Pemimpin Oposisi Israel: Netanyahu Jadikan Pembunuhan Anak-Anak di Gaza sebagai Hobi
Febri Prasetyo May 22, 2025 02:31 AM

TRIBUNNEWS.COM - Pemimpin oposisi Israel, Yair Golan, melontarkan kritik pedas terhadap pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu atas serangan brutal di Gaza.

Dalam konferensi pers pada Selasa (20/5/2025), Golan menyebut pembunuhan anak-anak oleh pemerintah seolah telah menjadi "hobi".

"Negara yang waras tidak membunuh anak-anak sebagai hobi dan tidak berperang melawan warga sipil," kata Golan dalam wawancara dengan penyiar publik Israel, KAN.

Ia menambahkan kritiknya ditujukan pada pemerintah, bukan kepada militer.

Golan adalah mantan Wakil Kepala Staf Angkatan Darat Israel. Golan kini memimpin Partai Demokrat Israel.

Dia mengatakan bahwa perang di Gaza awalnya merupakan respons sah atas serangan Hamas pada Oktober 2023.

Akan tetapi, menurutnya, konflik tersebut kini kehilangan arah di bawah kepemimpinan Netanyahu.

"Apa yang awalnya merupakan perang untuk memulihkan keamanan dan membebaskan para sandera, kini telah berubah menjadi perang tanpa tujuan nasional," ujarnya.

Berdasarkan data otoritas Israel, sekitar 58 sandera masih ditahan di Gaza, termasuk 20 orang yang diyakini masih hidup.

Golan mengatakan para sandera tersebut bisa saja dibebaskan melalui kesepakatan komprehensif sejak lama.

Ia juga menuduh Netanyahu memperpanjang perang demi mempertahankan kekuasaan dan untuk memenuhi tuntutan faksi sayap kanan dalam koalisinya.

"Ini bukan perang untuk melenyapkan Hamas," kata Golan.

"Itu seharusnya dimulai sejak lama dengan membangun pemerintahan alternatif untuk menggantikannya."

Saat menanggapi serangan balik terhadap dirinya, Golan menyebut adanya "mesin racun".

Istilah mesin racun sendiri merujuk pada kampanye intimidasi dari kelompok pro-pemerintah terhadap para pengkritik.

"Saya tidak takut pada mesin racun, atau intimidasi yang ingin membungkam siapa pun yang menyuarakan kebenaran," tegasnya.

Ia menyerukan kepada partai-partai oposisi untuk bersatu demi mengakhiri perang dan membawa pulang para sandera.

“Jika Anda peduli dengan tentara, jangan bekerja sama dengan mesin racun. Sekaranglah saatnya untuk bersatu dan menyelamatkan negara ini,” ujar Golan.

Blokade Israel terhadap Gaza telah berlangsung selama 18 tahun.

Akibat perang yang berlarut-larut, sekitar 1,5 juta warga Palestina kini kehilangan tempat tinggal, dari total populasi 2,4 juta jiwa.

Wilayah tersebut menghadapi bencana kelaparan akut karena ribuan truk bantuan tidak bisa masuk akibat penutupan perbatasan oleh Israel.

Menurut laporan Middle East Monitor, sejak Oktober 2023, lebih dari 53.600 warga Palestina tewas dalam serangan Israel, mayoritas adalah wanita dan anak-anak.

Mahkamah Pidana Internasional (ICC) pada November lalu mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza.

Israel juga menghadapi kasus genosida yang sedang berjalan di Mahkamah Internasional (ICJ).

Paus Minta Israel Izinkan Bantuan Kemanusiaan Masuk ke Gaza

Dalam perkembangan lain mengenai perang Israel-Hamas di Gaza, Paus Leo mendesak Israel agar mengizinkan bantuan kemanusiaan masuk ke Gaza.

Ia menyebut situasi di wilayah kantong Palestina itu semakin mengkhawatirkan dan menyedihkan.

Dalam audiensi umum mingguan di Lapangan Santo Petrus, Paus menyampaikan permohonan agar akses bantuan kemanusiaan diperbolehkan secara adil.

Dikutip dari Al Jazeera,  Paus Leo juga menyerukan diakhirinya permusuhan yang menyebabkan penderitaan besar, terutama bagi anak-anak, orang tua, dan pasien sakit.

Pernyataan ini disampaikan di tengah krisis kemanusiaan yang memburuk di Gaza akibat blokade dan konflik yang sedang berlangsung.

Seruan Paus mendapat perhatian luas dari komunitas internasional yang terus memantau situasi di wilayah tersebut.

Tim Medis di Gaza Selatan Berjuang di Tengah Menipisnya Persediaan Medis

Tim medis di Rumah Sakit Bersalin al-Tahreer, Gaza selatan, menghadapi tantangan berat akibat kekurangan pasokan medis.

Ahmed al-Farra, direktur pediatri dan kebidanan di rumah sakit tersebut, mengatakan mereka harus terus berjuang setelah Rumah Sakit Eropa di Gaza selatan hancur akibat serangan Israel.

“Kompleks Medis Nasser sangat padat karena Rumah Sakit Eropa hancur total dan tidak ada pasien yang bisa dirawat di sana,” ujar al-Farra kepada Al Jazeera.

Meski situasi sulit, tim medis tetap bertekad melanjutkan tugas mereka.

Merawat pasien kritis, terutama anak-anak, menjadi semakin sulit seiring menipisnya pasokan.

“Tidak ada pasokan medis yang sampai ke rumah sakit,” katanya.

Ia menambahkan Gaza membutuhkan hampir 500 truk pasokan setiap hari untuk mengatasi krisis ini.

“Kita menghadapi banyak penyakit akibat kekurangan gizi, makanan, susu, dan pasokan medis,” tegas al-Farra.

(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.