Tribunjogja.com Jogja- Moratorium atau penangguhan pembangunan hotel di kawasan inti sumbu filosofi ditetapkan Pemkot Yogyakarta.
Berbeda dari aturan sebelumnya, moratorium yang dicanangkan eksekutif ini berlaku untuk seluruh tingkatan, termasuk penginapan bintang empat dan lima.
Wali Kota Yogyakarta, Hasto Wardoyo, mengatakan, selaras hasil kajian, ketersediaan hotel di sepanjang core zone sumbu filosofi dianggap sudah mencukupi.
Oleh sebab itu, ia menegaskan, mau tidak mau, moratorium hotel menjadi sebuah mandatori yang harus dilaksanakan oleh Pemkot Yogyakarta.
"Kajian sementara (hotel di core zone sumbu filosofi) sudah cukup. Sehingga, moraturium itu hampir pasti saya tetapkan ya," tandasnya, Rabu (21/5/2025).
"Sudah saya sampaikan juga kepada teman-teman perhotelan, supaya mereka jangan punya keinginan untuk membangun di core zone ini," urai Hasto.
Selaras rencana, penangguhan pembangunan hotel bakal tercakup dalam Perwal (Peraturan Wali Kota) Tentang Pengelolaan Sumbu Filosofi yang tengah disusun.
Menurutnya, Pemkot Yogyakarta pun sudah berdiskusi dengan Kraton Ngayogyakarta dan Pemda DIY dalam merealisasikan payung hukum tersebut.
"Kalimatnya moraturium ya, melarang sementara itu. Jadi, kalau untuk pelarangan (penuh) masih harus menunggu kajian," urai Hasto.
Dijelaskan, moratorium ini semakin melengkapi aturan kompleks mengenai pembangunan gedung di kawasan inti sumbu filosofi, salah satunya soal ketinggian.
Namun, berbeda dengan moratorium yang istilahnya hanya bersifat sementara, aturan soal ketinggian bangunan tersebut mutlak permanen.
"Moratorium untuk semua bintang. Kalau tinggi bangunan kan sudah diatur, itu bukan moratorium. Nanti boleh lebih tinggi, kan nggak mungkin," terangnya.
Proyeksi moratorium hotel di core zone sumbu filosofi mendapat dukungan dari Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY, Deddy Pranowo Eryono.
Bukan tanpa alasan, dengan pembatasan pembangunan hotel baru di pusat Kota Yogya, pemerataan tingkat hunian pun diharapkan bisa terjadi.
"Makanya, kami mendukung penuh kebijakan Wali Kota Yogyakarta ini, karena harapan kami pemerataan okupansi terjadi di DIY," pungkasnya.
Pembangunan Kota Yogyakarta oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I memiliki landasan filosofi tinggi.
Mengutip visitingjogja.jogjaprov.go.id, menata Kota Yogyakarta membentang arah utara-selatan dengan membangun Keraton Yogyakarta sebagai titik pusatnya.
Sri Sultan Hamengku Buwono I mendirikan Tugu Golong Gilig atau Tugu Pal Putih, di sisi utara Keraton Yogyakarta. Tugu inilah yang sekarang dikenal sebagai Tugu Jogja.
Adapun di sisi selatan Keraton Yogyakarta dibangun pula Panggung Krapyak.
Dari ketiga titik tersebut, yakni Tugu Golong Gilig, Keraton Yogyakarta, dan Panggung Krapyak, apabila ditarik suatu garis lurus, akan membentuk sumbu imajiner yang dikenal sebagai Sumbu Filosofi Yogyakarta.
Sumbu imajiner ini juga menghubungkan Gunung Merapi, Tugu Golong Gilig, Keraton Yogyakarta, Panggung Krapyak, dan Laut Selatan.
Secara garis besar, arti Sumbu Filosofi Yogyakarta adalah lambang keselarasan dan keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhan (Hablun min Allah), manusia dengan manusia (Hablun min Annas), dan manusia dengan alam.
Keselarasan hubungan manusia dengan alam termasuk lima komponen pembentuknya, yakni api (dahana) dari Gunung Merapi, tanah (bantala) dari bumi Ngayogyakarta, air (tirta) dari Laut Selatan, angin (maruta), serta akasa (ether).
Pada 18 September 2023, Badan PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO) menetapkan Sumbu Filosofi Yogyakarta sebagai warisan budaya dunia.
Penetapan tersebut dilakukan dalam Sidang Luar Biasa ke-45 Komite Warisan Dunia di Arab Saudi. (Aka/Anr)