Fantasi Sedarah: Ketika Dunia Maya Menormalisasi Seksual
GH News May 25, 2025 01:04 AM

TIMESINDONESIA, MALANG – Sebagai makhluk sosial, manusia cenderung hidup berkelompok dan saling berinteraksi. Namun, apa jadinya jika seseorang salah memilih komunitas, baik di dunia nyata maupun maya?

Media sosial kini menjadi ruang tanpa batas, tempat orang mengekspresikan pikiran, perasaan, hingga fantasi mereka dengan leluasa. Namun, kebebasan ini juga membuka peluang bagi penyimpangan. 

Baru-baru ini, dunia maya dihebohkan dengan munculnya grup Facebook bernama "Fantasi Sedarah", yang berisi ribuan anggota saling berbagi cerita pengalaman melakukan hubungan sedarah atau inses-perilaku yang dulu dianggap tabu dan dijauhi, kini mulai diperlakukan seperti hal yang biasa.

Lebih dari itu, ada kebanggaan tersendiri dari sebagian orang yang merasa telah “berani menantang norma” dengan membagikan cerita seperti itu ke ruang publik. Alih-alih membubarkan diri, mereka malah mengganti nama grup Facebook-nya dari “Fantasi Sedarah” menjadi “Suka Duka”.

Polisi mengungkap bahwa grup ini dibuat oleh tersangka berinisial MR pada Agustus 2024, dengan motif untuk kepuasan pribadi dan berbagi konten dengan anggota lain. 

Sementara itu, tersangka DK menyebarkan konten pornografi anak dengan motif ekonomi, menjual konten tersebut dengan harga Rp50.000 untuk 20 konten dan Rp100.000 untuk 40 konten video atau foto. 

Pelaku yang menyebarkan konten pornografi anak bukan hanya menyimpang secara moral, tetapi juga melanggar hukum. Enam tersangka telah ditangkap terkait kasus ini, dan mereka terancam hukuman pidana penjara hingga 15 tahun serta denda maksimal Rp6 miliar. 

Fenomena ini menunjukkan bagaimana individu merasa lebih bebas mengekspresikan dirinya di media sosial karena tidak terlibat secara langsung dan bisa menyembunyikan identitasnya, atau yang biasa disebut dengan anonimitas. 

Efek anonimitas inilah yang menyebabkan individu bisa mengunggah hal yang sangat pribadi, bahkan menyimpang, karena merasa aman, tidak akan dihakimi atau dikenali.

Selain itu, ketika seseorang bergabung dalam komunitas yang menyimpang seperti grup "Fantasi Sedarah", norma-norma kelompok dapat menggantikan norma sosial, menormalisasi penyimpangan di mana perilaku yang awalnya dianggap salah, tabu, dan menyimpang menjadi dianggap lumrah karena dukungan sosial dari lingkungan sesama pelaku.

Pelaku yang membuat dan menyebarkan konten semacam itu kemungkinan mengalami kelainan parafilia istilah medis untuk penyimpangan seksual kondisi di mana seseorang mengalami dorongan seksual abnormal. Termasuk pada objek yang tidak wajar atau dalam situasi yang menyimpang secara moral dan hukum, seperti fantasi inses dan pedofilia.

Oleh karena itu, edukasi seks sejak dini sangat diperlukan agar anak-anak mengetahui bagaimana perilaku seksual yang sehat serta mencegah terjadinya pelecehan seksual. Edukasi seksual bukan hanya tentang organ tubuh, tetapi juga tentang nilai, penghargaan diri, dan menghormati orang lain.

Kita semua pernah menyaksikan konten yang tak pantas di media sosial. Namun, hari ini, kita punya pilihan antara membiarkannya menjadi tontonan biasa atau mulai mengembalikan ruang digital menjadi tempat yang lebih sehat dan manusiawi. Karena fantasi yang menyimpang bisa menjadi awal dari realitas yang menyesatkan jika tidak kita batasi, tidak kita bimbing, dan tidak kita sadari.

Jika penyimpangan terus disajikan dan diterima begitu saja, bukan tidak mungkin generasi muda akan tumbuh dengan moral yang bobrok. Diam adalah bentuk pengabaian. 

Jika kita membiarkan ruang publik digital dipenuhi cerita menyimpang dan kita hanya diam, maka kelak anak-anak kita akan tumbuh di dunia yang tak lagi mengenal rasa malu.

***

*) Oleh : Mahsun Arifandy, Mahasiswa Magister Psikologi, UMM.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.