Oleh: Lia Yulianti
Manajer Produksi Materi Pelajaran GO
TRIBUNNEWS.COM - Dalam beberapa tahun terakhir, pelaksanaan UTBK-SNBT mengalami berbagai penyesuaian, khususnya pada penguatan aspek literasi.
Satu di antara yang kini menjadi perhatian adalah perbedaan antara Literasi Bahasa Indonesia dan Literasi dalam Bahasa Indonesia yang kerap menimbulkan kebingungan.
Memahami perbedaan keduanya bukan hanya penting secara konseptual, melainkan juga strategis dalam mempersiapkan diri menghadapi soal-soal UTBK-SNBT.
Jika masih mengira soal Bahasa Indonesia di UTBK-SNBT hanya sebatas kaidah tata bahasa, sinonim-antonim, atau kalimat efektif, Anda perlu duduk sejenak dan membaca ulang peta ujian seleksi masuk perguruan tinggi hari ini.
Ujian Tulis Berbasis Komputer Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (UTBK-SNBT) telah berevolusi menjadi lebih dari sekadar ujian akademik.
Sejak 2023, pengujian literasi dalam Bahasa Indonesia tidak lagi sekadar menguji tata bahasa dan struktur kalimat, tetapi telah bergeser menjadi medan uji kemampuan berpikir kritis, memahami informasi, dan bernalar terhadap teks dari berbagai bidang.
Perubahan ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apa sebenarnya beda antara Literasi Bahasa Indonesia dengan Literasi dalam Bahasa Indonesia?
Sejak SD, kita diajarkan Bahasa Indonesia sebagai pelajaran yang penuh aturan, yaitu ejaan yang benar, struktur kalimat, majas, dan jenis paragraf.
Hal inilah yang dikenal sebagai Literasi Bahasa Indonesia, yaitu pemahaman teknis terhadap bahasa sebagai alat komunikasi.
Menurut OECD (2019), literasi membaca dalam konteks asesmen, seperti PISA, didefinisikan sebagai "kemampuan memahami, menggunakan, mengevaluasi, merefleksikan teks tertulis untuk mencapai tujuan, mengembangkan pengetahuan dan potensi pribadi, serta berpartisipasi dalam masyarakat." (the capacity to understand, use, evaluate, reflect on and engage with texts…).
Definisi ini lebih mendekati Literasi dalam Bahasa Indonesia daripada sekadar Literasi Bahasa Indonesia.
Literasi Bahasa Indonesia mengacu pada keterampilan kebahasaan secara struktural dan teknikal dalam Bahasa Indonesia.
Hal ini mencakup kemampuan teknis dalam menggunakan Bahasa Indonesia, termasuk pemahaman terhadap ejaan, diksi, morfologi, sintaksis, dan semantik.
Dalam konteks ini, siswa dituntut memahami bahasa Indonesia sebagai sistem komunikasi yang baku dan ilmiah.
Sementara itu, Literasi dalam Bahasa Indonesia adalah kemampuan memahami, menafsirkan, dan mengevaluasi teks dari berbagai genre yang disajikan dalam bahasa Indonesia, tanpa terbatas pada bidang kajian bahasa.
Fokusnya bukan pada kebahasaan, melainkan pada pemahaman isi dan makna teks, baik naratif, ekspositori, argumentatif, maupun literatur ilmiah populer.
Literasi dalam Bahasa Indonesia dapat melibatkan teks bertema Fisika, Kimia, Biologi, Ekonomi, dan lainnya, selama teks tersebut berbahasa Indonesia.
Dengan kata lain, /Literasi Bahasa Indonesia adalah tentang bagaimana bahasa digunakan, sedangkan Literasi dalam Bahasa Indonesia adalah tentang apa yang disampaikan melalui bahasa tersebut.
UTBK-SNBT kini tidak lagi menguji sekadar kemampuan gramatikal dalam Bahasa Indonesia.
Soal-soal yang muncul dalam tes Literasi dalam Bahasa Indonesia lebih menekankan pada pemahaman wacana, berpikir kritis, dan menilai informasi berbasis teks.
Bayangkan Anda sedang membaca teks tentang resistansi antibiotik, lalu diminta menyimpulkan bagaimana persebaran bakteri memengaruhi sistem kesehatan global.
Atau Anda membaca artikel tentang inflasi dan daya beli masyarakat lalu diminta mengidentifikasi sudut pandang penulis terhadap kebijakan fiskal.
Bahkan, Anda diminta memilih opsi kandungan mineral yang terkandung pada yoghurt yang dituliskan dengan lambang-lambang unsur kimia, sedangkan pada teks tidak tersurat lambang-lambang yang tertera pada opsi.
Inilah bentuk-bentuk soal Literasi dalam Bahasa Indonesia yang saat ini hadir di UTBK.
Beberapa ciri khas soal-soal tersebut antara lain:
1. Opsi jawaban yang mirip dan memerlukan penalaran mendalam.
2. Pertanyaan tidak langsung, seperti inferensi, implikasi, atau pendapat tersirat.
3. Soal evaluatif seperti "pernyataan manakah yang tidak sesuai dengan isi teks?" atau "apa implikasi dari pernyataan penulis?"
4. Opsi jawaban yang sangat mirip, membuat strategi eliminasi jadi tak semudah biasanya
5. Teks panjang (400–800 kata) dari berbagai genre: artikel opini, berita, laporan hasil penelitian, fabel, hingga kutipan ceramah ilmiah.
6. Tingkat keterbacaan tinggi, dengan topik lintas ilmu
"Awalnya saya pikir ini cuma soal bahasa biasa. Tapi ternyata banyak yang topiknya kayak IPA atau IPS. Kita harus ngerti isi artikelnya dulu baru bisa jawab," ujar salah satu siswa peserta UTBK-SNBT yang lalu.
"Kadang teksnya tentang sains, tapi ditanya soal sudut pandang penulis atau kesimpulan tersirat. Kita harus ngerti isi sekaligus gaya penyampaiannya," ujar siswa kelas 12 di Bandung yang mengikuti UTBK-SNBT.
Untuk menaklukkan soal jenis ini, siswa butuh lebih dari sekadar hafalan rumus bahasa. Dibutuhkan strategi menyeluruh:
1. Baca Beragam Teks dari Sumber Tepercaya
Latih diri dengan membaca artikel dari berbagai bidang ilmu. Hal ini dapat membantu membiasakan diri dengan ragam wacana dan struktur informasi.
2. Analisis Struktur Teks
Identifikasi ide pokok, argumen, dan kesimpulan dalam teks.
Apakah penulis sedang menjelaskan, membujuk, mengkritik, atau sekadar menyampaikan opini? Ini kunci untuk menjawab soal evaluatif.
3. Latih Kemampuan Inferensi
Banyak pertanyaan UTBK tidak menanyakan apa yang tertulis, tetapi apa yang disiratkan.
Ini hanya bisa dilatih dengan pembacaan reflektif dan diskusi.
4. Jaga Tempo dan Fokus
Teknik skimming dan scanning tetap penting. Jangan habiskan waktu terlalu lama pada satu paragraf.
Ambil inti bacaan lalu baca ulang bagian penting saat menjawab soal.
Latihlah membaca cepat dan efektif untuk memahami teks panjang dalam waktu terbatas.
Ujian Literasi dalam Bahasa Indonesia sejatinya mencerminkan tantangan nyata abad ke-21, di mana siswa tak hanya dituntut menguasai bahasa, tapi juga menjadi pembaca kritis dan penalar informasi.
Dalam konteks UTBK-SNBT, hal ini berarti siswa harus luwes berpindah dari teks fiksi ke sains, dari sejarah ke opini, dan dari fakta ke tafsir.
Menguasai Literasi dalam Bahasa Indonesia bukan sekadar soal kelulusan UTBK-SNBT, melainkan juga fondasi berpikir jernih dan komunikatif.
Generasi muda Indonesia tidak cukup hanya piawai berbahasa, tetapi juga harus mampu menyerap, memilah, dan menilai informasi dalam konteks yang relevan dan bermakna.
Di baliknya, ada harapan agar generasi muda Indonesia tumbuh sebagai pembaca kritis, penalar objektif, dan warga digital yang bijak.
Dalam dunia yang penuh suara, siapa yang mampu membaca dengan benar adalah mereka yang akan didengar.
Maka dari itu, pengajaran dan pembelajaran literasi di sekolah perlu difokuskan pada pendekatan berbasis teks dan berpikir kritis, bukan hanya penghafalan kaidah bahasa.
Di sinilah peran guru, orang tua, dan kebijakan pendidikan menjadi krusial dalam membentuk masa depan generasi literat. (*)