TRIBUNJATENG.COM, SALATIGA - Tiga tim debat dari Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) sukses menorehkan tinta emas dalam ajang Lomba Debat Bahasa Indonesia Sociotopia 1.0 yang diselenggarakan oleh Universitas Negeri Padang, belum lama ini.
Melalui format British Parliamentary yang dikenal menuntut ketajaman analisis serta argumentasi logis, ketiga tim tampil gemilang, membuktikan kualitas nalar kritis dan komunikasi akademik mahasiswa UKSW di kancah nasional.
Tim pertama yang beranggotakan Gading Umbaran Gone Santosa dari Program Studi (Prodi) Teknik Informatika, Fakultas Teknologi Informasi (FTI) dan Chindyana dari Prodi Akuntansi, Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) berhasil mengukir prestasi sebagai Juara 2.
Tak hanya itu, Gading juga dinobatkan sebagai Best Speaker, sebuah pengakuan atas konsistensinya dalam membangun argumen yang tajam.
Tim kedua yang terdiri dari Hans Wilbert dari Prodi Ilmu Teologi, Fakultas Teologi dan Frenska Ryachel Paskalisa dari Prodi Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan sukses meraih Juara 4.
Sementara tim ketiga yang digawangi oleh Dwi Novita Sari dari Prodi Psikologi Fakultas Psikologi dan Nathan Janson Dawolo dari Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum berhasil menembus babak Semifinal.
“Kami semua cukup terkejut dengan capaian ini."
"Secara pribadi, saya bersyukur karena semua usaha dan perjuangan terasa sangat layak ketika akhirnya dapat berprestasi."
"Ini adalah pengalaman pertama saya mengikuti lomba debat bahasa Indonesia, bahkan secara luring pula."
"Rasa gugup awal justru berubah menjadi motivasi untuk tampil maksimal,” ungkap Gading, penuh refleksi.
Gading menyampaikan bahwa mereka ingin membuktikan bahwa siapa pun yang terlibat dalam dunia debat akan mengalami perkembangan, tidak hanya sebagai mahasiswa, tetapi juga sebagai manusia seutuhnya.
Ia menambahkan bahwa debat merupakan ruang belajar yang tak terbatas.
Menghadapi kompetisi yang diikuti 16 tim unggulan dari berbagai universitas ternama seperti Universitas Andalas, Universitas Sriwijaya, Universitas Lambung Mangkurat, hingga Universitas Muhammadiyah Malang, para delegasi UKSW menunjukkan ketangguhan baik dalam strategi argumentasi maupun kerja sama tim.
Kemenangan yang Bermakna
Hans Wilbert menambahkan bahwa Format British Parliamentary menuntut mereka untuk berpikir kritis dalam waktu singkat.
“Kami hanya diberi 15 menit untuk membangun argumen sebelum debat dimulai."
"Tantangan ini justru menjadi ruang pembelajaran yang sangat mendewasakan, bukan hanya secara intelektual, tapi juga secara emosional dan spiritual,” jelasnya.
Salah satu mosi yang dinilai paling menantang adalah pada babak final “Dewan ini akan menggantikan pemerintahan dengan magi.”
Mosi tersebut menuntut para debater untuk memadukan imajinasi konseptual dengan dasar logika yang kuat, menggambarkan dunia hipotesis yang dipimpin oleh entitas non-manusia.
“Bagi kami, rahasia kekompakan ada pada komunikasi yang terbuka dan saling percaya."
"Gaya berpikir kami berbeda, tapi justru itu yang membuat kami saling melengkapi."
"Kami rutin berdiskusi, latihan bersama, dan mendapat banyak dukungan dari komunitas debat kami di kampus, yaitu Satya Wacana Debating Forum (SWDF),” tambah Hans.
Hans menegaskan bahwa melalui kompetisi tersebut, mereka mempelajari banyak hal mulai dari bagaimana membangun kepercayaan diri secara logis, hingga bagaimana memaknai kemenangan sebagai bentuk kesaksian iman dan usaha bersama.
“Kami bersyukur atas dukungan dari Tuhan, keluarga, SWDF, dan seluruh pihak kampus yang telah memfasilitasi perjalanan kami,” tuturnya.
Semangat Tanpa Batas
Sementara itu, Dwi Novita Sari menuturkan bahwa prestasi ini menjadi pengingat bahwa dunia debat bukan hanya ruang kontestasi intelektual, namun juga wahana pembentukan karakter.
Soft skills seperti public speaking, kerja tim, manajemen emosi, hingga keberanian untuk tampil di hadapan publik menjadi aspek-aspek yang terasah secara alami.
“Prestasi ini menjadi simbol harapan."
"Kami ingin menunjukkan bahwa komunitas debat UKSW memiliki potensi besar dan mampu bersaing di panggung nasional."
"Ini adalah langkah penting dalam perjalanan kami untuk menjadi mahasiswa yang kompeten dan berdaya saing,” tutur Dwi Novita Sari.
Dukungan KBM SWDF terbukti menjadi landasan kokoh bagi tumbuhnya para debater muda UKSW.
Melalui berbagai sesi pelatihan intensif, sparring, serta pendampingan materi, para mahasiswa dibekali tidak hanya dengan retorika dan argumentasi, melainkan juga keberanian untuk berpikir kritis dan berbicara lugas.
Dalam waktu dekat, ketiga tim berencana untuk kembali turun gelanggang dalam kompetisi debat bergengsi seperti Kompetisi Debat Mahasiswa Indonesia (KDMI) dan National University Debating Championship (NUDC), hingga KODE dan Spring Open Debate di taraf internasional.
Semangat untuk terus mengasah diri dan membawa nama UKSW ke tingkat yang lebih tinggi.
Dengan pencapaian ini, UKSW menunjukkan bukti dukungannya dalam Sustainable Development Goals (SDGs) ke-4 pendidikan berkualitas.
Sebagai Perguruan Tinggi Swasta (PTS) terakreditasi Unggul, UKSW telah berdiri sejak 1956 dengan 15 fakultas dan 64 program studi di jenjang D3 hingga S3, dengan 28 Prodi Unggul dan A.
Terletak di Salatiga, UKSW dikenal dengan julukan Kampus Indonesia Mini, mencerminkan keragaman mahasiswanya yang berasal dari berbagai daerah.
Selain itu, UKSW juga dikenal sebagai "Creative Minority" yang berperan sebagai agen perubahan dan inspirasi bagi masyarakat.
Salam Satu Hati UKSW! (Laili S/***)