BAZNAS dan Pencegahan Penyalahgunaan Zakat
GH News May 24, 2025 05:06 PM

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Zakat merupakan instrumen penting dalam ajaran Islam yang berfungsi bukan hanya sebagai ibadah individual, tetapi juga sebagai mekanisme distribusi kekayaan yang berdampak langsung terhadap keadilan sosial. Dalam konteks Indonesia, pengelolaan zakat bukan sekadar urusan privat antara muzakki dan mustahik, melainkan bagian dari upaya kolektif untuk menjawab tantangan kemiskinan, ketimpangan, dan kerentanan sosial. Oleh karena itu, peran negara dalam memastikan bahwa zakat dikelola secara benar dan bertanggung jawab menjadi sangat relevan, bukan hanya dari sisi normatif, tetapi juga strategis.

Sejarah Islam menunjukkan bahwa sejak masa Rasulullah SAW, zakat merupakan bagian dari tata kelola publik. Pengumpulan dan pendistribusian zakat dilaksanakan oleh aparat negara yang ditunjuk secara langsung, dan praktik ini berlanjut pada masa para khalifah. Dalam pandangan fikih klasik, seperti yang dikemukakan oleh ulama seperti Ibnu Qosim, amil zakat sebaiknya diangkat oleh pemimpin negara agar pengelolaannya berjalan tertib dan adil. Dalam konteks modern, prinsip ini diakomodasi oleh negara melalui pembentukan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.

BAZNAS hadir sebagai lembaga pemerintah nonstruktural yang diberi mandat untuk mengelola zakat secara nasional. Lembaga ini bertanggung jawab langsung kepada Presiden dan berfungsi sebagai simpul koordinasi, fasilitator, dan pengawas dalam tata kelola zakat, infak, dan sedekah. Meskipun membawa nama negara, struktur BAZNAS tetap mencerminkan partisipasi masyarakat, dengan mayoritas komisionernya berasal dari unsur masyarakat sipil dan proses pengangkatan yang melibatkan DPR.

Salah satu fungsi krusial BAZNAS adalah melakukan verifikasi dan pemberian rekomendasi terhadap pembentukan Lembaga Amil Zakat (LAZ), khususnya pada skala nasional. Dalam proses verifikasi faktual, terdapat sejumlah komitmen kelembagaan yang wajib dipenuhi oleh calon LAZ, termasuk komitmen untuk tidak terafiliasi dengan partai politik maupun organisasi terlarang. Ketentuan ini sangat penting untuk mencegah penyalahgunaan dana zakat untuk kepentingan ideologis yang menyimpang.

Kekhawatiran terhadap potensi penyimpangan bukanlah isapan jempol. Salah satu kasus yang menjadi pelajaran penting adalah keterlibatan Yayasan Abdurrahman Bin Auf (ABA) di Malang dalam pendanaan terorisme. Ketua yayasan tersebut, Choirul Anam (42), divonis empat tahun penjara karena terbukti menyebarkan lebih dari 600 kotak amal dan menyalurkan hasilnya ke organisasi teroris Jamaah Islamiyah (JI). Choirul Anam menjalankan program “Gerakan Sedekah Sehari Seribu” (GS3), yakni celengan infak yang disebar ke rumah-rumah warga, kemudian dikumpulkan dan dicatat oleh petugas yayasan. Dana yang seharusnya disalurkan kepada mustahik ini justru digunakan untuk membiayai aktivitas jaringan teror. Izin LAZ ABA sendiri telah dicabut sejak 29 Januari 2021 melalui Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama DKI Jakarta No. 103 Tahun 2021. Kasus ini menunjukkan betapa pentingnya pengawasan yang ketat dalam pengelolaan zakat agar tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang menyimpang dari tujuan syariah maupun konstitusi negara.

Dalam menjalankan mandatnya, BAZNAS berpegang pada prinsip yang dikenal sebagai 3A, yaitu pendekatan yang menyatukan dimensi keagamaan, legalitas, dan kebangsaan dalam pengelolaan zakat. Prinsip ini menegaskan bahwa setiap aktivitas pengelolaan zakat harus dijalankan secara aman secara syar’i, yakni sesuai dengan tuntunan syariat Islam agar zakat tetap merupakan ibadah yang sah dan bermakna. Pada saat yang sama, zakat juga harus dikelola dalam koridor hukum yang sah, tunduk pada regulasi dan perundang-undangan yang berlaku, demi menjamin transparansi dan akuntabilitas lembaga pengelola dana umat.

Lebih dari itu, pengelolaan zakat harus aman dalam konteks keutuhan NKRI. Artinya, dana zakat tidak boleh digunakan untuk merongrong persatuan nasional, tidak boleh ditarik ke dalam konflik ideologis yang dapat memecah belah masyarakat, dan tidak boleh dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok yang bertentangan dengan nilai-nilai dasar kebangsaan seperti Pancasila, UUD 1945, dan semangat Bhinneka Tunggal Ika. Dalam konteks inilah, proses verifikasi faktual oleh BAZNAS terhadap calon LAZ memiliki fungsi strategis, bukan sekadar administratif. Salah satu syarat penting dalam proses tersebut adalah penandatanganan Pakta Integritas, yang berisi komitmen untuk tidak terlibat dalam politik praktis, tidak memiliki afiliasi dengan organisasi terlarang, serta bersedia melaporkan secara transparan penggunaan dana zakat, infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya.

Sejak awal proses legislasi zakat nasional pada 2010, telah ditekankan bahwa zakat harus dikelola dalam sistem pengawasan dan koordinasi yang bersifat mengikat. Tujuannya jelas: untuk mencegah potensi penyimpangan dari nilai-nilai keumatan dan kebangsaan. Tanpa sistem yang kuat dan otoritatif, dana zakat berisiko besar disalahgunakan oleh kelompok-kelompok yang tidak memiliki komitmen moral terhadap negara maupun terhadap prinsip-prinsip syariat. Ketika pengawasan ini dilemahkan—baik secara kelembagaan maupun politik—maka peluang untuk menjadikan zakat sebagai instrumen infiltrasi ideologi ekstrem terbuka lebar. Dalam konteks inilah, posisi BAZNAS sebagai lembaga yang mengikat secara hukum dan bersifat nasional menjadi sangat penting. Bukan hanya sebagai pengelola, tetapi sebagai pengendali arah distribusi zakat agar tetap berada dalam koridor keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan.

Namun, dalam praktiknya, tidak semua calon LAZ menunjukkan kesediaan yang sama dalam memenuhi syarat tersebut. Masih ditemukan beberapa lembaga yang secara terbuka menyatakan keberatan menandatangani Pakta Integritas, dengan alasan mempertahankan independensi atau menolak untuk membuat komitmen formal terhadap nilai-nilai kebangsaan. Sikap ini menjadi alarm bahwa potensi penyalahgunaan zakat untuk agenda di luar tujuan syariah masih sangat nyata. Ketika ada lembaga yang menolak untuk secara eksplisit menyatakan ketundukan pada konstitusi dan komitmen kebangsaan, maka kewaspadaan negara dan masyarakat perlu ditingkatkan.

Dalam konteks ini, BAZNAS tidak hanya menjalankan fungsi teknis pengelolaan zakat, tetapi juga fungsi ideologis yang krusial—yakni sebagai penjaga agar zakat tetap menjadi kekuatan pemersatu umat dan bangsa, dan tidak menjadi sumber pembiayaan bagi polarisasi, radikalisasi, atau penyebaran kebencian. Jika BAZNAS dilemahkan, maka proses filtrasi keuangan dan pencegahan penyalahgunaan zakat untuk kepentingan kelompok-kelompok terlarang dapat terancam. Oleh karena itu, keberanian BAZNAS untuk memperketat verifikasi, memperjelas standar etika kelembagaan, serta menolak mengesahkan lembaga yang tidak berkomitmen terhadap prinsip 3A patut diapresiasi dan didukung sepenuhnya.

Selain itu, BAZNAS juga mempunyai andil yang cukup signifikan dalam proses deradikalisasi dan rehabilitasi sosial. Melalui berbagai program pemberdayaan ekonomi, pendidikan keagamaan yang moderat, serta intervensi sosial yang inklusif, BAZNAS membantu memulihkan individu dan kelompok yang pernah terpapar paham ekstrem menuju integrasi sosial yang lebih konstruktif. Peran ini tidak hanya penting dalam konteks keagamaan, tetapi juga strategis dalam memperkuat ketahanan nasional terhadap ancaman ideologi yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan keutuhan NKRI.

Di luar aspek regulasi, BAZNAS juga aktif menjalankan berbagai program pemberdayaan yang menyasar kelompok rentan, terutama para pekerja informal. Berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) per Februari 2024, jumlah pekerja informal mencapai 84,13 juta orang atau sekitar 59,17% dari total angkatan kerja. Angka ini menunjukkan besarnya kebutuhan akan intervensi sosial yang berkelanjutan. Untuk itu, BAZNAS mengembangkan program-program prioritas seperti Kampung Zakat, yang mengintegrasikan bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, dakwah, sosial, dan kemanusiaan secara terpadu. Sasaran utamanya adalah mustahik yang diberdayakan secara produktif hingga mampu naik kelas menjadi muzakki.

Berbagai pelatihan keterampilan dan kewirausahaan telah dilakukan, antara lain di bidang menjahit (Kampung Batik), otomotif (ZAuto), kuliner (ZFood dan ZCoffee), hingga pemasaran digital. Untuk memperluas peluang di sektor formal, para peserta menerima sertifikasi hasil kerja sama dengan Balai Latihan Kerja (BLK). Selain pelatihan, BAZNAS juga memberikan bantuan alat kerja seperti gerobak, mesin jahit, alat las, hingga peralatan memasak. Program Santripreneur juga diluncurkan untuk mengembangkan potensi wirausaha di kalangan santri.

Dengan pendekatan yang komprehensif, profesional, dan akuntabel, BAZNAS membuktikan bahwa zakat dapat dikelola secara efektif untuk menjawab tantangan sosial, sekaligus menjaga integritas umat dari infiltrasi ideologis yang membahayakan. Negara tidak sedang mengambil alih fungsi agama, melainkan menjalankan tanggung jawabnya dalam memastikan bahwa dana zakat digunakan secara sah, transparan, dan bermanfaat. BAZNAS, dalam hal ini, berperan sebagai benteng utama dalam pencegahan penyalahgunaan zakat, serta sebagai penggerak transformasi sosial yang menjembatani umat dengan pembangunan nasional. 

***

*) Oleh: Muhammad Makmun Rasyid, Pengurus BPET Majelis Ulama Indonesia Pusat.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.