 asosiasi driver online, pada Rabu (21/5/2025).
Awalnya, ia mengkritik praktik pemotongan pendapatan driver oleh perusahaan aplikator.
Adian mempertanyakan besarnya potongan yang dikenakan aplikator, baik kepada driver maupun konsumen.
“Misalnya mereka dapat order 30 ribu rupiah, lalu dipotonglah 30 persen, 40 persen, 50 persen untuk aplikator dari nilai order itu. Ada nggak potongan lain? Ada. Tapi bukan dari mereka. Tapi dari konsumen. Itu namanya biaya layanan dan biaya aplikasi,” kata Adian, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta.
Adian mengatakan, jika ditotal, biaya layanan dan aplikasi bisa mencapai lebih dari Rp10.000 per transaksi.
Ia juga mempertanyakan dasar hukum dari pemungutan biaya-biaya tersebut.
“Dasar hukum ini apa? Dasar hukum 20 persen? Ada. Tapi dasar hukum ini apa? Rp 15.300. Dari tagihan Rp 36 ribu. Ini dari konsumen. Dari pemesan diambil sekian, dari driver diambil sekian. Gitu loh,” ujarnya
Ia bahkan memperkirakan, dengan jumlah pengguna dan order yang sangat besar, aplikator bisa meraup pendapatan hingga Rp 92 miliar per hari.
“Kalau kemudian misalnya dari driver dia dapat 10 ribu rupiah. Per orderan. Lalu dari konsumen dia dapat 10 ribu rupiah. Kita kalikan dengan jumlah driver mereka, dan jumlah mercana mereka 4,2, berarti mereka dapatkan paling tidak 92 miliar per hari,” ucapnya.
Lebih lanjut, Adian menyinggung model bisnis di negara lain, seperti India, di mana tidak ada lagi sistem potongan, melainkan sistem langganan aplikasi bagi para driver.
“Yang ada driver berlangganan aplikasi. Seperti kita berlangganan berita Tempo, berlangganan berita Kompas. Nah, potongan langganan ini berlaku tetap. Nah itulah nanti masa depan driver online hubungannya dan aplikasi, sangat logis,” ujarnya.
Adian menegaskan bahwa berbagai potongan dan biaya yang diterapkan aplikator harus dievaluasi.
Dia menyebut, beberapa di antaranya bahkan tidak memiliki dasar hukum.
“Biaya ini semua ada nih. Biaya layanan dan biaya jasa dan aplikasi. Ini langsung ke aplikator. Rp12.000, Rp10.000. Dan lebih menyakitkan, biaya ini tidak punya dasar hukum sama sekali,” ucapnya.
Adian juga menyoroti praktik 'slot’ ‘aceng', yaitu sistem algoritma yang mengatur siapa yang mendapat order berdasarkan pembayaran tambahan yang dilakukan driver.
Sebab itu dia meminta audit pihak aplikator.
“Untuk dapat order, mereka bayar lagi Rp20.000 per hari. Sudah mereka dapat bayar Rp20.000 per hari, lalu konsumen memesan, dipotong lagi. Persentasinya 20 persen minimal sampai 50 persen. Pernah tidak kita lakukan audit investigatif untuk keuangan ini?” ucap Adian.
Adian melihat, kondisi tersebut sangat merugikan driver online dan menciptakan praktik yang tidak adil.
Sebab itu, Adian meminta agar praktik-praktik seperti ini menjadi perhatian serius dan segera dibahas secara menyeluruh dalam regulasi mendatang.
“Mereka bayar untuk dapatkan order prioritas. Di luar potongan. Kejam sekali pimpinan,” pungkasnya.
Komisi V DPR RI menjadwalkan pemanggilan Menteri Perhubungan (Menhub) Dudy Purwagandhi pada Senin, 26 Mei 2025, untuk meminta klarifikasi terkait potongan biaya oleh aplikator ojek online (ojol) yang disebut-sebut melebihi 20 persen.
Pemanggilan ini menjadi respons atas keluhan sejumlah asosiasi pengemudi ojol dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang digelar Komisi V DPR bersama 66 asosiasi pengemudi pada Rabu (21/5/2025) di Gedung DPR, Jakarta.
Dalam forum tersebut, anggota Komisi V DPR RI dari Fraksi PKS, Reni Astuti, secara tegas mengusulkan agar Menhub dipanggil guna menjelaskan kejanggalan penerapan potongan biaya oleh aplikator yang dinilai tidak sesuai dengan ketentuan resmi.
"Saya usul konkret Pak Ketua, karena tadi ada SK Perhubungan Nomor 1001 yang tadi sudah dijelaskan baik itu roda dua maupun roda empat. Saya usul konkret hari Senin mengundang Kemenhub untuk menyampaikan apa-apa yang tadi sudah disampaikan," kata Reni.
Merespons usulan tersebut, Ketua Komisi V DPR Lasarus menyatakan bahwa pihaknya akan mengonfirmasi jadwal pemanggilan Menhub dalam dua hari ke depan. Ia memastikan pemanggilan dijadwalkan hari Senin, meski belum bisa memastikan apakah pihak aplikator juga akan turut dipanggil dalam rapat yang sama.
"Pemanggilan Menhub kami upayakan, nanti diskusikan dengan pimpinan. Hari kami sudah sepakat, hari Senin akan kita panggil," ujar Lasarus.
Salah satu poin yang menjadi sorotan adalah pelanggaran terhadap Keputusan Menteri Perhubungan (KP) Nomor 1001 Tahun 2022 yang mengatur batas maksimal potongan biaya tidak langsung sebesar 15 persen dan biaya penunjang 5 persen, atau total 20 persen.
Namun kenyataannya, Ketua Umum Asosiasi Pengemudi Ojol Garda Indonesia, Raden Igun Wicaksono, menyebut bahwa pemotongan yang dilakukan aplikator bisa mencapai hampir 50 persen.
"Detik ini mereka masih memotong lebih dari 20 persen hingga hampir 50 persen. Sepanjang itu, 365 hari dikali 3 tahun, sudah berapa triliun uang mereka ambil dari rekan-rekan kami roda dua," kata Igun.
Ia menilai kondisi ini sangat merugikan para pengemudi yang bekerja penuh waktu dan bergantung pada penghasilan harian dari layanan transportasi berbasis aplikasi. Igun menuntut agar skema pembagian biaya dikaji ulang dan lebih adil bagi para mitra pengemudi.
"Mereka sudah ngambil dari kami sebanyak itu, Pak. Sekarang saatnya kami menagih. Kami hanya minta bagian mereka cukup 10 persen saja, bagian kami 90 persen," pungkasnya.
Isu potongan berlebih dari aplikator ojol menjadi sorotan publik dan DPR, karena menyangkut kesejahteraan jutaan mitra pengemudi di Indonesia yang selama ini tidak memiliki posisi tawar kuat terhadap kebijakan platform digital.
Pemanggilan Menhub diharapkan menjadi momentum penataan ulang sistem kemitraan transportasi online di Tanah Air.