Aktivis Peringati Tragedi Jumat Kelabu di Banjarmasin,  Duka Itu Masih Dirasakan Hilmi
Hari Widodo May 23, 2025 07:56 AM

BANJARMASINPOST.CO.ID - Hari ini tepat 28 tahun yang lalu, Kota Banjarmasin dilanda kerusuhan hebat yang banyak menelan korban jiwa. Peristiwa mengerikan pada 23 Mei yang dikenal dengan sebutan Jumat Kelabu, meninggalkan duka bagi warga dan keluarga korban, serta kerugian materi dengan jumlah yang tidak sedikit.

Duka dan kenangan pahit itu juga dirasakan Hilmi. “Sisa saya di sini yang benar-benar tahu insiden tersebut, yang lain sudah meninggal dan banyak orang-orang baru,” kata Hilmi mengawali perbincangan, Kamis (22/5/2025).

Hilmi (68), seorang tukang service jam tangan di area Masjid Noor, Banjarmasin, dengan runut memberikan kesaksiannya.

 “Orang masih salat, masih ngegas-ngegas (motor) setelah selesai salat, terus jemaah langsung menyerang buhan motor (anggota motor),” kenang Hilmi, menggambarkan kengerian yang terjadi.

Hilmi mengatakan, saat itu situasi dengan cepat memburuk. Manusia entah dari mana asalnya bermunculan, bahkan banyak dari mereka yang memegang celurit.

Hilmi menceritakan kesaksiannya dengan mata berbinar.

“Manusia dari mana-mana timbul banyak banar, celurit dipegangnya” ujar Hilmi.

Kekacauan itu, tambahnya, berlangsung hingga malam hari. Hilmi, yang sudah berkeluarga dengan satu anak dan berusia sekitar 40-an saat kejadian, langsung menutup rukonya dan bergegas pulang ke rumahnya di Pekapuran dengan sepeda ontelnya.

Keesokan harinya pascakejadian, suasana di sekitar lokasi kejadian terasa sepi seperti kota mati.

Hilmi mengatakan saat itu hanya terlihat petugas Brimob, polisi, dan TNI yang berjaga, menunjukkan skala kerusakan dan upaya pengamanan pascainsiden.

“Banyak sekali teman saya yang meninggal karena mereka ikut-ikutan. Saya sudah lama bekerja sebagai tukang service jam tangan, kurang lebih 35 tahun. Kalau melihat jam-jam ini saya terkenang dan sedih rasa mencekam,” tutur Hilmi dengan nada sedih.

Terpisah, mengingatkan peristiwa yang dinilai tak terungkap tuntas ini, kemarin sejumlah aktivis dari berbagai elemen masyarakat hadir di Bundaran Kantor Pos, Jalan Lambung Mangkurat, Banjarmasin.

Mereka menggelar aksi Kamisan Kalsel ke-70 sebagai bentuk peringatan terhadap peristiwa kelam tersebut di depan Hotel A, yang juga menjadi saksi bisu Jumat Kelabu.

Sambil membawa pengeras suara dan kertas bertuliskan berbagai pernyataan sikap, para peserta aksi berdiri berjejer, berkumpul di tengah lalu-lalang kendaraan.

Salah satu peserta aksi, M Khafi, menegaskan bahwa Aksi Kamisan kali ini bukan sekadar rutinitas tahunan, melainkan perlawanan terhadap pembiaran dan pengaburan sejarah yang dilakukan negara.

 “Hari ini kami berdiri sebagai bentuk perlawanan terhadap luka dan pembiaran kasus Tragedi Jumat Kelabu 1997 silam. Kota ini pernah menjadi ladang kekerasan, tapi sampai sekarang belum ada pertanggungjawaban yang jelas. Tidak ada satupun pelaku yang diadili,” tegas Khafi.

Adanya dugaan pembiaran juga disampaikan Hairus Salim, penulis buku Amuk Banjarmasin. Dihubungi via telepon, Hairus Salim membeberkan tentang buku yang ditulisnya bersama Andi Achdian tersebut.

Disampaikannya, niat awal bukan untuk menulis buku, tetapi Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), saat itu, Bambang Widjojanto mencari orang untuk melakukan investigasi ke Banjarmasin.

 “Terpilihlah saya di Yogyakarta yang kebetulan orang Banjar bersama Andi Ahcdian,” terangnya, Kamis.

Waktu itu, tambahnya, setelah tiga hari keliling, ketemu banyak orang.

 “YLBHI ingin mencari tahu apakah ada pelanggaran HAM atau tidak. Tiga hari kemudian menyusul Munir (alm), kita ketemu dengan mahasiswa, korban, orangtua yang anaknya. Kita juga ketemu satu korban yang saat itu diamankan,” jelasnya.

Akhirnya dari sana, satu per satu data dan hasil wawancara dikonstruksi hingga YLBHI berkesimpulan ada pelanggaran HAM dalam konteks pembiaran.

“Negara ada kemungkinan membiarkan peristiwa itu, sebab banyak korban saat kejadian Jumat Kelabu ini. Kelihatannya malah aparat membiarkan,” tambahnya.

Lalu berdasar temuan-temuan tersebut Bambang Widjojanto ingin menyusunnya menjadi buku, sebuah dokumen agar bisa menjadi arsip dokumen, bahwa pernah terjadi peristiwa tersebut.

“Kenyataannya jadi arsip ya, mungkin satu-satunya arsip yang dalam bentuk buku, meskipun ada juga yang membikin dan ada banyak tim. Tapi banyak yang tidak jadi buku,” terangnya.

Sementara dari pantauan di makam korban 23 Mei di lahan milik Pemerintah Kota Banjarmasin, tampak ditumbuhi rumput rimbun dan ada bekas pembersihan.

Plang kayu ulin bertuliskan “Jumat Kelabu Makam Massal” masih menancap dengan kondisi kusam. Hanya itu yang menjadi penanda kuburan massal Jumat Kelabu.

Masih di areal makam massal korban Jumat Kelabu, terdapat beberapa nisan yang sengaja dipasang oleh pihak keluarga korban kerusuhan.

Bahkan beberapa nisan ada yang lengkap dengan identitas dan tanggal kematian.

Pengawas makam, Taufik mengatakan setiap tahun menjelang tanggal 23 Mei, pemakaman massal korban Jumat Kelabu tersebut rutin dilakukan pembersihan.(sai/ady/sul/riz)

 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.