BANJARMASINPOST.CO.ID - Kerusuhan 23 Mei 1997 atau dikenal Jumat Kelabu di Banjarmasin hingga kini memang masih menyisakan trauma sekaligus tanda tanya.
Bagi dosen Program Studi Pendidikan Sejarah di Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin, Mansyur, S.Pd, M.Hum, kerusuhan yang terjadi hampir tiga dekade tersebut, merupakan dosa sejarah.
Tentunya ini bukan hanya pembelajaran dari segi bagaimana sejarah sebagai sebuah kausalitas, bagaimana sejarah sebuah perbincangan antara masa lalu dan masa kini, tetapi yang cukup penting, adalah bagaimana mengantisipasi dampaknya ketika masih ada hingga saat ini.
Peristiwa Jumat Kelabu, sebenarnya adalah sebuah peristiwa politik yang tidak hanya bisa dilihat dari kacamata, bahwa itu peristiwa biasa. Namun, peristiwa tanggal 23 Mei itu adalah semua cerminan bahwa disitu ada perlawanan masyarakat.
Dimana posisi-posisi dari partai politik, belum bisa menjadi jembatan penghubung yang baik antara aspirasi di masyarakat dengan pemerintah.
Berdasar rentetan peristiwa yang terjadi saat itu, Mitra Plaza yang dibangun sekitar tahun 1990-an, menjadi titik akhir dari kerusuhan saat itu.
Dari beberapa kantor, terutama Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), sekitar puluhan kantor di sekitar Jalan Lambung Mangkurat, kemudian pusat-pusat perbelanjaan, terutama di kawasan Simpang Empat Jalan Lambung Mangkurat yang terdampak dari kerusuhan tersebut.
YLBHI juga mencatat 123 orang meninggal dunia, 118 luka-luka dan 179 hilang. Hampir sekitar 500 orang terdampak, baik meninggal, hilang maupun luka-luka.
Hingga saat ini masih belum jelas atau simpang siur, faktor pemicu kerusuhan 23 Mei 1997. Banyak dugaan dan itu bukan hanya dari faktor adanya kampanye partai politik, akan tetapi adanya faktor-faktor lain, misalnya kecemburuan ekonomi.
“Sebab di era tersebut, ikon-ikon pembangunan di Banjarmasin itu ada di area sekitar Jalan Tosari dan Lambung Mangkurat. Terdapat gedung megah, tetap dibaliknya itu banyak masyarakat miskin yang tentunya mengalami banyak sekali krisis, misal 97 ada krisis air bersih, kebakaran yang tercatat sejak Januari – Mei terjadi kebakaran besar. Namun, disikapi lambat oleh pemerintah, kala itu,” bebernya.
“Banyak menduga ini, protes masyarakat terhadap ke pemerintah, karena aspirasinya dari masyarakat tidak bisa dilaksanakan oleh pemerintah,” tambahnya.
Partai Politik yang ada pun, seakan-akan enggan menyuarakan aspirasi itu, jadi banyak include di hal ini.
Sampai sekarang, belum diketahui siapa sebenarnya dalang utama kerusuhan? Yang ada hanya melihat bukti monumentalnya, adanya makam dari orang-orang hilang, kemudian makam dianggap perusuh, tidak diketahui bentuknya.
“Ini menandakan pemerintah tidak boleh menghapus catatan sejarah ini, dalam dinamika sejarah di Kota Banjarmasin, kemudian jangan sampai peristiwa 27 Mei menguap begitu saja. Perlu ditelusuri sejarahnya,” tegasnya.(ady)