TRIBUNJAKARTA.COM - Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi menanggapi santai kritik pedas pengamat politik Rocky Gerung.
Sebelumnya, Rocky Gerung menyebut visi Dedi Mulyadi sebagai pemimpin daerah provinsi dangkal.
Lalu pada Jumat (23/5/2025), Dedi Mulyadi memberikan tanggapan sambil tersenyum.
Berjalan di tengah hamparan sawah, Dedi Mulyadi mengaku tidak masalah disebut dangkal oleh Rocky Gerung.
"Saya memilih menjadi orang yang berpikiran dangkal namun melahirkan hamparan tanaman," kata Dedi Mulyadi.
"Daripada orang yang mengakui pikirannya dalam malah membuat banyak orang tenggelam,"
"Pagi semuanya kita hadapi berbagai kritik dengan senyuman,"
"Salam sehat bahagia selalu. Dengan melangkah hidup akan menjadi berkah," imbuhnya.
Rocky Gerung Sebut KDM Sama dengan Jokowi
Rocky Gerung, menganalisis fenomena politik dari Dedi Mulyadi dan Presiden ke-7 RI, Jokowi.
Dedi Mulyadi tengah menjadi sorotan dengan gaya blusukan mirip Jokowi.
Di media sosial, muncul anggapan yang menyamakan Dedi Mulyadi dan Jokowi dengan istilah 'Mulyono Jilid II' hingga 'Raja Sunda dan Raja Jawa'.
Menggunakan pisau bedah teori filsafat barat tahun1967 dari Guy Debord, Rocky bisa melihat kesamaan antara dua tokoh nasional itu.
Guy Debord menulis buku yang kemudian dikenal sebagai teori kritis beraliran Marxist berjudul 'The Society of the Spectacle'.
"Ada satu prinsip yang menerangkan bagaimana orang mengkonsumsi kedangkalan gitu, Society of the Spectacle, The Society of the Spectacle. Gimana bahasa Indonesianya, masyarakat yang doyan nonton kedangkalan," jelas Rocky.
Rocky menjelaskan, Jokowi dan Dedi Mulyadi sama-sama besar lewat intensitas kemunculannya di media.
Dengan citra kesederhanaan, keduanya merebut hati masyarakat yang menontonnya.
Menurut Rocky, apa yang dilakukan Dedi Mulyadi dan Jokowi bukanlah menjual visi, melainkan penampilan atau visualisasi.
"Jadi kita lagi menonton orang jualan komoditas yang namanya penampilan, apa istilah tadi, visualisasi bukan visi," papar Rocky.
"Tapi dalam politik orang mau ukur visualisasi itu demi apa kalau visinya dangkal," lanjutnya.
Rocky pun menyontohkan apa yang menurutnya dangkal dari Dedi Mulyadi dan Jokowi.
Bagi pria yang pernah menjadi dosen filsafat di Universitas Indonesia itu, program mengirim anak nakal ke barak militer adalah kedangkalan.
Sebab, pendidikan ala TNI tidak mengajak anak berpikir, melainkan hanya pendisiplinan tubuh.
"Barak itu didisiplinkan tubuhnya. Kalau kita belajar teori-teori disiplinary society oleh Michel Foucault misalnya, fungsi barak militer mendisiplinkan tubuh bukan mengajak orang berpikir," jelasnya.
Sedangkan,bagi Rocky, kedangkalan Jokowi adalah membiarkan IQ rata-rata masyarakat Indonesia tidak bergerak dari 78 selama 10 tahun kepemimpinannya.
"Hanya dalam masyarakat yang IQ-nya 78, kedangkalan itu laku. Dan kita masih di situ. Saya masih cari-cari datanya. WHO bilang, World Bank bilang memang masih 78. Anda lihat sekarang masih 78 IQ kita selama 10 tahun Pak Jokowi, 78 terus," ujar Rocky.
"Akibatnya apa, ya kedangkalan itu laku terus," imbuhnya.
Rocky menganggap, akibat dari IQ yang tidak bertambah, adalah langgengnya masyarakat yang suka menonton kedangkalan seperti teorinya Guy Debord.
Sehingga, setelah Jokowi atau yang belakangan dikenal dengan nama kecilnya, Mulyono, bisa terbit sosok Mulyadi, atau Dedi Mulyadi.
"Jadi kita mau coba lihat bahwa Mulyono-Mulyadi sama-sama beroperasi di dalam market of stupidity (pasar kebodohan)," pungkasnya.